Selasa, 30 November 2010

Dilema Pendidikan Pasca Bencana

By Admin



Oleh: Mahmudi el-Chumaidy *)

Pasca meletusnya merapi yang kesekian kalinya, warga kembali gempar sekaligus panik memikirkan nasibnya. Ditambah adanya instruksi dari Mbah Surono, bahwa radius titik aman merapi saat ini dinaikkan dari yang semula 15 km dari puncak, sekarang dinaikkan menjadi 25 km. Masyarakat sekitar yang menghuni didaerah rawan radius kurang dari 25 km dari puncak, segera secepat kilat mengambil langkah untuk pindah ke barak pengungsian.

Semakin hari, barak pengungsian akan semakin padat dengan jumlah penduduk yang mengungsi mencapai ratusan bahkan ribuan orang. Kepadatan jumlah penduduk yang mengungsi, akan semakin banyak pula tenda-tenda barak pengungsian yang dibutuhkan. Minimnya tenda pengungsian ini, memicu adanya instruksi pemerintah setempat untuk menyediakan barak pengungsian tambahan.

Barak pengungsian tambahan ini menjadi strategi alternatif untuk menangani laju populasi pengungsian. Salah satu alternatifnya pemerintah setempat segera mengambil kebijakan untuk membuat barak pengungsian di berbagai gedung sekolah, kampus, dan berbagai stadion yang tidak terpakai untuk sementara. Akibatnya, banyak sekolah-sekolah maupun kampus yang diliburkan sementara waktu. Sehingga, proses belajar-mengajar mereka semakin terhambat.

Semakin banyaknya pengungsi yang menempati ruangan kelas, baik sekolahan maupun kampus sekitar, maka akan semakin tak terpenuhinya fasilitas pendidikan. Sehingga, kegiatan belajar mengajar itu dengan terpaksa diliburkan. Akibatnya, murid-murid sekolah akan semakin tertinggal dengan pelajarannya. Hingga lama-lama akan semakin kerdil dalam pendidikannya. Ini bisa disebut dengan pengkerdilan pendidikan sekolah.

Pengkerdilan pendidikan sekolah akan sangat berbahaya apabila dilakukan secara terus menerus. Banyak anak-anak yang tertinggal mata pelajarannya, karena mereka harus memadati barak pengungsian. Ketertinggalan pelajaran semacam ini harus segera diatasi oleh pemerintah dengan membuat kebijakan yang tepat. Lebih-lebih bagi murid-murid yang sedang menginjak pendidikan kelas tiga SMP/MTs, maupun SMA/SMU/SMK/MA atau sederajat.

Soalnya, selain mereka harus meratapi nasib keluarganya, mereka juga dihadapkan dengan adanya persiapan menjelang Ujian Nasional (UN). Tentunya, mereka harus bekerja serba ekstra, dan ini sudah menjadi hal lain dari biasanya. Mereka diharapkan selalu tetap bersabar dan semangat berjuang. Berjuang untuk bangkit dari keterpurukan dan kekerdilan pendidikan sekolah. Selain itu, bagi mereka janganlah terlalu larut dalam kesedihan akan nasibnya, maka tetap beroptimislah bahwa kalian akan sukses dalam berjuang menaklukkan dunia pendidikan.

Esensi Pendidikan di Masyarakat

Pada prinsipnya, pendidikan merupakan hal yang paling esensi untuk dikembangkan dalam masyarakat. Pendidikan mengemban berbagai misi-misi penting dalam proses keberlanjutan/kontinuitas budaya masyarakat. Seorang pakar pendidikan diharapkan mampu mencari titik esensi pendidikan agar terlepas dari jeratan hal-hal yang bukan termasuk esensi pendidikan itu sendiri. Dari sinilah nantinya akan lahir berbagai definisi pendidikan yang cenderung bersifat “normatif”.

Aktivitas pendidikan dapat dipilah-pilah antara mana aktivitas pendidikan yang benar-benar merupakan pendidikan dan yang tidak merupakan pendidikan. Hal ini tentu berdasarkan penelusuran mengenai unsur-unsur dasar dan komponen pokok pendidikan, yang kemudian dapat disimpulkan mengenai makna hakiki pendidikan. Di sini yang menjadi unsur dasar pendidikan, yakni adanya pemberi, penerima, tujuan baik, cara yang baik, dan konteks yang positif.

Dengan adanya kelima unsur pendidikan itu, pendidikan dapat dirumuskan sebagai aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk mencapai tujuan dengan cara yang baik dalam konteks positif. Esensi pendidikan ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh M.J. Langeveld, bahwa pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membiming anak manusia menuju kepada kedewasaan dan kemandirian.

Hal ini jelas, bahwa sejatinya pendidikan itu merupakan upaya/bimbingan untuk mengarahkan manusia menjadi dewasa dan mandiri. Sementara itu, Kingsley berpendapat, bahwa pendidikan itu merupakan proses yang memungkinkan kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.

Dari sini, telah mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah kering dikaji dan diteliti, baik secara teoritik-konseptual maupun secara praktis-operasional. Dalam upaya memahami arti dan makna pendidikan secara mendalam, tentunya harus melibatkan banyak disiplin ilmu yang saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Pendidikan merupakan hal pokok yang terpenting dan harus diletakkan dalam urutan pertama. Salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai pemelihara dan penerus warisan budaya. Semua tradisi-tradisi/cultural memiliki akar pembentukannya. Kontinuitas budaya akan memungkinkan terwujud jika paendidikan memelihara warisan itu dengan meneruskan kebenaran-kebenaran yang telah dihasilkan pada masa lampau kepada generasi baru, serta mengembangkan suatu background dan loyalitas-loyalitas kultural.

Penegasan akan pentingnya pendidikan sebagai upaya pewarisan kultural masyarakat kepada generasi baru, memerlukan cara untuk mentransmisikannya. Di sini ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni peran serta dan bimbingan. Dalam upaya yang pertama dapat berwujud keikutsertaan dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya, dalam upaya kedua ini dapat dilakukan berbentuk instruksi, persuasi, rangsangan, dan hukuman.

Dalam pelaksanaan bimbingan ini dapat dilakukan melalui pranata-pranata tradisional. Seperti inisiasi, upacara-upacara keagamaan atau tradisi, sekolah agama, dan juga sekolah-sekolah formal. Pemeliharaan fungsi pendidikan ini sangat ditekankan sebagai pewarisan budaya dalam menentukan nilai-nilai budaya yang harus diidealkan. Konsep fungsi pendidikan sebagaimana ditekankan oleh para ahli, bahwa esensi manusia terletak pada tabiat karakter rasionalnya.

Rasionalitas inilah yang kemudian menjadi karakteristik umum dari semua manusia, terlepas dari budaya lingkungan sekitar mereka tinggal. Dunia dapat dipahami dengan melatih kemampuan rasionalitas. Oleh karena itu, fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan asas rasionalitas manusia. Sebab, dengan adanya asas rasionalitas inilah pemahaman akan kebenaran abadi dapat diketahui.

*Penulis: Aktivis, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Membongkar Sejarah Yang Terlewatkan


By Admin


Judul : Menguak Misteri Sejarah

Penulis : Asvi Warman Adam

Penerbit : Kompas, Jakarta

Tebal : xii+292 halaman

Cetakan : I, Oktober 2010

Peresensi : Ali Mahmudi *)

Sejarah merupakan sederetan kisah nyata yang tertulis berdasarkan bukti data-data konkrit. Baik berupa artefak peninggalan sejarah maupun dokumen penting. Ini dimaksudkan sebagai barang bukti untuk memperkuat perjalanan panjang sejarah itu. Dibalik itu, sejarah juga merupakan sebuah misteri. Mungkin hal ini terjadi karena telah dimanipulasi oleh penguasa. Atau memang data bukti sejarahnya yang belum lengkap. Sehingga butuh adanya titik terang.

Sejarah memang sebuah misteri yang tak pernah habis terkikis masa. Meskipun awalnya merupakan sebuah misteri, namun suatu saat akan terungkap dan muncul dipermukaan. Laksana sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium baunya. Begitu pula sejarah. Meskipun sejarah itu digelapkan ribuan tahun, lambat laun kemungkinan akan terungkap juga.

Begitulah salah satu deskripsi pembahasan dalam buku ini. Buku berjudul “Menguak Misteri Sejarah ” yang ditulis oleh Dr. Aswi Marwan Adam, seorang Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI akan membongkar paksa misteri-misteri sejarah pada masa penjajahan hingga Indonesia merdeka saat ini. Karena selama ini pemerintah dianggap kurang tanggap terhadap berbagai problem yang melanda pemerintahan Negara Indonesia.

Masih banyak hal yang memprihatinkan di negeri ini. Kayaknya, berbagai problem itu memang didominasi oleh problem politik pemerintahan. Lagi-lagi, kemarin dalam dunia intelektual muncul pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung. Padahal, sebelumnya kita tahu bahwasanya hak kekayaan intelektual merupakan hak setiap manusia untuk mempublikasikan karyanya.

Sejak era kolonial, Orde Lama, serta Orde Baru telah muncul pembredelan buku. Karena dikhawatirkan akan mengancam pemerintah. Baru pada saat memasuki era reformasi, awal tahun 1998 hingga tahun 2005, tidak ada pelarangan buku untuk beredar dipasaran publik. Apalagi pembredelan. Namun, sejak tahun 2006 akhir-akhir ini penyakit itu kambuh lagi. Kemarin, yang masih hangat dibenak kita, Jaksa Agung telah membredel buku yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas” yang ditulis oleh seorang pengamat, George Junus Aditjondro.

Selain itu, sebelumnya Kejaksaan Agung juga pernah melarang lima buah buku bulan Desember 2009. Salah satunya termasuk karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dengan judul “Lekra Tidak Membakar Buku”. Buku ini merupakan seleksi dari 15 ribu artikel Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, mantan ketua Muhammadiyah, disampul belakang memberikan komentar “Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini telah mencoba mengungkapkan kembali apa sebenarnya yang terjadi pada era yang sarat gesekan itu.”

Mengingat selama tiga dekade Orde Baru, tidak ada akses kepada surat kabar berhaluan kiri ini. Maka buku ini merupakan dokumen sejarah kebudayaan yang amat penting. Karena ia tidak hanya mengilustrasikan polemic sastra dengan pengusung Manifesto Kebudayaan, tetapi juga kerja turun ke bawah yang dihasilkan seniman pertunjukan. Larangan Kejaksaan Agung itu kembali menyumbat informasi sejarah masa lalu yang mulai terbuka sejak era informasi ini. Lalu apa makna larangan pemerintah tersebut?

Ini merupakan tindak kesewenang-wenangan pemerintah yang telah melanggar hak asasi manusia. Tentunya ini harus diberantas atau dilawan. Pemberantasannya pun tidak hanya lewat jalur seminar maupun petisi saja, tetapi juga harus melalui pengajuan judicial review ke lembaga Mahkamah Konstitusi. Dengan maksud agar UU/PNPS/ No. 4 Tahun 1963 yang menjadi dasar pembenaran tindakan pemerintah tersebut segera dirontokkan.

Masih banyak lagi sejarah-sejarah yang menceritakan kebobrokan pemerintah Indonesia akhir-akhir ini. Seperti kasus bailout asal-usul dana talangan Bank Century. Kasus ini sempat mengundang banyak sorotan masyarakat. Terutama pada kegagalan pansus Century di dalam melakukan penelitian terhadap kasus ini. Mereka menyoroti mengenai metodologi yang digunakan pansus Century cenderung lemah.

Kalau kita pahami secara lebih lanjut, ternyata setidaknya ada dua hal yang substansial dibalik kasus Century. Yang ditengarai berkaitan dengan adanya aliran dana kampanye Pemilu Presiden yang lalu. Pertama, dalam hubungan antara Presiden dengan DPR mengenai system demokrasi mana yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Diantaranya ada dua pilihan, yakni Presidensial atau Sistem Parlementer. Kedua, menyangkut etika dalam berdemokrasi.

Fenomena tersebut berangkat dari pengalaman buruk dalam catatan sejarah Indonesia. Yakni, sejak demokrasi liberal tahun 1950-an hingga sampai pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pasca jatuh bangunnya kabinet pemerintahan Gus Dur dalam waktu yang sangat singkat. Dalam satu sisi, sikap kritis DPR perlu didukung. Namun, kita juga merindukan hadirnya pemerintahan yang dapat bekerja dengan baik selama lima tahun penuh dan berakhir dengan damai tanpa adanya kerusuhan.

Salah satu faktor penyebab terjadinya kelemahan bangsa ini adalah tidak adanya kesinambungan dalam pengelolaan Negara. Sehingga, dalam hal ini Negara memimpin pemerintahan menjadi salah urus. Artinya, bagi mereka yang ahli atau pandai dalam bidang tertentu, maka dia hanya cukup dibebani untuk mengurus hal itu sesuai dengan kemampuan dalam bidangnya masing-masing. Salah urus yang terjadi di negeri ini terutama disebabkan adanya suatu urusan yang ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Serahkanlah semua pada ahlinya.

*Penulis: Pecinta buku khazanah ilmiah, Pengamat pada Pusat Study LKKY Yogyakarta.

CP: 087838424793

Cahaya Inspiratif Dari Bilik Penjara


By Admin


Judul : Katak Menembus Tempurung; 19 Kisah Inspiratif dari Balik Penjara

Penulis : Warga Binaan Lapas Wirogunan Yogyakarta

Penerbit : Galang Press, Yogyakarta

Cetakan : I, 2010

Tebal : 187 halaman

Peresensi : Mahmudi el-Choum *)

Mengerikan dan hal yang menakutkan, mungkin kata yang terlontar dari lisan kita ketika mendengar istilah penjara. Penjara merupakan ruang tertutup pagar tembok yang kokoh dan kuat, berpintu jeruji besi baja yang anti karat, tempatnya orang-orang yang kejam, sadis, nakal, jahat, dan komunitas kaum preman. Anggapan seperti itu memang benar. Namun, yang terpenting untuk tidak dilupakan ialah adanya gemerlap cahaya dibalik jeruji penjara itu.

Kebebasan ruang gerak memang terbatasi dengan adanya tembok dan jeruji besi yang sulit diruntuhkan. Namun kebebasan jiwa dan pikiran tak dapat dibatasi dengan kekuatan apapun. Jiwa dan pikiran itu justru malah semakin tergali dan muncul dipermukaan ketika seseorang tengah dibenturkan dengan berbagai problem kehidupan. Begitu pula yang dialami oleh Warga Binaan Lapas Wirogunan Yogyakarta.

Meskipun mereka terkurung dibalik tembok dan jeruji yang kokoh, tetapi mereka malah semakin terbuka wawasan dan daya kreatifitasnya. Pasalnya, mereka harus meneguhkan diri sendiri dan membuka cakrawala dunia baru untuk mengusir kebosanan hidup dibalik jeruji penjara itu.

Mungkin kita akan merasa sedih, kecewa, terpuruk, putus asa, atau merasakan hal-hal yang tidak kita inginkan dalam hidup ini. Tetapi kita harus sadar bahwasanya masih banyak teman atau orang-orang yang lebih susah dari pada kita. Mereka hidup dalam keterbatasan, dalam kurungan tembok dan teralis, tetapi mereka kuat bahkan bersemangat menikmati sisi-sisi keterbatasan itu. Baginya, tembok derita tidak selamanya akan membawa penderitaan. Namun justru sebaliknya.

Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah inspiratif yang sangat menggetarkan pola pikir bathin kita. Buku ini ditulis oleh para Warga Binaan Lapas Wirogunan Yogyakarta. Kisah-kisah inspiratif ini merupakan kumpulan kisah nyata yang dialami mereka Warga Binaan Lapas Wirogunan Yogyakarta, selama mendekam dibalik jeruji besi penjara. Kisah yang menggetarkan hati kita ini merupakan pembangkit jiwa sekaligus motivator dalam hidup kita.

Di sisi lain, buku ini juga memberikan kesadaran akan keterpurukan hidup seseorang yang mampu bangkit, memperbaiki diri, dan akhirnya mereka mampu berbuat sesuatu untuk dirinya maupun orang lain. Selain itu, ada juga kisah-kisah yang menggelikan di balik penjara, layaknya sebuah pesona kehidupan yang khas dengan percintaan, kesibukan akan rutinitas, optimism akan kreativitas yang terasah, bahkan khayalan-khayalan hidup manusia. Kayaknya, fenomena ini telah menampik anggapan bahwa segala yang ada dipenjara tak selalu menyayat hati dan menyedihkan. Pesona-pesonanya mampu membuat siapapun yang menghuninya mampu menikmati dan bersyukur diberi kesempatan merasakan kuliah kehidupan dikampus Lapas.

Selain sebagai kisah inspiratif, buku ini juga bermanfaat untuk menampik prasangka buruk oleh kebanyakan orang. Bahkan menurut pengalaman penghuni lapas sendiri mengatakan bahwasanya hidup dalam Lapas mampu membuka pikiran yang dulunya kalut menjadi terbuka. Tak ketinggalan perbuatannyapun turut berubah menjadi baik. Mereka hidup dalam kedisiplinanm mampu mengontrol emosi, menghargai orang lain, dan memiliki keterampilan yang memadahi. Sehingga mereka tidak nganggur lagi. Karena ia telah memperoleh binaan secara baik dan bermanfaat.

Ketika berada dalam kungkungan penjara, mereka semakin mampu memahami arti hidup. Kebebasan merupakan hal yang berharga dan sangat mahal harganya. Untuk itu, mereka sadar bahwasanya hidup bebas tidak semestinya disia-siakan, tetapi harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain. Semua mata kuliah dalam kampus kehidupan Lapas ini memanglah sangat lengkap. Semuanya telah tersedia secara komplit. Pengetahuan disertai pelatihan itu mereka dapatkan secara gratis di dalam Lapas.

Mereka semakin giat mengikuti pelatihan dan bimbingan konseling yang diseelenggarakan di Lapas. Pelatihan yang digelar dari BIMKER, Kamtib, serta menjadi tamping, semakin membukakan wawasan sekaligus pengalaman. Meskipun ruang gerak terbatas, namun ruang kreativitas dan keterampilan diberikan sebebas-bebasnya kepada penghuni Lapas. Untuk mengawali hidup di dalam Lapas ini terkesan sulit. Namun, ketika mereka telah rutin mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, mereka menjadi semakin giat bekerja dan terkuburlah kesedihan dan kesusahan yang selama ini telah menimpanya.

Orang berbuat salah tak selamanya berbuat salah. Kesalahan bias menjadi terapi ampuh untuk menjadikan seseorang insyaf. Tidak ada manusia yang bisa luput dari kesalahan. Yang membedakannya mungkin berat ringannya kesalahan itu sendiri. Tentunya, selalu akan ada jalan menuju kebaikan maka ada jalan pula untuk mendapatkan kesempatan berbuat baik terhadap sesama. Demikian juga tak terkecuali dengan Nara Pidana.

Menilik dari prinsip adanya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yakni Negara tidak berhak membuat para penghuni Lapas menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi hukuman pidana penjara. Kalau kita cermati, sebenaranya tugas lembaga pemasyarakatan ini tidak kalah berat dengan Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Kalau petugas Lapas bisa bekerja sesuai tuntutan Undang-Undang, sebenarnya gaji mereka masih kurang.

Semua keburukan Napi haruslah kita lupakan dan kita cermati sebagai bahan perenugan untuk melangkah kedepan. Sebaliknya, semua kebaikan yang diterima oleh Napi haruslah kita banggakan dan kita junjung tinggi hak dan martabat mereka sebagai manusia pada umumnya.

Penulis adalah Pengamat dan Peneliti pada Pusat Study LKKY Yogyakarta.

CP: 087838424793