Rabu, 24 Maret 2010

MENUJU INDONESIA MASA DEPAN:REAKTUALISASI SPIRIT REFORMASI DALAM SEMANGAT KEBANGKITAN NASIONAL

BY M. JAMIL

Oleh : Lukman Santoso

Abstraksi
Indonesia, bangsa yang besar di mata dunia dan telah merdeka selama 63 tahun, ternyata saat ini masih sulit untuk keluar dari berbagai problematika kebangsaan yang terus menyelimuti negeri “gemah ripah loh jinawi” ini. Pengembangan menuju civil society (masyarakat madani), supremasi hukum, reformasi birokrasi, clean and good governance dalam bingkai semangat kebangkitan nasional tampaknya juga masih belum terwujud seperti yang dicita-citakan gerakan reformasi. Ketimpangan ekonomi, yang semakin lama semakin melebar antara kaum bermodal dengan rakyat jelata pada akhirnya akan menimbulkan gejolak sosial yang tajam jika tidak segera dicarikan solusi. Di sisi lain, pendidikan yang pada hakikatnya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi hak setiap warga negara, saat ini semakin tampak hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite semata. Karakter abad 21 semacam itu, memang merupakan konsekuensi logis tak terelakkan dari bawaan asli era Reformasi. Karakter tersebut menjadi warna asli hambatan, tantangan, dan peluang di abad 21. Serba tak-terduga, tak-tertakar, dan tak-terbatas. Dalam kondisi ini, jika generasi saat ini mampu menangkap jeritan zaman dan menciptakan kuadran zaman baru, kita akan memiliki peluang kesejarahan yang langka. Peluang untuk menciptakan sejarah berkarakter zamannya, dengan kekuatan cita-cita baru yang berenergikan jeritan zaman dan penciptaan kuadran zaman baru pada momentum se-abad Kebangkitan Nasional.

Key word : Negara, Reformasi, seabad Kebangkitan Nasional
Pendahuluan
Momentum se-abad Kebangkitan Nasional, serta sepuluh tahun reformasi yang diperingati tahun ini diberbagai penjuru tanah air, patut kiranya untuk dijadikan tonggak menuju kemajuan bangsa sekaligus mengentaskan rakyat dari keterpurukan. Lahirnya era reformasi sepuluh tahun lalu, merupakan rangkaian dari peristiwa masa lalu dan masa datang, yang juga penting kiranya bagi eksistensi bangsa kita tercinta ini. Karena disadari atau tidak, reformasi memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar terhadap maju dan mundurnya Indonesia. Hal ini perlu untuk selalu dipahami sebagai rangkaian dialogis, kritis, dan terus-menerus antara generasi masa kini dan generasi yang akan datang, karena hal itu tidak lain adalah demi terciptanya idealisme sebuah negara yang maju dan unggul di kancah internasional. Momentum reformasi, sebagai produk dari sebuah kesadaran kolektif, memiliki visi dan misi melintasi imajinasi zamannya. Ia tercetus pada momentum 90 tahun kebangkitan nasional. Peristiwa yang juga mengilhami para funding fathers kita untuk mewujudkan kemerdekaan berbangsa dan bernegara. Semangat yang selalu mengilhami sepanjang zaman inilah yang seharusnya menjadi fokus kesadaran para pemimpin saat ini.
Reformasi yang digulirkan pada Mei 1998 lalu, kini saatnya kita pompa kembali spiritnya guna mengatasi berbagai problematika kebangsaan saat ini. Arus gelombang perubahan besar yang menggulingkan kekuasaan represif itu sejatinya telah sanggup membangkitkan kesadaran dan ingatan rakyat yang selama tiga dasawarsa lebih telah tertidur lelap. Sebuah semangat perubahan yang timbul dari kesadaran yang didialogkan dangan berbagai problematika sosial yang dihadapi rakyat Indonesia. Sehingga patut bersyukur, ketika dari semangat itu lahir perubahan dalam berbagai sendi kehidupan. Meskipun reformasi pada saat itu hanya mampu merubah aktor utama sebuah rezim dan sistem yang ada, tanpa melakukan perubahan mendasar pada mental aktor-aktor birokrasi dalam berbagai aspek kehidupan paska reformasi. Para pemimpin reformasi tidak mampu melakukan ‘potong generasi’, sehingga yang timbul dalam kepemimpinan reformasi adalah orang-orang lama yang ‘berpakaian’ baru.
Padahal, dalam setiap sistem politik yang demokratis, menurut Samuel P. Huntington, sebagaimana dikutip Gregorius Sahdan selalu mempersoalkan sumber kekuasaan (sources of authority) yang melandasi sebuah pemerintahan baru terbentuk, untuk tujuan apa kekuasaan itu diterapkan (purpose of authority) dan prosedur apa yang memberikan legalitas terhadap kekuasaan tersebut (procedural of authority). Maka, dalam konteks masyarakat reformasi, pemilu merupakan suatu konsensus bersama untuk menjawab persoalan sumber kekuasaan, tujuan kekuasaan dan prosedur yang melegalisasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini pemilu memiliki tiga nilai utama ; Pertama, pemilu sebagai tanda berakhirnya rezim non demokratik. Pelaksanaan pemilu bertujuan untuk ‘pelembagaan demokrasi’ dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh terjadinya tarik-menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.
Kedua, pemilu memiliki makna pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratik yang menggantikan pemerintahan otoriter yang telah tumbang. Variabel-variabel pengukur pemilu disini adalah sejauhmana partisipasi berbagai kelompok sosial, individu dan masyarakat secara umum terlibat di dalam pemilu, dan apakah hak-hak politik masyarakat benar-benar dijamin dengan kejujuran, kebebasan dan keadilan dalam pemilu atau apakah pemilu dijalankan dengan demokratis atau tidak untuk membedakannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Ketiga, dalam era reformasi, pemilu merupakan perwujudan dari konsolidasi sistem demokrasi, yaitu suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk menduduki kursi kekuasaan. Maka, kasus reformasi di Indonesia dalam frame tertentu mengikuti alur demokratisasi yang terjadi di berbagai negara maju saat itu.
Reinterpretasi Momentum Reformasi
Coba kita telisik kembali momentum reformasi yang telah dicetuskan pada 1998, momentum itu sejatinya memusatkan perhatian pada dua aspek, aspek pertama terletak pada Negara dengan gerakan reformasi prodemokrasi, hak-hak asasi dan martabat manusia. Sedang aspek kedua, yakni masyarakat madani (civil society). Aspek yang sangat urgen dalam membangun dan mengaktualkan masyarakat/warga bagi peri kehidupan publik. Perhatian terhadap aspek Negara dan gerakan reformasinya menggebu dan membawa hasil, terutama berupa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Yang juga berhasil menempatkan DPR, DPD dan lembaga-lembaga lain dalam posisi dan peran yang sesuai dengan undang-undang, peran serta perilaku masing-masing lembaga. Kehidupan partai politik sebagai pilar demokrasi marak dan menggebu. Meskipun disertai fenomena perpecahan intern serta kultur kekuasaan yang belum melayani, tetapi masih melanjutkan orientasi dilayani.
Aspek masyarakat madani sesungguhnya berkembang lewat jaringan lembaga swadaya masyarakat, beragam pergerakan serta aktivitas dan kontribusi pergerakan-pergerakan masyarakat seperti beragam organisasi dan gerakan keagamaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji dan untuk kemudian dijadikan cerminan, semisal masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia tercinta ini, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Sehingga jika diurai dari dua kriteria tersebut, maka tujuan yang akan terwujud dari masyarakat madani adalah sebagai berikut; Pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. Kedua, berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. Ketiga, Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
Keempat, adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. Kelima, adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. Keenam, terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. Ketujuh, adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia.
Dalam tataran historis, Istilah masyarakat madani dihidupkan oleh dua pemikir terkemuka dunia, yakni John Locke (1632-1704) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Masyarakat madani (civil society), menurut mereka, menjadi sebuah keniscayaan (keharusan) untuk diwujudkan. Ini, mengingat, masyarakat modern itu dihadapkan pada tata kehidupan politik yang terikat pada sistem (hukum), kehidupan ekonomi dengan uang sebagai alat tukar, dan terjadinya kegiatan perdagangan dalam suatu pasar, serta ditandai pula oleh perkembangan teknologi. Di mana inti dari semua itu, adalah demi mensejahterakan dan memuliakan hidup rakyat, sebagai salah satu ciri masyarakat beradab.
Momentum reformasi sejatinya memiliki semangat yang cukup besar untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Salah satunya adalah keinginan membangun kehidupan politik yang demokratis. Untuk itu kita telah melaksanakan perubahan penyelenggaraan negara yang amat mendasar, misalnya terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah, pembentukan daerah istimewa/ otonomi khusus, dan lainnya. Otonomi daerah adalah konsekuensi logis dari proses reformasi. Otonomi daerah merupakan sebuah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat untuk diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (Perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah.
Otonomi daerah merupakan kebutuhan kodrati manusia menuju hidup sosial yang lebih mandiri dan berkembang dalam semua aspek kehidupan. Mengapa otonomi daerah dirasa mendesak? Beberapa alasan mendasar tersembunyi dibalik alasan ini. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini terpusat di Jakarta (simbol ‘ketidakadilan sosial’ di tengah-tengah bangsa Indonesia) dan beberapa kawasan sekitarnya. Sementara itu, pembangunan di beberapa kawasan dilalaikan. Bayangkan saja, sebelum rezim Gus Dur dan Mega berkuasa, 65 persen dari seluruh modal yang beredar dalam republik ini menumpuk di Jakarta. Kedua, pembagian kekayaan tidak adil dan merata. Selama ini, daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti di Aceh, Riau, Irian Jaya, Kalimantan dan Sulawesi ternyata tidak menerima suntikan dana yang patut dari pemerintah pusat.
Ketiga, kesejahteraan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara Jakarta dan daerah sangat terasa. Pembangunan fisik di pusat berkembang pesat sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai. Dunia pendidikan di daerah masih mengalami kekurangan banyak tenaga pengajar, fasilitas pendidikan sangat terbatas. Bagaimana dengan manusianya? Agaknya tidak berlebihan, untuk sejumlah daerah, perbedaan pembangunan di Jakarta dan daerah dapat dianalogkan dengan perbedaan antara langit dan bumi.
Sedangkan konsekuensi logis dari adanya otonomi daerah adalah Pilkada yang berekses lokalisme, namun yang terjadi dalam pengalamannya yang pertama lebih disertai kompetisi yang tidak fair, politik uang dan serba kekerasan. Entah dengan alasan karena pola itu merupakan pengalaman pertama atau karena berbagai hal yang lebih bersifat pola yang akan selalu hadir. Pilkada adalah interpretasi terhadap otonomi dalam bidang politik. Maka perlu diikuti secara kritis konstruktif. Sehingga bagaimana otonomi bisa berjalan semakin baik? Negeri seluas Indonesia dengan keanekamacaman suku bangsa, daerah, kebudayaan, komunitas, cukup ideal jika menganut faham dan sistem otonomi.
Seiring hal itu, konsekuensi dari hadirnya reformasi yang perlu juga dimengerti adalah hadirnya diskursus amandemen UUD 1945 yang tak mungkin terhindarkan. Karena hanya dengan upaya itu pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM) akan lebih dirinci lagi. Demokrasi tidak dengan sendirinya hadir, tanpa kita melaksanakan esensi demokrasi sebagaimana lazimnya, meski secara struktural kelembagaan dan formalitas legislasi telah terbuka. Esensi yang mendasar itu adalah, adanya pelaksanaan atas persamaan hak, kewajiban dan kesempatan. Demokrasi tidak membedakan warna kulit, etnis, kedaerahan, status sosial, dan agama. Demokrasi juga merupakan sebuah pengakuan adanya perbedaan, sekaligus perlunya kebersamaan. Bila kita hanya mengakui adanya perbedaan, yang akan terjadi adalah anarki.
Dalam konteks amandemen UUD 1945 ini, sebenarnya ada tiga masalah mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, setiap amandemen UUD 1945 akan menimbulkan gejolak, krisis baik ekonomi maupun instabilitas politik, pengelolaan Negara yang membutuhkan energi. Kedua, substansi amandemen UUD 1945 itu sendiri harus jelas. Ketiga, Amandemen untuk rakyat harus teruji dan valid, dan tidak hanya dengan atas nama rakyat. Beberapa masalah yang dikemukakan di atas tentu saja dengan memahami, bahwa amandemen tidak semata-mata hanya pemenuhan syarat yang mencantumkan persyaratan dan mekanisme pengubahan UUD oleh/ di MPR. Tetapi harus memenuhi syarat filosofis, sosiologis, yuridis, dan Politis, dan yang paling panting apakah rakyat membutuhkannya.
Karena sejatinya dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang bergerak begitu cepat sering kali tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun. Lahirnya amandemen I, II, III dan IV dari UUD 1945 selama ini merupakan wujud dari upaya itu. Dengan kenyataan sebagaimana dikupas di atas, maka tentu kita paham bahwa upaya amandemen UUD 1945 ini bukanlah hal mudah, selain sosialisasi perubahannya yang cukup menguras energi dan pikiran agar dapat diterima oleh rakyat. Juga sangat diperlukan kearifan dari seluruh elemen masyarakat, sehingga perubahan yang dilakukan tidak akan menimbulkan masalah ketatanegaraan yang bisa sangat kompleks.
Makna subtantif selanjutnya dari cita-cita reformasi adalah supremasi hukum, karena sejak keberhasilan gerakan reformasi 1998, maka kata ini akan menjadi kata yang paling sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan selalu menjadi obyek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya. Hal tersebut disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi yang khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
Posisi yang khas tersebut, membawanya langsung di tengah-tengah kejadian dan pengalaman empirik masyarakat. Salah satu aspek dari demikian itu dalam pandangan praktisi hukum Anang Usman SH, adalah keberadaan hukum di tengah-tengah dinamika perubahan nilai, sikap dan akhirnya perilaku yang harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Kita sekarang berada di tengah-tengah perubahan yang boleh dikatakan "berkualitas akut". Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, demokratisasi, HAM, disintegrasi bangsa dan intrik-intrik politik lainnya, yang kesemuanya harus dihadapi oleh hukum. Siap atau tidak, hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul dari kesadaran baru tersebut. Secara ringkas, hukum adalah "alat kontrol" masyarakat dengan segala perundang-undangan yang berlaku dan harus ditaati masyarakat.
Sedangkan elemen puncak dari cita-cita reformasi adalah pemerintahan yang bersih atau good governance. Wacana good governance atau kepemerintahan yang baik ini merupakan isu tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini. Kata governance dalam bahasa inggris sering diartikan dengan tata kelola atau pengelolaan, dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah” ini diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian dari negara. Dari istilah tersebut di atas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Dalam good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofis timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.
Menurut hasil riset Booz-Allen & Hamilton, seperti dikutip oleh Rochman Achwan (2000), menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar 2,88 di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), dan Filipina (3,47). Indeks ini menunjukkan bahwa semakin rendah angka indeks maka tingkat good governance semakin rendah dan sebaliknya. Rendahnya indeks good governance di Indonesia didukung oleh hasil studi Huther dan Shah (1998) yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kategori negara poor governance. Studi ini melihat governance quality dengan cara menghitung besarnya governance quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel. Indeks kualitas governance diukur dari: (1) indeks partisipasi masyarakat, (2) indeks orientasi pemerintah, (3) indeks pembangunan sosial, dan (5) indeks manajemen ekonomi makro.
Komponen dari indeks partisipasi masyarakat adalah kebebasan politik dan stabilitas politik, sedangkan komponen indeks orientasi pemerintah adalah efisiensi peradilan, efisiensi birokrasi dan rendahnya korupsi. Indeks pembangunan sosial dilihat dari indikator pengembangan sumberdaya manusia dan pemerataan distribusi pendapatan. Komponen indeks manajemen ekonomi terdiri dari kebijakan ekonomi yang berorientasi ke luar (outward orientation), independensi bank sentral, dan rasio hutang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan indeks dan masing-masing komponen tersebut di atas kemudian diperoleh hasil perhitungan indeks kualitas governance. Dari hasil penghitungan indeks kualitas governance maka negara-negara yang menjadi sampel dapat dikategorikan: (1) good governance, (2) fair governance, dan (3) poor governance.
Momentum Reformasi Sebagai Tonggak Perubahan
Di era paska reformasi upaya reformasi pemerintahan negara (governance reform) yang terfokus pada pihak eksekutif dan administrasi negara merupakan salah satu jalur strategis bagi tercapainya good governance. Ini dapat dilakukan dengan beberapa tahap strategi pencapaian. Pertama, usaha telah dijalankan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratik dan legitimate. Perkembangan sistem multi partai menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendirikan asosiasi politik dan menjatuhkan pilihannya secara bebas. Penyelenggaraan pemilu oleh lembaga yang independen (KPU) dan pemantauan oleh masyarakat sipil (domestic dan international), telah meningkatkan kredibilitas sistem pembentukan legislatif dan eksekutif.
Kedua, seharusnya diperjelas otoritas pemerintahan baru di hadapan birokrasi lama. Tetapi hal ini belum memungkinkan, baik karena ketidakjelasan pengaturan, tidak adanya dukungan legislatif, maupun resistensi birokrasi lama. Masalah-masalah yang muncul dalam penunjukan pejabat-pejabat politik (political appointess), misalnya, mencerminkan bahwa watak Indonesia sebagai beambtenstaat (negara birokrasi) masih menonjol. Dalam sistem politik yang demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, seharusnya wajar belaka jika pemerintah berhak menentukan jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi negara. Jika tidak, maka pemerintahan yang demokratik akan dibajak oleh sistem birokrasi lama. Upaya memperjelas masalah ini dapat dimulai dengan menghasilkan perundang-undangan tentang lembaga kepresidenan. Dalam pengaturan itu ditentukan tentang otoritas politik, hak-hak dan kewajibannya, dan akuntabilitas.
Ketiga, reformasi administrasi negara. Seperti diketahui bersama, birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi yang menggurita. Mereka bukan hanya berada di lingkaran eksekutif seperti Sekretariat Negara, Departemen, Lembaga Non-departemen, dan BUMN, melainkan juga di lembaga perwakilan rakyat dan peradilan. Upaya awal sudah dilakukan, seperti transfer administrasi peradilan umum dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung, atau penentuan anggaran sendiri oleh lembaga perwakilan rakyat. Namun banyak hal masih harus dilakukan dalam reformasi administrasi negara ini. Secara umum reformasi itu mencakup peran atau tugas sistem addministrasi negara antara lain guna melayani masyarakat secara aspiratif daripada melayani kepentingan sendiri melalui kolusi dengan dunia usaha dan nepotisme. Peran lain adalah memberi ruang pada masyarakat dan sektor swasta untuk berkembang dari bawah (bottom-up) dan di daerah (decentralization). Bappenas, Dirjen Sospol Depdagri, Dephankam, misalnya telah mengalaminya.
Keempat, kultur dan etika birokrasi. Kultur keterbukaan, pelayanan yang cepat, dan etika pejabat harus ditingkatkan. Pelayanan yang lamban sudah menjadi ciri birokrasi kita (perhatikan layanan KTP, pemasangan saluran telepon baru atau air minum). Etika jabatan menyangkut hal-hal seperti larangan perangkapan jabatan, berkolusi, penerimaan uang pelicin dan lain-lain. Kelima, masalah sumber daya manusia yang memerlukan rekruitmen berdasarkan kualitas dan profesionalisme, peningkatan pelatihan, promosi reguler berdasarkan merit system, dan meningkatnya kesejahteraan (bandingkan antara gaji guru dengan pejabat esselon, juga pegawai negeri sipil-militer dengan pegawai BUMN). Keenam, pengawasan administrasi negara. Hal ini dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Pengawasan preventif melekat pada sistem administrasi negara yang bersangkutan, seperti kejelasan job description, pengawasan oleh atasan, dan secara umum berupa penyelenggaraan pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip yang baik, yang harus diikuti atau diwujudkan dalam menghasilkan legislasi. Indonesia belum memiliki ketentuan hukum dalam hal ini. Sedangkan secara represif, pengawasan ini dapat berwatak politis, yaitu melalui DPR dan DPRD, maupun berwatak yudisial melalui peradilan administrasi yang terbatas pada keputusan konkret (beschikking).
Memang banyak hal yang harus diperbaiki. Peran legislatif dalam mengutamakan kepentingan publik harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan partai atau golongan. Pemahaman anggota (yang baru) mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur peradilan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Sebaliknya, ketidakpatuhan birokrasi dalam menjalankan putusan hakim juga menuntut pemberdayaan putusan peradilan administrasi. Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju clean and the good governance, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.
Aspek yang juga penting adalah reformasi pemerintahan. Ada banyak sekali perubahan mendasar yang harus dilakukan dalam sistem pemerintahan, mulai desakralisasi lembaga kepresidenan hingga pemerintahan daerah. Namun konsep-konsep dan sistem yang berubah ternyata tak banyak memberi implikasi pada tataran aplikasinya di lapangan. Artinya, hanya konsep kulitnya yang berubah, sedangkan isi dan semangatnya, apalagi para pelakunya di lapangan, tak banyak berubah. Bisa dikatakan, reformasi belum sepenuhnya tuntas. Sehingga dalam konteks ini persoalan reformasi administrasi pemerintahan dianggap belum memadai. Khususnya dalam konteks tiga presiden pasca Soeharto, yakni BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati. Meski juga ada sejumlah keberhasilan yang ditunjukkan.
Tantangan bagi masyarakat adalah bagaimana mendesain sebuah sistem pemerintahan yang bisa menjamin bahwa kepentingan seluruh masyarakat bisa didahulukan secara efektif, sedangkan interes pribadi pihak-pihak yang berada dalam pemerintahan bisa diawasi. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu terbangun sebuah mekanisme sampai ke level terbawah, di mana mereka yang diberi otoritas bisa menjalankan mandat dari pihak yang telah memberinya kepercayaan.
Menurut Staffan Synnerstrom dari Asian Developmant Bank, ada dua faktor kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan memperkuat akuntabilitas. Khusus Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar militer dan polisi, proses ini hanya bisa dilakukan secara gradual. Salah satu hal yang disorot Synnerstrom adalah tradisi di Indonesia yang memisahkan antara penyusunan kebijakan (policy making) dan penyusunan anggaran (budgeting). Juga, pemilahan anggaran menjadi "anggaran pembangunan" dan "anggaran rutin". Tradisi ini membawa sejumlah kelemahan. Pertama, perubahan kebijakan, standar kinerja, pengeluaran, diatur melalui jalur administratif, tanpa terkait dengan anggaran, sehingga implementasi kebijakan sering tak sesuai dengan perencanaan.
Kedua, penyusunan anggaran di departemen umumnya disusun berdasarkan "formula yang kaku". Dengan demikian, untuk sebagian besar institusi, dana yang diterima sangat tidak mencukupi, tetapi ada juga sebagian kecil institusi yang memperoleh anggaran yang sangat besar. Ketiga, Departemen Keuangan tidak memiliki kontrol terhadap anggaran karena sudah ditetapkan berdasarkan "formula yang kaku". Selain birokrasi, partai politik juga memegang peranan sangat penting dalam sistem politik yang demokratis. Apa yang terjadi dalam dunia kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia sehaluan dengan tren yang terjadi di kawasan Asia Pasifik.
Legislasi yang menyangkut kepartaian di Indonesia umumnya menggiring partai untuk tampil di tingkat "nasional". Hal ini diyakini untuk mencegah munculnya perpecahan kelompok etnis ataupun regional di masyarakat. Karena, itu, sebuah partai diharuskan memiliki perwakilan yang layak di seluruh Indonesia. Hanya saja di sini perlu kehati-hatian, karena bila kelompok-kelompok etnis atau agama tidak mampu bersaing melalui cara-cara demokratis, dikhawatirkan mereka akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuannya.
Dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (good governance), maka pelaksanaan otonomi daerah harus benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good governance dan Clean government. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar dan bermartabat di mata dunia.
Spirit Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Masa Depan
Kebangkitan nasional, yang ditandai dengan lahirnya gerakan intelektual kaum muda terpelajar pada 20 Mei 1908 sudah menjadi kesepakatan bahwa momentum tersebut memiliki muara sejarah yang jelas, dan juga mulia. Hal itu terjadi dikarenakan kebangkitan nasional dilahirkan dengan bangunan keyakinan yang kokoh. Berkat keyakinan itu, setelah seabad lamanya berlalu, 250 juta lebih manusia Indonesia kini dengan aman dan nyaman mendiami wilayah berdaulat yang diakui dunia internasional. Wilayah yang dulu oleh kaum muda diberi pagar-pagar ideologis dan etnis. Semangat keyakinan itu terbukti telah mampu bertahan hingga kini. Kondisi ini setidaknya dilatari oleh beberapa alasan. Pertama, gerakan 1908 berisi gagasan jernih, jujur, cerdas, dan lugas, yang diungkapkan secara jernih, jujur, cerdas, dan lugas pula. Kaum muda 1908 berhasil menangkap roh terpenting dari realitas zamannya, lalu mengekspresikan itu dalam sebentuk gerakan kebangkitan. Sehingga, lahirnya Boedi Oetomo pada 1908 dengan kata lain, merupakan jeritan zaman.
Kedua, gagasan itu melintasi imajinasi zamannya. Tahun 2008 ini, genap seabad, momen kebangkitan nasional, sekaligus 80 tahun Sumpah Pemuda. Secara resultantif, 2008 seharusnya mampu menjadi momen penting bagi kaum muda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Kita tahu, momen 1908 menyemaikan cita-cita kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan cita-cita itu. Pertanyaannya, momen 2008 akan menjadi momentum untuk menyemai apa, mempertegas apa, dan mewujudkan apa?. Padahal kita tahu, lahirnya Boedi Oetomo 1908 ditandai oleh semangat untuk secara sadar dan cerdas mencita-citakan satu kesatuan bangsa yang utuh. Tetapi apapun jawabannya, jawaban itu harus mampu mendorong sebuah kebangkitan baru, kebangkitan Indonesia abad 21, kebangkitan sesuai semangat dan karakter zamannya. Itu peluang kesejarahan yang langka. Peluang untuk meresultansikan dua kekuatan utama sejarah: yakni kebangkitan dan kaum muda.
Upaya untuk menuju itu tentunya hanya bisa terwujud jika kaum muda mampu memberi peran berkesinambungan dan eksplorasi peran. Artinya, setiap generasi mengembangkan perannya masing-masing, sesuai semangat dan karakter zamannya. Jika, generasi 1908 meletakkan pondasi bangunan nasionalisme bagi bangsa ini. Generasi 1928 meneguhkan muara perjuangan menuju Indonesia yang satu dan bersatu: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Generasi 1945 mendobrak pintu gerbang kemerdekaan. Generasi 1966 mengembalikan bangsa ini ke jalur khittah kesejarahannya. Sehingga, setiap generasi memainkan perannya secara menarik dan heroik. Yang seluruh peran-peran itu secara bersama membentuk peran berkesinambungan, dalam arti satu peran dengan peran lainnya tidak saling lepas. Peran generasi 1928 menjangkar pada peran generasi 1908, dan sebelumnya. Peran generasi 1945 mustahil terwujud tanpa kehadiran generasi 1928, generasi 1908, dan sebelumnya. Peran generasi 1966 tidak pernah ada tanpa adanya kemerdekaan. Maka, demikian halnya dengan generasi 2008 sekarang, peran generasi sebelumnya setidaknya harus tetap dijadikan landasan ke depan. Karena semua generasi saling terpaut dalam suatu jalinan peran yang berkesinambungan.
Selanjutnya, selain mengemban tanggung jawab terhadap bergulirnya peran berkesinambungan, setiap generasi juga harus memiliki ruang eksplorasi peran sesuai semangat dan karakter zamannya. Perpaduan saling menguatkan, antara mengemban peran berkesinambungan sekaligus mengembangkan eksplorasi peran merupakan ciri penting dari setiap fase kebangkitan generasi. Termasuk pada bangsa ini dalam seabad terakhir. Sehingga dari pemetaan terhadap perpaduan peran berkesinambungan dan eksplorasi peran itu, nantinya mampu ditemukan setidaknya tiga kesamaan fundamental. Yakni Pertama, setiap fase kebangkitan generasi memiliki semangat dan karakter zamannya sendiri. Bagaimana semangat dan karakter setiap zaman, berikut tantangan dan peluang khasnya masing-masing, itu yang berbeda-beda.
Kedua, setiap fase kebangkitan generasi dibangun oleh sekaligus membangun sebentuk triumvirat kesadaran. Yaitu, perpaduan kesadaran historis, kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik. Triumvirat bermakna segitiga utuh. Satu sisi saja tidak ada, bukan lagi triumvirat. Apalagi jika sisinya hanya ada satu. Kesadaran historis semata akan melahirkan romantisme. Hanya ada kesadaran realistik akan melahirkan pragmatisme. Sementara, dengan kesadaran futuristik semata, yang lahir para pemimpi. Ketiga, pada setiap fase kebangkitan generasi, kaum muda selalu tampil dengan dua peran menonjol. Terhadap lingkungannya, ia berperan sebagai katalisator bagi percepatan perubahan. Sebagai katalisator kebangkitan. Terhadap dirinya sendiri, ia melakukan proses autopoietik, meminjam istilah dalam biomolekuler yang berarti membuat diri sendiri. Dua peran itu tidak saling terisolasi satu sama lain, tetapi juga tidak sama, apalagi saling menggantikan.
Karakter abad 21 ini merupakan konsekuensi logis tak terelakkan dari bawaan asli era informasi, yang oleh Toffler disebut gelombang ketiga. Karakter tersebut menjadi warna asli hambatan, tantangan, dan peluang di abad 21. Serba tak-terduga, tak-tertakar, dan tak-terbatas. Dalam kondisi ini, jika kaum muda mampu menangkap jeritan zaman dan menciptakan kuadran zaman baru, kita akan memiliki apa yang disebut peluang kesejarahan yang langka. Peluang untuk menciptakan sejarah berkarakter zamannya, dengan kekuatan cita-cita baru yang berenergikan jeritan zaman dan penciptaan kuadran zaman baru pada momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional. Kebangkitan nasional pada pembuka abad 20, oleh generasi 1908, ditetaskan di tengah-tengah cengkeraman penjajahan. Sehingga yang terpenting dari dan bagi mereka bukanlah arah dan muara, tetapi semangat dan gairah. Karena arah dan muara dari kebangkitan 1908 itu, saat itu masih sangat tidak jelas.
Tantangan dan peluang bagi momen kebangkitan nasional 2008, hampir sama sekaligus berbeda dengan 1908 saat itu. Sama-sama dalam cengkeraman penjajahan. Tetapi berbeda motif, modus dan gaya penjajahannya. Bukan lagi mengokupasi wilayah secara fisik dan langsung. Tetapi me-remote melalui jejaring ekonomi global, melalui sketsa politik internasional, melalui gurita informasi, dan melalui destruksi moral generasi. Pelakunya bukan lagi Portugis atau Belanda, tetapi oleh konsorsium-konsorsium global beranggotakan lintas negara dan lintas benua. Ketika kebangkitan nasional 1908 terjadi, semangat dan karakter zaman relatif masih terduga, tertakar, dan terbatas. Tetapi momen kebangkitan nasional 2008 harus berharapan dengan sekaligus mengalir dalam semangat dan karakter zaman yang semakin serba tak-terduga, tak-tertakar, dan tak-terbatas. Sehingga berbagai gejolak berbangsa dan bernegarapun semakin tidak terduga dan terbaca.
Penutup
Maka dari itu, momentum se-abad Kebangkitan Nasional yang sat ini gaungnya masih terasa, seyogiyanya harus terus kita sikapi dengan spirit baru, yang tentunya juga mampu melawan penjajahan dunia dengan kemerdekaan baru, jatidiri baru, dan kebangkitan baru. Baik dalam kerangka jejaring ekonomi global, sketsa politik internasional, gurita informasi, dan destruksi moral generasi. Selain juga kembali memaknai dengan kebangkitan nasional dalam arti bangkit dan bergerak dalam semangat dan karakter zaman yang serba tak-terduga, tak-tertakar, dan tak-terbatas. Selain itu, dengan semangat dan karakter itu pula, menawarkan cetusan-cetusan serba tak-terduga, tak-tertakar, dan tak-terbatas. Yang pada akhirnya, sewindu reformasi, se-abad Kebangkitan Nasional, 63 tahun kemerdekaan serta menjelang 80 tahun sumpah pemuda, mampu menjadi momentum menuju Indonesia yang disemangati oleh cita-cita, persatuan, kemerdekaan, idealisme kaum muda, dan segenap ikon kesejarahan yang melekatinya. Sehingga harapan sebuah masa depan bangsa yang diprakarsai oleh kemajuan dan eksplorasi tanpa jeda, teknologi dan kecerdasan tak kenal batas, dan kaum muda berkesadaran lintas batas, mampu mewujudkan sebuah bangsa yang berdaulat di mata dunia dan masyarakat yang sejahtera dalam segala aspek.
Daftar Bacaan
Achwan, Rochman, 2000, Good Governance: Manifesto Politik Abad Ke-21, dalam Kompas,
Rabu 28 Juni 2000, hal. 39.

Asian Development Bank (ADB), 1999, Good Governance and Anticorruption: The Road
Forward for Indonesia, Paper, Presented at Eight Meeting of the Consultative Group on
Indonesia, 27 – 28 July 1999, Paris, France.

J.B. Kristanto dkk, 1000 tahun Nusantara, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Adhyaksa, Bambang, Refleksi 10 Tahun Reformasi, dalam http//www.republika.co.id/, Mei
2008.

Chang, William, 2002, Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi; Catatan-catatan dari Sudut Etika
Sosial, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Deni Suito, Menuju Masyarakat Madani.http://www.cmm.or.id/,buletin no.138, July 2006.

Hidayat, Misbah L, 2007, Reformasi Administrasi; Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga
Presiden, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Isworo Laksmi, Brigitta (ed), 2006, Proses Pelapukan; Tantangan Indonesia Merdeka, Jakarta,
Penerbit Buku Kompas.

Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta.

Mulyana W. Kusumah dkk, 2000, Menata Politik Paska Reformasi, Jakarta, KIPP Indonesia.

Sahdan, Gregorius, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Paska Soeharto, Yogyakarta, Pondok
Edukasi.

Santoso Az, Lukman, Menuju Kebangkitan Nasional Baru, dalam Media Indonesia, 21 Mei 2008.

Sulastomo, 2003, Reformasi; Antara Harapan dan Realita, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Sunyoto Usman, Peran Civil Society (Masyarakat Madani) Dalam Tata Pemerintahan,
http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/, Oktober 2001

Usman, Anang, Supremasi Hukum, dalam http//www.jawapos-radar kudus.co.id/, Oktober
2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar