Rabu, 01 Desember 2010

Refleksi Hari Bela Negara (Nasionalisme): 19 Desember 2010


By ADMIN

Paradoks Ambivalensi Nasionalisme

Oleh: Ali Mahmudi Ch *)


Indonesia tidak tumbuh dari perut bumi. Darahnya tidak mengalir dari mata air sendang lereng gunung. Ruhnya tidak ditiup Sang Khaliq. Seluruh takdir masa lalu, kini, dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia merupakan anak sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda pertiwi kala mengandung dan membesarkannya. Sebuah ikatan membentuk wajah dan watak Indonesia penuh dinamika dan diwarnai ambivalensi.

Inilah Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita, Indonesia masa depan yang kita banggakan. Mulai saat ini, Indonesia diharapkan mampu menemukan jati dirinya. Sebagai generasi masa depan, mau tidak mau kita harus mengemban amanat luhur membawa Indonesia mengarungi samudera masa depan. Perjuangan ini diharapkan terus dikenang dan dikembangkan manusia sepanjang sejarah. Untuk itu, sebagai langkah awal kita harus merekonstruksi dan mengembangkan nasionalisme indonesia kedepan.

Sebagaimana dikemukakan Partha Chaterjee, bahwa bangunan nasionalisme tidak pernah utuh. Dalam artian, di dalamnya masih mengandung serpihan-serpihan yang tak menyatu bagai minyak dan air. Imajinasi sebagai materi dasar ideologi nasionalisme, kata Ben Anderson, akan berubah menjadi arena kekerasan ketika ide kebangsaan berbenturan dengan realitas masyarakat penuh dengan fragmen-fragmen sosial budaya bersanding diametrikal.

Dalam wujud ekstrim, nasionalisme merupakan wacana penuh kekerasan. Baik secara simbolik maupun dalam arti sebenarnya. Yang nantinya akan memberangus kemerdekaan individu. Karena di dalamnya mengandung ikatan kolektif paling primitif membentuk identitas. Inilah paradoks nasionalisme paling brutal. Paradoks ini bersembunyi nyaman dalam wacana nasionalisme Indonesia tanpa digugat tuntas.

Seratus tahun kebangkitan nasional terdengar begitu gagah. Setidaknya untuk menakut-nakuti negara tetangga yang masih belia. Tetapi Indonesia bukanlah anak kandung bumi pertiwi. “Indonesia” merupakan imposisi identitas kaum intelektual Eropa yang kebingungan memanggil bangsa kepulauan ini. Adanya “kebingungan” itulah Indonesia terjadi kemudian mengalir melalui gagasan modernitas kaum elit Jawa yang ingin mengecap rasanya menjadi orang modern.

Inilah awal paradoks nasionalisme Indonesia. Paradoks karena tidak pernah ada tetapi ada. Ini merupakan wujud tanpa bayangan masa lalu. Sebuah diskontinuitas. Tetapi bukankah bangsa Indonesia telah ada sejak 5000 tahun yang lalu? Ideologi selalu berdiri diatas mitos. Adapun mitos sebagaimana kita pahami, tidak segaris lurus dengan realitas. Setiap masyarakat yang memiliki identitas tentu memiliki mitos.

Sebab identitas merupakan mitos terinstitusionalisasi. Nasionalisme dimanapun selalu berpijak pada mitos. Ini dapat merujuk pada ancaman, utopia, atau superioritas ras. Tokoh-tokoh Adolf Hitler, Sukarno, Deng Xiao Ping, Lee Kuan Yew, Fidel Castro, hingga George W. Bush merupakan sederetan actor yang mengeksploitasi mitos demi tujuan politik kebangsaan. Mitos-mitos nasionalisme dilekatkan pada seremoni kenegaraan dan diidentikkan dengan patriotisme dan heroisme.

Nasionalisme Indonesia merupakan produk masa lalu. Eksistensi bangsa ini dibingkai mitos kerajaan-kerajaan masa silam. Dalam wacana ini, “Indonesia” merupakan kerumuman orang sama tuanya dengan tanah air negeri ini. Dalam hal ini, diskontinuitas sejarah seakan-akan sirna oleh mitos yang sengaja dihidupkan untuk menghubungkan Indonesia modern dengan “Indonesia” masa lalu yang jaya, gemah ripah loh ginawe, sebagaimana penggambaran Majapahit dengan aroma romantisisme.

Faktanya, nasionalisme ini membuat Indonesia kini terbelenggu oleh keterbatasan imajinasi ke depan. Nasionalisme bukanlah wacana mencari harmoni melainkan hegemoni. Oleh sebab itu, tak heran jika nasionalisme menjadi alat institusi negara untuk memobilisasi dukungan massa, sekaligus alat legitimasi untuk memberangus musuh-musuh negara yang dianggap tidak nasionalis.

Dalam wacana nasionalisme negara, kekuasaan menjadi tujuan utama di mana gagasan-gagasan alternatif tentang kebangsaan terkungkung dalam ruangan sempit dan gelap. Itulah nasionalisme Indonesia hasil dari konstruksi sejarah Orde Baru hingga sekarang masih tercengkeram dalam kepala. Hal ini merupakan sebuah nasionalisme yang berpusat pada praktek terorisme Negara.

Nasionalisme hegemonik Orde Baru tidak muncul dari pemerintah Negara. Tetapi berakar dari sejarah Indonesia sebagai suatu politisi modern penuh kontestasi. Kontestasi antara nasionalis-sekuler vis-à-vis nasionalis-religius, sosialisme vis-à-vis kapitalisme, elit vis-à-vis rakyat jelata, Jawa vis-à-vis non-Jawa, pribumi vis-à-vis non-pribumi, individualisme vis-à-vis kolektivisme. Konflik multi dimensi ini menghasilkan ambivalensi yang menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebenarnya belum utuh sempurna.

Nasionalisme Indonesia harus didekonstruksi. Tantangan generasi saat ini, bagaimana menciptakan nasionalisme dengan produk kemajuan, bukan kemunduran. Imajinasi masa lalu yang masih erat pada materi nasionalisme Indonesia seharusnya diinterpretasi dan reinterpretasi maknanya. Sebagai bangsa modern, nasionalisme Indonesia sudah seharusnya dibangun di atas tanah segar, bukan kuburan masa lalu yang kering dan gelap.

Nasionalisme Indonesia masa depan, seharusnya mampu melihat Indonesia sebagai tanah harapan (the land of promise). Dalam arti, semua orang merupakan pendatang yang terikat satu komitmen membangun tanah air tidak dengan identitas hegemonik. Tetapi, membangun dengan identitas multikultural. Dengan demikian, tiada satupun memegang otoritas sebagai penterjemah tunggal nasionalisme. Selain itu, semangat globalisasi harus diakomodasi ke dalam jiwa nasionalisme Indonesia. Tanpa harus terjebak dalam agenda-agenda globalisme.

Bagaimanapun, sejarah Indonesia ke depan dibentuk adanya arus global yang diwarnai nilai-nilai lokal. Dipersimpangan inilah nasionalisme Indonesia modern dan beradab dapat berdiri menatap masa depan. Maka, dari sini nasionalisme Indonesia modern akan terwujud tanpa harus meng-anaktiri-kan nilai-nilai budaya lokal. Sebab, nilai-nilai lokal merupakan awal terwujudnya nasionalisme modern.


*Penulis: Pengamat pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta.

No.Rek: 0183198863 BNI Syariah Yogyakarta a/n: ALI MAHMUDI.

Contact Person: 087 838 424 793

Tidak ada komentar:

Posting Komentar