Senin, 04 Oktober 2010

APAKAH PENGADILAN ITU ?

Oleh Satjipto Rahardjo

Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Time untuk membayar ganti rugi kepada mantan presiden Suharto sebesar satu trilyun, kembali menggugah pikiran kita untuk mempertanyakan tentang “apakah sebenarnya pengadilan itu?”. Apakah ia sebuah gedung yang megah? Suatu tempat berhimpun sejumlah orang arif dan bijaksana? Tempat keadilan diberikan? Suatu bursa pasar putusan? Suatu tempat jual-beli perkara? Atau apa?

Pada tanggal 6 Juni 2000, PN Jakarta Pusat membuat putusan yang menolak gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah Time, yang menurut pendapatnya telah mencemarkan nama baiknya dengan mengumumkan sejumlah besar kekayaannya di dunia. Putusan PN tersebut kemudian pada 16 April 2001 dikuatkan oleh Putusan PT DKI Jakarta.

Ada sebuah adegan kecil, yang dituturkan oleh Dr. Hamid Awaludin, waktu Ketua Majelis PN Jakarta Pusat, Sihot Sitompul selesai membacakan putusannya. Sesudah mengetokkan palu, ia menengok ke J.F.T., salah seorang anggota Tim Pengacara Pak Harto dan seraya menggeleng kepala berkata, ”I am sorry, I cannot help you.” (Awaludin, 2001).

Putusan tersebut dielu-elukan masyarakat sebagai satu tonggak sejarah dalam kebebasan pers di negeri ini. Memang banyak hal-hal luar biasa yang dilakukan oleh Majelis yang terdiri dari Sihot Sitompul, Ny.Hj. Endang Soemarsih dan Ny. Endang Sri Murwati, yang menolak seluruh gugatan mantan Presiden Soeharto tersebut.

Sekarang, tujuh tahun kemudian, pada tanggal 31 Agustus 2007, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Pak Harto dan Time harus membayar satu trilyun serta meminta maaf.

Berdasarkan pengamatan terhadap putusan-putusan pengadilan tersebut, sulit bagi saya untuk mengatakan, bahwa pengadilan kita benar-benar memiliki satu nurani (conscience of the court). Saya tidak melihat adanya garis pikiran yang jelas yang dapat disebut sebagai nurani pengadilan.

Pada hemat saya, reformasi pengadilan tidak hanya berhenti pada usaha untuk memberantas mafia di pengadilan. Andaikata pada suatu saat mafia dan korupsi di pengadilan sudah dapat ditaklukkan, lalu apa? Selesaikah reformasi sampai disitu? Masih ada agenda besar lainnya, antara lain membuat pengadilan kita menjadi suatu lembaga dan kekuasaan yang benar-benar berwibawa, karena memiliki nurani.

Pada waktu Purwoto S.Gandasubrata dilantik sebagai Ketua MA pada tahun 1993, saya berharap agar kita mempunyai pengadilan yang memiliki nurani, dengan artikel “Pengadilan-pengadilan Purwoto” (Kompas, 4 Januari 1993). Saya berharap agar Ketua MA yang baru dapat berperan sebagai pemimpin yang membawa pengadilan-pengadilan Indonesia menuju pengadilan yang berwibawa dan memiliki nurani. Tetapi rupa-rupanya jalan masih sangat panjang dan sekian puluh tahun kemudian harapan tersebut belum juga terpenuhi.

Sangatlah bagus apabila kita mendengarkan kata-kata seorang Hakim Agung Amerika yang legendaris, yaitu Oliver Wendell Holmes (Holmes, 1963). Hukum itu bukan logika, demikian Holmes, melainkan kuyup dengan pengalaman sang hakim dalam berinteraksi dengan masyarakatnya. Pengalaman ini tidak dapat diwadahi dalam skema-skema logika, karena ia bukan buku matematika. Seorang hakim hendaknya dapat merasakan desakan-desakan dari suasana keadaan (time) dimana ia berada. Desakan itu dapat datang dari teori moral dan politik yang dominan, institut publik, baik disadari maupun tidak. Sang hakim bahkan dapat berbagi sangkaan (prejudices) bersama-sama dengan masyarakatnya. Sekalian hal tersebut lebih menentukan dalam pengambilan putusan daripada penggunaan silogisme.

Apa yang dikemukakan oleh Holmes tersebut tentulah didasarkan pada pengalamannya selama berpuluh tahun menjadi hakim, yang saya kitra juga dialami oleh hakim-hakim kita. Disinilah proses pengambilan putusan oleh hakim menjadi sesuatu yang bersifat universal. Dipadatkan secara bernas, Holmes mengajak kita untuk merenungkan, bahwa pengambilan putusan itu tidak hanya menggunakan logika dan rasio, melainkan melibatkan seluruh rasa-perasaan manusia sang hakim.

Hakim yang baik akan memasang telinganya sedemikian rupa sehingga dapat mendengar degup jantung bangsanya yang berbicara tentang penderitaannya, cita-cita serta harapan-harapannya. Hakim diharap dapat menyuarakan hal-hal tersebut, yang sering disebut juga sebagai “suara-suara yang tidak terdengar”. Inilah yang dimaksud dengan nurani pengadilan tersebut di atas. Ia tidak mudah untuk diwadahi dalam kode etik biasa, karena sudah menyentuh ranah perasaan yang mendasar.

Bagaimanapun, pengadilan di negeri ini adalah milik kita juga. Oleh karena itu kita semua ikut bertanggung-jawab untuk menjadikan pengadilan kita benar-benar sebagai rumah keadilan yang bernurani dan penuh wibawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar