Oleh Satjipto Rahardjo
BARU-baru ini 18 hakim agung baru telah dilantik. Setiap pengangkatan hakim baru,
apalagi hakim agung, senantiasa menimbulkan harapan baru terhadap penampilan
pengadilan kita. Kendati pengadilan kita umumnya dinilai buruk, yang diakui sendiri
oleh Ketua Mahkamah Agung, setiap pengangkatan hakim-hakim baru senantiasa
membangkitkan harapan akan terjadinya kemajuan.
Saat melantik para hakim agung baru, Ketua Mahkamah Agung berharap agar mereka
menunjukkan kemampuan dan tanggung jawab sehingga mampu menepis citra buruk
pengadilan kita.
Kita melakukan perang terhadap korupsi, begitulah teriakan sebagian besar rakyat
Indonesia. Namun, kita tidak boleh "menembak" begitu saja orang- orang yang
dicurigai sebagai koruptor, sebab ini adalah negara hukum. Maka, perang terhadap
korupsi dan koruptor, terhadap premanisme, dan lain-lain, tidak boleh dilakukan di
jalan-jalan atau di sembarang tempat.
Tersangka tidak boleh langsung "dimassa" (istilah sekarang untuk keroyokan) begitu
saja. Semua tersangka, tertuduh, dan orang-orang yang dicurigai harus dibawa masuk
ke ruang pengadilan. Perang tidak berakhir, tetapi tidak lagi dilakukan di jalan dengan
tangan telanjang, namun dilakukan melalui cara-cara sopan dan beradab yang akan
menghasilkan kebenaran dan keadilan (mudah-mudahan, amin).
Perang jenis baru
Perang di jalan-jalan (street justice) memang digantikan oleh perang jenis baru. Dalam
ruang pengadilan, meski terjadi perang, tetapi itu dilakukan dengan aturan main baru,
prosedur baru, dengan alat-alat baru, dengan kultur baru. Perang jenis baru ini
dilakukan melalui adu argumen yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang
diberi wewenang untuk melakukan itu karena telah menjalani pendidikan khusus.
Rakyat yang polos, yang jelas-jelas melihat korupsi dilakukan, tidak mendapat pas
masuk untuk mengatakan apa yang mereka lihat. Pelaku-pelaku perang hanya boleh
diperankan oleh jaksa, advokat, dan hakim sebagai wasit. Rakyat tidak boleh turut
omong apa pun karena mereka dianggap tidak tahu aturan main, tidak mengerti
bahasa hukum. Mereka menonton dengan duduk manis di bangku atau di depan
televisi.
Kendati semuanya sudah dijalankan dengan tertib, sopan, dan beradab, mengapa
masyarakat masih bergolak dan merasa tidak puas? Mengapa para koruptor bisa lolos,
begitu pertanyaan polos mereka. Mungkin alasan yang sederhana di sini adalah
karena kita menggunakan kiasan kata perang. Dalam peperangan, yang penting
adalah memenangi perang itu dan bila sudah demikian maka segala cara dan usaha
ditempuh untuk menang.
Dalam suasana seperti itu, mungkin kita salah alamat bila orang menginginkan hasil
yang sungguh-sungguh benar dan adil. Dari mencari keadilan, proses bergeser
menjadi "pokoknya menang". Soal peraturan, prosedur, dan lain-lain bisa "dimainkan".
Keadaan seperti inilah yang di Amerika-liberal memunculkan sebutan trials without
truth (pengadilan yang tidak menghasilkan kebenaran).
Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan "berubah"
menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case). Praktik yang
berlandaskan filsafat liberal ini makin meluas dilakukan dunia sehingga sedikit banyak
menjadi standar. Bangsa yang mencoba mengotak-atik kemapanan dari sistem liberal
itu akan dicap sebagai tidak beradab, melanggar prinsip universal, hak asasi, dan
sebagainya. Saat Jepang mengintroduksi precise justice, bangsa itu segera dicap
sebagai bangsa yang menyimpang dari pakem (aturan main baku).
Perang spiritual
Di luar perang yang disebut di atas, sebelumnya masih ada jenis perang lain yang
lebih bersifat spiritual dan individual-subyektif. Perang itu terjadi dalam diri sang hakim
dan karena itu dalam artikel ini disebut "perang di balik toga hakim". Perang yang
disebut spiritual ini dengan bagus pernah dirumuskan Prof Roeslan Saleh (alm). Saat
itu dikatakan, "penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan". Alangkah
indah dan bernasnya kata-kata itu untuk menggambarkan apa yang "seharusnya"
berkecamuk dalam diri sang hakim saat memeriksa dan mengadili.
Dengan pernyataan itu, kita bisa membayangkan betapa terkuras (exhausted) hakim
saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana
ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah. Hakim
yang menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan
dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa/advokat,
dan lebih dari itu masih harus meletakkan telinganya di jantung masyarakat. Ada suatu
ungkapan indah yang mengatakan, hakim juga harus mewakili suara rakyat yang
unrepresented dan under-reprensented (yang diam, yang tidak terwakili, yang tidak
terdengar).
Jadi, tidak hanya Dewan Perwakilan Rakyat yang harus mendengar rakyat, hakim juga
perlu menangkap kegelisahan, penderitaan, dan keluhan dari suara-suara yang tidak
terdengar. Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim. Mendengarkan, melihat,
membaca, lalu menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan
karena itu menguras tenaga serta pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah
lagi dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil.
Mendorong hakim berhati nurani.
Semua yang dikatakan di atas tentang hakim adalah mulia dan indah belaka. Kendati
banyak orang mungkin akan mengatakan, itu adalah "mimpi", tetapi mimpi atau tidak,
bila kita mengharapkan datangnya institusi pengadilan yang baik, menjadi kewajiban
kita semua untuk bersama-sama mewujudkannya. Terlalu kecil bila urusan pengadilan
hanya diserahkan kepada lembaga itu sendiri atau Departemen Kehakiman dan HAM.
Ini sungguh perkara besar yang menyangkut martabat dan masa depan bangsa.
Kita hendaknya bisa bergerak serempak bagai konser untuk mendorong munculnya
hakim-hakim yang baik dan "memensiunkan" hakim-hakim yang kehadirannya malah
merusak pengadilan. Kepada mahasiswa selalu dikemukakan sebuah deskripsi yang
didasarkan data empiris bahwa di dunia ini secara sosiologis ada dua macam hakim.
Yang satu adalah mereka yang saat mengadili perkara, pertama-tama mendengarkan
suara dan putusan hati nuraninya, baru kemudian mencari aturan hukum untuk
menjadi landasan putusan nuraninya itu.
Tipe kedua adalah yang bila memeriksa mendengarkan "suara perutnya" lebih dulu
lalu dicarikan pasal-pasal untuk membenarkannya. Jelas, tugas kita adalah mendorong
dan memperbanyak hakim-hakim tipe pertama dan menggusur tipe kedua.
Kita kaget saat hakim agung (kini mantan) Asikin Kusumaatmadja menyebut jumlah
hakim-hakim yang tidak baik luar biasa besar. Kita hampir tidak percaya. Tetapi, itu
keluar dari mulut seorang yang berasal dari korps hakim sendiri, yang tentunya
didasari niat baik untuk mengubah keadaan yang buruk itu.
Katakanlah data itu benar, toh masih ada hakim yang setiap kali harus menjatuhkan
putusan selalu mengalami "perang di balik toganya". Sayang bila mereka turut terbabat
habis. Golongan "minoritas" ini harus terus-menerus didorong, didukung, dan
dibesarkan hatinya agar makin yakin bahwa yang dilakukan adalah sama sekali benar
dan mulia.
Dalam konser untuk memunculkan hakim-hakim yang baik itu, pendidikan hukum juga
memiliki saham besar. Dunia pendidikan sebaiknya meninjau kembali berbagai
parameter yang selama ini menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.
Aspek "keyakinan hakim" tidak boleh sekadar disinggung begitu saja, tetapi sebaiknya
dilakukan eksplorasi lebih jauh dan dibicarakan dengan serius. "Perang di balik toga"
dan "pergulatan kemanusiaan" hendaknya bisa dimasukkan sebagai salah satu
parameter penting saat dibicarakan tentang keyakinan hakim.
Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/09/opini/414788.htm
Kompas, Rabu, 09 Juli 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar