Senin, 04 Oktober 2010

Perang di Balik Toga Hakim


Oleh Satjipto Rahardjo

BARU-baru ini 18 hakim agung baru telah dilantik. Setiap pengangkatan hakim baru,

apalagi hakim agung, senantiasa menimbulkan harapan baru terhadap penampilan

pengadilan kita. Kendati pengadilan kita umumnya dinilai buruk, yang diakui sendiri

oleh Ketua Mahkamah Agung, setiap pengangkatan hakim-hakim baru senantiasa

membangkitkan harapan akan terjadinya kemajuan.

Saat melantik para hakim agung baru, Ketua Mahkamah Agung berharap agar mereka

menunjukkan kemampuan dan tanggung jawab sehingga mampu menepis citra buruk

pengadilan kita.

Kita melakukan perang terhadap korupsi, begitulah teriakan sebagian besar rakyat

Indonesia. Namun, kita tidak boleh "menembak" begitu saja orang- orang yang

dicurigai sebagai koruptor, sebab ini adalah negara hukum. Maka, perang terhadap

korupsi dan koruptor, terhadap premanisme, dan lain-lain, tidak boleh dilakukan di

jalan-jalan atau di sembarang tempat.

Tersangka tidak boleh langsung "dimassa" (istilah sekarang untuk keroyokan) begitu

saja. Semua tersangka, tertuduh, dan orang-orang yang dicurigai harus dibawa masuk

ke ruang pengadilan. Perang tidak berakhir, tetapi tidak lagi dilakukan di jalan dengan

tangan telanjang, namun dilakukan melalui cara-cara sopan dan beradab yang akan

menghasilkan kebenaran dan keadilan (mudah-mudahan, amin).

Perang jenis baru

Perang di jalan-jalan (street justice) memang digantikan oleh perang jenis baru. Dalam

ruang pengadilan, meski terjadi perang, tetapi itu dilakukan dengan aturan main baru,

prosedur baru, dengan alat-alat baru, dengan kultur baru. Perang jenis baru ini

dilakukan melalui adu argumen yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang

diberi wewenang untuk melakukan itu karena telah menjalani pendidikan khusus.

Rakyat yang polos, yang jelas-jelas melihat korupsi dilakukan, tidak mendapat pas

masuk untuk mengatakan apa yang mereka lihat. Pelaku-pelaku perang hanya boleh

diperankan oleh jaksa, advokat, dan hakim sebagai wasit. Rakyat tidak boleh turut

omong apa pun karena mereka dianggap tidak tahu aturan main, tidak mengerti

bahasa hukum. Mereka menonton dengan duduk manis di bangku atau di depan

televisi.

Kendati semuanya sudah dijalankan dengan tertib, sopan, dan beradab, mengapa

masyarakat masih bergolak dan merasa tidak puas? Mengapa para koruptor bisa lolos,

begitu pertanyaan polos mereka. Mungkin alasan yang sederhana di sini adalah

karena kita menggunakan kiasan kata perang. Dalam peperangan, yang penting

adalah memenangi perang itu dan bila sudah demikian maka segala cara dan usaha

ditempuh untuk menang.

Dalam suasana seperti itu, mungkin kita salah alamat bila orang menginginkan hasil

yang sungguh-sungguh benar dan adil. Dari mencari keadilan, proses bergeser

menjadi "pokoknya menang". Soal peraturan, prosedur, dan lain-lain bisa "dimainkan".

Keadaan seperti inilah yang di Amerika-liberal memunculkan sebutan trials without

truth (pengadilan yang tidak menghasilkan kebenaran).

Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan "berubah"

menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case). Praktik yang

berlandaskan filsafat liberal ini makin meluas dilakukan dunia sehingga sedikit banyak

menjadi standar. Bangsa yang mencoba mengotak-atik kemapanan dari sistem liberal

itu akan dicap sebagai tidak beradab, melanggar prinsip universal, hak asasi, dan

sebagainya. Saat Jepang mengintroduksi precise justice, bangsa itu segera dicap

sebagai bangsa yang menyimpang dari pakem (aturan main baku).

Perang spiritual

Di luar perang yang disebut di atas, sebelumnya masih ada jenis perang lain yang

lebih bersifat spiritual dan individual-subyektif. Perang itu terjadi dalam diri sang hakim

dan karena itu dalam artikel ini disebut "perang di balik toga hakim". Perang yang

disebut spiritual ini dengan bagus pernah dirumuskan Prof Roeslan Saleh (alm). Saat

itu dikatakan, "penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan". Alangkah

indah dan bernasnya kata-kata itu untuk menggambarkan apa yang "seharusnya"

berkecamuk dalam diri sang hakim saat memeriksa dan mengadili.

Dengan pernyataan itu, kita bisa membayangkan betapa terkuras (exhausted) hakim

saat menjalankan tugasnya karena harus menjalani suatu pergulatan batin. Suasana

ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah. Hakim

yang menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan

dihadapkan aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa/advokat,

dan lebih dari itu masih harus meletakkan telinganya di jantung masyarakat. Ada suatu

ungkapan indah yang mengatakan, hakim juga harus mewakili suara rakyat yang

unrepresented dan under-reprensented (yang diam, yang tidak terwakili, yang tidak

terdengar).

Jadi, tidak hanya Dewan Perwakilan Rakyat yang harus mendengar rakyat, hakim juga

perlu menangkap kegelisahan, penderitaan, dan keluhan dari suara-suara yang tidak

terdengar. Alangkah mulia sebenarnya tugas hakim. Mendengarkan, melihat,

membaca, lalu menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan

karena itu menguras tenaga serta pikiran. Dalam keadaan sekarang, masih ditambah

lagi dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil.

Mendorong hakim berhati nurani.

Semua yang dikatakan di atas tentang hakim adalah mulia dan indah belaka. Kendati

banyak orang mungkin akan mengatakan, itu adalah "mimpi", tetapi mimpi atau tidak,

bila kita mengharapkan datangnya institusi pengadilan yang baik, menjadi kewajiban

kita semua untuk bersama-sama mewujudkannya. Terlalu kecil bila urusan pengadilan

hanya diserahkan kepada lembaga itu sendiri atau Departemen Kehakiman dan HAM.

Ini sungguh perkara besar yang menyangkut martabat dan masa depan bangsa.

Kita hendaknya bisa bergerak serempak bagai konser untuk mendorong munculnya

hakim-hakim yang baik dan "memensiunkan" hakim-hakim yang kehadirannya malah

merusak pengadilan. Kepada mahasiswa selalu dikemukakan sebuah deskripsi yang

didasarkan data empiris bahwa di dunia ini secara sosiologis ada dua macam hakim.

Yang satu adalah mereka yang saat mengadili perkara, pertama-tama mendengarkan

suara dan putusan hati nuraninya, baru kemudian mencari aturan hukum untuk

menjadi landasan putusan nuraninya itu.

Tipe kedua adalah yang bila memeriksa mendengarkan "suara perutnya" lebih dulu

lalu dicarikan pasal-pasal untuk membenarkannya. Jelas, tugas kita adalah mendorong

dan memperbanyak hakim-hakim tipe pertama dan menggusur tipe kedua.

Kita kaget saat hakim agung (kini mantan) Asikin Kusumaatmadja menyebut jumlah

hakim-hakim yang tidak baik luar biasa besar. Kita hampir tidak percaya. Tetapi, itu

keluar dari mulut seorang yang berasal dari korps hakim sendiri, yang tentunya

didasari niat baik untuk mengubah keadaan yang buruk itu.

Katakanlah data itu benar, toh masih ada hakim yang setiap kali harus menjatuhkan

putusan selalu mengalami "perang di balik toganya". Sayang bila mereka turut terbabat

habis. Golongan "minoritas" ini harus terus-menerus didorong, didukung, dan

dibesarkan hatinya agar makin yakin bahwa yang dilakukan adalah sama sekali benar

dan mulia.

Dalam konser untuk memunculkan hakim-hakim yang baik itu, pendidikan hukum juga

memiliki saham besar. Dunia pendidikan sebaiknya meninjau kembali berbagai

parameter yang selama ini menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.

Aspek "keyakinan hakim" tidak boleh sekadar disinggung begitu saja, tetapi sebaiknya

dilakukan eksplorasi lebih jauh dan dibicarakan dengan serius. "Perang di balik toga"

dan "pergulatan kemanusiaan" hendaknya bisa dimasukkan sebagai salah satu

parameter penting saat dibicarakan tentang keyakinan hakim.

Satjipto Rahardjo

Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/09/opini/414788.htm

Kompas, Rabu, 09 Juli 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar