Senin, 04 Oktober 2010

DONGENG UNTUK CUCU DAN BUYUT

Ditulis oleh Akung Satjipto Rahardjo

(Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Rahardjo Nagoro)

Kado buat para cucu dan buyut,

Cerita-cerita ringan masa kecil Akung

Cerita ini dibuat oleh Akung atas permintaan salah seorang cucunya yang sok-usil, karena berani menyuruh Akungnya yang sudah tua dan pensiunan ini, untuk menuliskan pengalaman hidupnya buat bacaan dan peninggalan bagi para cucu dan buyut. Ya wis ora apa-apa, wong karepe apik, kok. Jadi Akung juga dengan segala senang hati memenuhi permintaan itu dan inilah dongengnya. Wah, Akung membayangkan alangkah asyiknya kalau Akung dulu juga bisa membaca cerita-cerita tentang orang tua dan kakeknya Akung semasa kecil. Akung itu sejak kecil suka sekali membaca dan menulis.

Akung sedikit bingung bagaimana harus mendongeng karena umurnya cucu-cucu itu bervariasi sekali. Ada Ina, Dinda, Intan yang sudah sarjana, tetapi ada juga Ihsan dan Aisya yang baru sekolah-sekolahan, lalu ada Dara yang berdiri saja belum bisa. Jadi mendongengnya ya campur-aduk saja, yang gaul ada, yang serius juga ada. Pokoknya enjoy aja, bleh.

Akung lahir di jaman negeri ini masih dijajah oleh kolonial Belanda, persisnya tanggal 15 bulan Desember tahun 1930, hari Senin Pahing, di sebuah kota kecil di karesidenan Banyumas, namanya Karanganyar. Orang Jawa itu mengenal weton artinya itung-itungan hari lahir. Senin itu berapa, Pahing berapa, lalu dijumlah dan di-magic. Menurut ibunya Akung, “Satjipto” (sak tjiptane) itu artinya “semua yang diinginkan” dan “Rahardjo” (karahardjan) itu artinya tercapai atau terwujud. Jadi dengan memberi nama itu, orang tua Akung mengharapkan, bahwa yang diinginkan Akung tercapai semua. Eh, bener juga. Akung sekarang sudah punya semua. Punya Uti yang sayang dan baik sekali sama Akung dan yang makin tua makin cantik. Punya anak-anak yang menurut dan baik-baik juga; cucu-cucu yang cantik dan cakep-cakep dan buyut yang imut-imut. Belum lagi menantu yang baik-baik. Mau apa lagi? Akung itu juga doktor dan profesor lagi. Murid-muridnya Akung suka menyebut Akung sebagai “begawan hukum Indonesia”. Itu kan namanya sudah top-markotop. Mudah-mudahan berkah nama “Satjipto Rahardjo” itu juga meluber ke semua anak, menantu, cucu dan buyutnya Akung. Amiiin.

Jadi Akung lahir di Karanganyar-Banyumas, sebab di Jawatengah banyak kota yang namanya Karanganyar. Orang tua Akung semua berasal dari daerah Banyumas, seperti Kebumen, Kalisalak, Kebasen. Ibunya Akung yang, sekalipun masih jaman kuna, tetapi namanya cukup gaul yaitu : Indri. Kalau saudara-saudaranya masih nama kuna, seperti Toyibah, Kromoseputro dan lain-lain. Kalau nama ayah Akung dan saudara-saudaranya itu berbau Islam, seperti Saleh, Abu, Ahmad dan lain-lain. Di Jawa itu ada kebiasaan menambahkan nama tua di belakangnya. Jadi ayah Akung namanya Saleh plus Kartohusodo (Saleh Kartohusodo). Oomnya Akung menjadi Abu Afandirdja. Karena memakai nama “Husodo”, yang artinya pengobatan itu, maka Akung suka dikira anak dokter, padahal hanya anak pegawai kesehatan kecil saja. Kalau ayahnya Uti memang dokter beneran, lulusan sekolah kedokteran jaman Belanda, namanya dokter Gusti Hassan, dari Kalimantan dan ibunya Uti juga anak golongan menak atau ningrat dari Banten. Sehari-harinya orang tua Akung dipanggil Pak Karto dan Bu Karto.

Sejak kecil Akung sudah keluar dari Banyumas, jadi tidak dibesarkan di daerah itu. Tetapi kalau disuruh bicara banyumasan ya masih bisa. Bicara atau logat orang Banyumas itu medhok banget, serba bletak-bletok, jadi lucu. Memang watak dasar orang Banyumas itu lugu (lurus) dan lucu. Jadi cucu-cucu itu betul-betul keturunan Indonesia atau keluarga Indonesia. Ada Jawanya, Banten atau Sundanya, ada Kalimantannya.

Akung mengalami kehidupan di tiga jaman, yaitu Belanda, jaman Jepang dan jaman Indonesia merdeka sekarang. Wah, jadi sudah tua sekali, ya? Ayah dari Akung itu seorang pegawai negeri biasa, pegawai negeri kecil, bukan orang berpendidikan. Wong bahasa Belanda saja hampir tidak bisa, kok. Bekerjanya di dinas kesehatan, dulu namanya “dienst der volks gezondheid” yang mengurusi kesehatan rakyat dan pangkatnya adalah hoofd mantri. Ibu dari Akung itu lebih mentereng dikit karena berprofesi sebagai bidan yang berijazah (gediplomeerde vroedvrouw). Jadi di depan rumah Akung dipasang plang seperti plang dokter yang praktek. Waktu itu yang namanya “bidan berijazah” itu masih sedikit sekali, yang banyak itu dukun. Pasen ibunya Akung banyak, yang Cina juga banyak. Makanya kalau lagi Imlek atau lebaran Akung dapat kiriman kueh ranjang dan mercon buanyak sekali.

Ibunya Akung kalau praktek pakai schort putih, selempang dan kancingnya di belakang. Kalau ada panggilan, menenteng tas besar yang isinya alat-alat untuk menolong kelahiran. Kalau lagi keliling ke pasen-pasennya naik dokar, kusirnya bernama Kasman. Kasman ini kemudian di jaman Jepang jadi tentara Peta (pembela tanah air) bikinan Jepang. Wah gagah juga, pakai pedang. Akung suka diajak naik dokar itu. Duduknya di depan dan kalau perjalanannya agak jauh, Akung suka tertidur, karena silir-silir kena angin. Di belakang hari ibunya Akung tidak naik dokar lagi, tetapi naik sepeda perempuan. Sebelumnya, ya belajar dulu naik sepeda, muter-muter di halaman rumah. Lucu, deh, persis seperti anak kecil yang belajar naik sepeda. Kota Pati itu kecil dan sepi, apalagi jaman belanda. Jadi naik sepeda ya aman-aman saja.

Akung itu anak tunggal. Beda sekali dengan Uti yang adik-adiknya ada 11, wah ramai sekali. Saking banyaknya, Akung dulu suka keliru menghitung adik-adiknya Uti, sudah dihitung masih dihitung lagi. Habis kecilnya sama, sih. Susana di rumah Akung itu sepi. Akung tumbuh dalam lingkungan yang sepi, menjadi manusia kesepian, tidak ada yang diajak ngomong. Akung suka iri kepada teman-temannya yang punya banyak saudara. Makanya Akung suka berkhayal, suka ngomong sendiri seolah-olah punya banyak saudara. Waktu sudah harus tidur sendiri, sebelum tidur Akung suka bilang “mana pedangnya, bawa sini”. Maksudnya kalau ada maling diluar yang dengar supaya takut. Waktu itu belum banyak mobil, apalagi di kota kecil, jadi sepi. Pagi hari sambil masih tiduran, Akung suka sekali mendengarkan ketepak-ketepok suara kaki sapi yang menarik pedati. Suaranya cukup nyaring dan romantis di tengah pagi yang sepi. Suara itu masih suka terngiang dalam telinga Akung, begitu indah. Di dekat rumah Akung ada gardu ronda dan disitu tergantung sebuah kenthongan besar dari kayu, gunanya untuk isyarat bahaya seperti perampokan, kebakaran dan sebagainya.

Di tahun 1930-an anak-anak kecil itu pakai baju hansop atau suka juga disebut celana-monyet, nggak tahu mengapa dinamakan seperti itu. Baju hansop itu baju terusan. Jadi waktu umur 4-5 tahun, seumur Ihsan sekarang, Akung itu kemana-mana pakai baju hansop. Kalau Ican sekarang kecil-kecil sudah pakai celana jeans.

Di sebelah rumah Akung ada warung “Babah Ho” yang jualan macam-macam barang klonthong. Sampai sekarang Akung masih ingat bau warungnya yang khas yang berasal dari aroma barang-barang jualan yang ada disitu. Akung suka beli-beli di warung itu dan uangnya didapat dari “curi-curi” di kamar pembantu. Kamar pembantu itu ada kelambu gantungnya dan Akung suka gresek-gresek mencari uang kecil yang biasanya ada di atas langit-langit kelambu. Tentu saja Akung yang masih kecil itu hanya bisa menggapai-gapaikan tangannya diatas kelambu sambil kakinya jinjit. Kalau menemukan uang kecil wah senengnya bukan main, lalu lari ke warung. Di jaman itu uang satu sen masih berharga sekali, apalagi satu gobang (dua-setengah sen). Uang satu gobang itu ada lubang di tengahnya.

Akung suka sekali pada wayang dan salah satu pahlawannya adalah kera putih sakti yang bernama Anoman. Maka kalau Akung sedang mandi dan sedang bersabun lalu suka keluar kamar mandi dan menari menirukan Anoman. Bayangan Akung adalah sudah berubah menjadi wayang Anoman kera putih yang sakti itu. Hanya kostum yang dikenakan Akung adalah busa sabun itu tadi. Akung juga suka main wayang-wayangan sendiri di atas tempat tidur. Disitu digantungkan jarik (kain batik) yang diumpamakan layar dari wayang orang. Jadi Akung sibuk bolak-balik sendiri, dari belakang layar ke depan layar.

Waktu kecil itu, seperti umumnya anak-anak kecil, Akung suka main ke mana-mana. Uti waktu kecil juga suka ngaber ke mana-mana sampai lupa waktu. Jadi kalau Runi dan Ican itu suka ngluyur ke mana-mana, Akung juga bisa mengerti, wong dolan itu asyik kok. Tapi Eka-Esa itu anak jaman sekarang, yang mainannya video-game. Bude Mita, tante Rini dan tante Kiki, itu waktu kecil main kasti di perumahan dosen Erlangga. Erlangga waktu itu masih sepi, tidak seperti sekarang. Kalau sudah main kasti, waktunya orang tidur siang, wah ramai dan berisik sekali. Oom Hari sama temen-temennya laki-laki suka main “Shintaro-shintaroan”, naik tembok belakang, kalau sudah jatuh dan oom Hari bahunya terkilir. Wah sakitnya tentu bukan main, sampai diobatkan ke Bu Ong Kang Hwat, yang pinter mengurut itu. Baru sembuh. Tante Kiki lebih lagi, pergelangannya patah, sehingga dibawa ke dokter. Tante Rini pernah punya wudun (bisul besar) di matanya. Yang mengobati Uti, dipenyet sampai mata bisulnya keluar. Wah darahnya banyak dan tante Rini tentu saja kesakitan dan meraung-raung. Kalau sempat sekolah kedokteran, pasti Uti jadi dokter yang pinter.

Pulang sekolah biasanya tidak ada orang di rumah Akung, karena ibunya Akung lagi keliling menolong orang beranak dan merawat bayi. Jadi ya tancap gas, bleh, main saja kemana-mana. Siang hari Akung tidak boleh main ke mana-mana, karena waktunya untuk tidur. Tetapi Akung tidak tidur. Akung boleh tidak tidur, tetapi harus tetap di rumah. Akung tidak kurang akal. Supaya dikira ada di rumah, maka Akung suka nyanyi-nyanyi. Kalau suasana sudah sepi, ayah ibunya Akung sudah tidur, lalu Akung pelan-pelan menyelinap main keluar rumah. Akung pernah kecebur dalam kolam, karena asyik melihat cebong (anak katak). Tentu saja gelagapan karena tidak bisa berenang, tetapi banyak yang menolong. Wah, panik banget.

Ibunya Akung itu resikan, hegienis dan kikrik sekali. Semua harus bersih, makan harus dikontrol, tidak boleh makan apa saja di luar rumah. Padahal Akung suka curi-curi makan di luar rumah. Kalau lagi makan jambu lalu kebetulan ibunya Akung lewat, wah deg-degannya setengah mati. Suatu ketika ibunya Akung bilang, “hayo tadi makan es, itu pupnya ada esnya”. Mana mungkin pup kok ada esnya. Akung kok ya percaya saja sambil ketakutan setengah mati. Kalau bertandang ke rumah orang dan dikasih makanan, maka Akung harus bilang tidak mau. Waktu dipaksa, akhirnya bilang “tidak boleh sama ibu”.

Waktu kecil Akung itu susah banget makannya, sampai orang tua Akung pusing banget. Kalau menghadapi piring nasi, rasanya seperti menghadapi pekerjaan yang menyiksa. Maka Akung dipaksa minum levertraan (minyak ikan), merek “Scotts Emulsion”, yang bentuknya cairan kental putih. Supaya rasanya tidak terlalu enek lalu dicampur dengan sedikit anggur. Wah, Akung sangat tidak suka. Tetapi jaman sekarang Scotts Emulsion itu sudah dibuat ada yang rasa jeruk, jadi anak-anak suka. Karena sangat bagus untuk pertumbuhan anak, maka Akung suka belikan vitamin itu buat Eka dan Esa waktu kecil yang kurus-kurus. Saking orang tua Akung kehabisan akal tentang bagaimana caranya supaya Akung suka makan, maka di waktu liburan, ibu Akung suka mendatangkan kakaknya untuk “meneror” Akung. Bibi Akung itu namanya Toyibah, seorang guru. Maka di bulan liburan itu Akung harus disiplin mengonsumsi boullion yaitu kaldu ayam. Akung tidak suka masakan itu. Karena guru, maka bude Toyibah itu suka sekali kasih nasehat panjang lebar. Wah, kalau sudah begitu Akung bosan sekali, maunya pergi, tetapi tidak berani. Makanya Akung tahu bagaimana tidak enaknya kalau anak kecil harus mendengarkan omongan orang tua berlama-lama. Sangat mengesalkan dan membosankan.

Akung kenal dengan sekolah pertama-tama di taman kanak-kanak, dulu namanya “kleuterschool” atau “Froebelschool”. Taman kanak-kanak itu punya ibu Fathonah, di dekat alun-alun, di sebelah masjid, di pinggir rel kereta api. Akung masih ingat ada guru yang cantik. Dari situ lalu pindah ke taman kanak-kanak di pasturan (kompleks katolik), masih di pinggir rel kereta api, tidak jauh dari sekolah yang pertama. Ada lapangan besar tempat kami bermain-main, seperti main “sluip door”. Lagunya begini, “sluip door, sluip door, drie maal drie gaat er van door, de laatste wordt gevangen” (teruslah mbrobos, teruslah mbrobos, tiga-tiga, yang akhir ketangkap). Jadi anak-anak itu main berobosan lalu yang terakhir ketangkap. Suatu ketika Akung ngumpetin sebuah potret kapal yang sedang berlabuh. Menurut Akung potret itu bagus sekali, lalu diumpetin di dalam laci. Anak yang punya tentu mencari potret itu kemana-mana, tetapi kakek diam saja. Akung masih ingat jantungnya berdebar keras karena belum pernah berbuat bohong. Waktu itu Akung kira-kira berumur lima tahun dan pernah pup di sekolah. Saking belum bisa pakai baju sendiri maka sesudah pup pakai bajunya terbalik. Pernah ada teman Akung anak perempuan yang menangis. Lucunya Akung yang waktu itu masih kecil kok ya bisa-bisanya menghibur dia supaya jangan menangis. Lucu ya, “cup…cup…cup”. Sekarang tentu teman Akung itu kalau masih hidup ya sudah setua Akung sekarang. Ada seorang pastur yang suka memanggil Akung dan bilang, bahwa Akung itu dulunya nakal, tetapi sekarang menjadi baik. Pastur itu ngomongnya sambil jempolnya diturunkan ke bawah lalu dinaikkan ke atas. Pastur itu kerjanya mundar-mandir sambil membaca buku kecil, barangkali yang namanya Injil.

Waktu itu, tahun 1930-an, Akung tinggal di jalan yang namanya “Priyayi Straat” (jalan priyayi). Di depan rumah ada pohon asem yang besar dan buahnya banyak. Priyayi itu kalau di Sunda disebut kaum menak. Di Jawa namanya para ndoro, di Sunda juragan. Ya jamannya masih feodal. Memang di jalan itu banyak tinggal pegawai negeri dan di masa itu yang namanya pegawai negeri atau ambtenaar tergolong kelas menengah, kelas ndoro. Ndoro itu macam-macam, ada ndoro besar, kalau orang tua Akung itu barangkali cuma ndoro kecil saja, karena memang pegawai kecil. Di dekat rumah Akung ada mantan wedono, lha itu namanya baru ndoro besar atau sedang. Waktu itu pangkat-pangkat para ambtenaar dipanggil ndoro semua; ada ndoro seten (dari asisten), ndoro dono (dari wedono), ndoro patih dan ndoro bupati. Bupati jaman dulu itu sudah tinggi sekali, hampir seperti raja kecil. Bupati Pati waktu itu namanya Milono dan pada jaman kemerdekaan menjadi residen Pati. Anak-anaknya pada sekolah Belanda, tetapi sepertinya tidak ada yang menonjol. Mendingan Akung, yang anak orang kecil tetapi jadi profesor-doktor. Maka nanti, cucu dan buyut Akung harus ada yang melebihi Akung, jadi profesor-plus dan dapat hadiah internasional, sukur-sukur dapat Nobel. Wih! Amiiin.

Sesudah Indonesia merdeka, nama jalan itu diubah menjari “Jalan Pasar”, karena memang di ujung jalan ada pasar kota, namanya Pasar Puri. Jadi jalan itu turun pangkat dari priyayi menjadi jalannya rakyat biasa yang pergi ke pasar.

Persis di sebelah rumah Akung ada sekolah, namanya “Taman Siswa” yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Jadi secara iseng, dengan sembunyi-sembunyi, Akung suka ikut-ikutan sekolah seperti anak sekolah biasa. Supaya tidak diketahui oleh orang tua Akung, caranya dengan sembunyi-sembunyi mbrobos pagar tanaman. Jadi orang tua Akung tidak tahu kalau Akung suka ikut-ikutan sekolah. Suatu hari karena Akung tidak masuk sekolah lalu diteriaki oleh teman-teman, “E, mbolos … E, Tjipto mbolos”. Dari situ orang tua Akung baru tahu, kalau Akung selama itu suka curi-curi masuk sekolah.

Rumah Akung dulu rumah kuna yang besar, masaknya di dapur pakai kayu. Akung suka nongkrong di dapur sama pembantu. Kadang-kadang, secara mendadak, tanpa diketahui sebabnya kulit Akung merinding, dalam bahasa Belanda “kippevellen”. Kalau sudah begitu lalu dalam hati terdengar suara “manusia itu apa?”. Peristiwa seperti itu terjadi berkali-kali. Akung yang waktu itu baru berumur sekitar lima-enam tahun, ya nggak mengerti apa maknanya suara dalam hati itu. Pikiran Akung belum sampai kesitu. Tetapi sekarang Akung baru tahu, bahwa itu merupakan isyarat adanya bakat berfilsafat pada Akung. Dan kenyataannya sekarang Akung memang banyak menulis dan menganalisis masalah sosial dan hukum secara filosofis.

Akung lalu ingat pada Ican, itu cucu nomor 10, yang keranjingan mesin. Siapa tahu itu juga isyarat, bahwa bakatnya ada disitu. Siapa tahu, Ihsan nanti menemukan sesuatu dan dapat hadiah Nobel. Amiiin. Sebaiknya orang tuanya bersyukur karena minat dan bakatnya sudah jelas kelihatan. Tinggal sekarang mendorong Ican untuk menggeluti bidang itu, jangan disia-siakan.

Pada umur itu Akung juga ingat suka mimpi berseri (serial) yang “mengerikan”. Akung sering mimpi tentang anjing yang duduk di depan pintu dan menghalang-halangi Akung yang mau lewat. Rasanya ngeri sekali. Akung tidak tahu apa artinya, mungkin ahli psikologi seperti mbak Dinda bisa menjelaskan.

Akung itu punya kakek yang perilakunya suka aneh. Kakek itu tinggal di desa kecil namanya Kalisalak, Banyumas. Pada waktu kambingnya dicuri, bukannya pencurinya dikejar, tetapi ia malah ngumpet. Maksudnya supaya pencurinya tidak tahu, karena kalau sampai ketahuan tentu pencuri itu akan malu. Aneh ya ada orang seperti itu. Siapa tahu watak kakek Akung yang aneh tapi mulia itu ada yang menurun pada cucu dan buyut Akung.

Akung masuk sekolah beneran baru pada umur 7 tahun, karena waktu itu aturannya memang begitu. Akung masuk sekolah dasar yang waku itu namanya HIS (Hollandsch- Inlandsche School), yaitu sekolah dasar dengan pengantar bahasa Belanda. Kalau Uti, karena anak seorang dokter, sekolahnya di ELS (Europese Lagere School) di Pandeglang. Sekolah itu adalah untuk anak-anak Belanda dan orang pribumi yang pangkatnya tinggi, seperti dokter, insinyur dan meester in de rechten (sarjana hukum). Di Jawa Tengah, mereka biasa dipanggil ndoro, seperti ndoro dokter dan ndoro meester. Jadi waktu itu di ELS ada “landa lucu” karena kulitnya tidak bule, ya Uti itu. Temennya Uti ya tentu anak-anak Belanda bule itu. Uti itu waktu di sekolah dasar pinter sekali, apalagi soal hitung-hitungan. Kalau Akung sih cuma biasa-biasa saja, nomor urutnya paling-paling nomor tiga atau empat.

Jadi waktu jaman kolonial itu sekolah-sekolah juga dibeda-bedakan. Yang boleh masuk HIS hanya pegawai negeri yang gajihnya minimum sekian. Kalau tidak, ya tidak boleh masuk sekolah itu. Di luar HIS masih ada “Schakel School”, “Vervolg School” dan sekolah “Angka Loro”, itu sekolah untuk rakyat biasa. Ada juga sekolah untuk anak-anak Cina, namanya HCS (Hollandsch-Chinese School). Jadi waktu itu bangsa Indonesia betul-betul dipisah-pisahkan, dipecah-belah dan digolong-golongkan. Waktu itu tidak ada tawuran seperti sekarang, tetapi kalau perkelahian satu lawan satu sering. Perkelahian itu berlangsung di luar sekolah secara jantan dan ditonton oleh teman-temannya sendiri. Dimulai dengan saling menantang, “Awas mengko jam siji” (awas nanti sesudah jam satu, maksudnya sesudah bubar sekolah). Akung tidak pernah berkelahi, cuma nonton saja. Tetapi Akung dengar ada seorang cucu yang berani berkelahi sekalipun menghadapi keroyokan. Akung senang punya cucu yang gagah-berani, tetapi hatinya terus-menerus deg-degan dan tidak berhenti berdoa untuk keselamatannya. “Aja ya le, aja sok gelut, atiku deg-degan!”. Jangan ya Cu, jangan suka berkelahi, jangan bikin Akung deg-degan, karena anak-anak jaman sekarang suka curang.

Rasanya waktu itu sekolah Akung itu besar dan luas, padahal sekian puluh tahun kemudian, waktu Akung ke Pati, sekolah yang dulu besar itu kok menjadi kecil. Di halaman depan ada pohon beringin dan koplakan, yaitu tempat parkir dokar-dokar. Banyak teman-teman Akung yang ke sekolah naik dokar, termasuk Akung. Di samping ada speelloods, yaitu sebuah ruangan besar yang tertutup untuk bermain-main dan pelajaran olah-raga. Di belakang ada lapangan yang pada jaman Jepang dipakai untuk taisho (gerak badan) seluruh murid sekolah. Pada jaman itu permainan yang populer bagi murid-murid SD adalah kasti. Sekolah Akung mempunyai tim kasti yang sering ikut pertandingan antar sekolah. Wah, kalau sudah bertanding ramai sekali, tetapi tidak pernah ada yang tawuran.

Waktu itu sudah ada Pramuka, yang pada jaman kolonial namanya pandu (kepanduan) atau “padvinder”. Akung kepingin sekali ikut jadi pandu, tetapi orang tua Akung tidak membolehkan. Waktu itu ada bermacam-macam organisasi kepanduan, ada KBI (kepanduang bangsa Indonesia), ada Hizbul Wathon (kepanduan Islam) dan lain-lain. Wah, kalau jadi pandu rasanya gagah sekali, pakai topi dan uniform segala, juga dilatih punya ketrampilan-ketrampilan. Rupa-rupanya orang tua Akung itu takut sekali kalau terjadi apa-apa pada anaknya yang semata wayang. Pandu-pandu itu memang suka berkemah, mendaki gunung dan sebagainya. Jadi kekhawatiran orang tua akung ada alasannya. Tetapi akung cukup sedih tidak boleh ikut kepanduan itu.

Waktu Jepang masuk, Akung sudah duduk di klas 4 HIS. Kepala sekolahnya bernama meneer Killiaan, nggak tahu Belanda dari mana kok rambutnya hitam. Guru kelasnya perempuan, namanya Juffrouw (ibu) Sri yang cukup disiplin dan buat Akung rada-rada menakutkan. Yang Akung ingat adalah matanya yang besar dan sorotannya yang tajam. Paling senang kalau datang hari Sabtu, sebab pada jam ketiga Ibu Sri selalu mendongeng (vertellen) dan cerita-ceritanya selalu mengasyikkan. Begitu pelajaran ketiga mulai dan juffrouw Sri masuk, semua anak pada diam karena siap-siap ingin mendengarkan dongeng-dongeng. Yang Akung takuti adalah “hoofd rekenen”, pelajaran hitung mencongak. Teman Akung ada yang suka langsung sakit perut kalau ada pelajaran berhitung itu. Sambil berteriak memegangi perutnya ia berlari keluar.Tapi sesudah besar ternyata jadi sarjana ekonomi lulusan Universitas Indonesia, jadi ya pinter juga rupanya.

Guru-guru Akung pada naik sepeda dan sepedanya bagus-bagus, ada Fongers, Gazelle, Raleigh, Philips dan lain-lain. Di masa itu guru-guru itu sangat dihormati dan disegani. Teman Akung kadang ada yang dipukul, tetapi ya biasa-biasa saja, tidak terus rame-rame seperti sekarang. Ada teman Akung yang rada-rada telmi, sehingga langganan dipukul guru karena saking jengkelnya. Saking seringnya dipukul di punggung, maka dia sudah siap dengan menyelipkan buku di punggungnya di dalam baju. Maka waktu diupukul dia pura-pura kesakitan tetapi sebetulnya tidak. Akung juga punya guru yang namanya Sukirman, yang kalau mengajar tidak pernah menatap muka-muka muridnya, tetapi menatap jauh ke dinding belakang kelas. Lucu.

Alat tulis waktu itu bukan buku tulis dan pensil, melainkan berupa sabak hitam kecil dan grip. Setiap mengaso, banyak murid-murid yang mengasah gripnya pada pinggiran lantai. Ada juga teman-teman Akung yang kalau sekolah membawa bekal roti di dalam kotak kecil yang namanya brood trommel. Bangku sekolahnya bagus-bagus. Tempat menulisnya tidak datar, tetapi sedikit miring dan di ujungnya ada tempat tinta, namanya inktpot. Waktu itu buat mulut orang Jawa sulit sekali mengucapkan kata inktpot itu. Sebagian murid yang mulutnya benar-benar “ndesa”, mengucapkannya sebagai “ing-gejepot”. Meja untuk menulis bisa dibuka dan di dalamnya ada tempat menyimpan buku.

Pelajaran bahasa Belanda itu juga ada susahnya, terutama cara mengucapkan kata-kata Belanda. Mulut orang Jawa itu susah mengucapkan kata-kata Belanda dengan betul, sehingga setiap pagi dilakukan “olah raga mulut” atau mond gymnastiek. Wah, kalau sudah pelajaran itu banyak ucapan yang lucu-lucu. Cara-cara mengucapkan kata Belanda harus dilakukan dengan tepat dan para guru mengawasi dengan ketat. Teman Akung waktu itu ada yang minta ijin kepada juffrouw Sri dengan kata-kata, “Juffrouw, ma ik …. (harusnya “juffrouw mag ik …”). Ibu Sri segera membetulkan dengan mengatakan, “Jouw ma is thuis” (ibumu di rumah), Jadi kata-kata Belanda harus dilafalkan dengan tepat dan guru-guru Akung telaten mengajarnya. Di tahun 1980-an Akung pernah ke negeri Belanda dan bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar bahasa dan sastera Belanda untuk program S-2. Dia tentu saja menguasai tatabahasa Belanda dengan baik, tetapi pada waktu mengucapkan kata-kata Belanda banyak belepotannya, pada hal sudah sarjana. Jadi, guru-guru Akung dulu sungguh pintar mengajarnya.

Waktu masih di kelas satu atau dua SD, Akung sudah suka bikin catatan-catatan di notes, kira-kira semacam buku harian begitulah. Lucunya, catatan kecil itu suka dibaca oleh guru-guru Akung. Apanya yang menarik, ya? Di sekolah ada pelajaran menulis halus, tetapi tulisan Akung waktu kecil itu buruk, sehingga waktu ada jam pelajaran “schoon schrijven” (menulis halus, tebal-tipis), buku tulis Akung pernah dilempar oleh pak guru karena tulisan Akung yang jelek itu.

Di jaman Belanda itu kehidupan masih belum maju seperti sekarang yang banyak super market, mall, apartemen dan sebagainya. Masa anak-anak Akung dihabiskan di sebuah kota yang kecil, namanya Pati. Sekalipun kecil tetapi Pati itu hoofdstad atau ibu kota karesidenan, namanya karesidenan Jepara-Rembang atau bahasa Belandanya “Residentie van Jepara-Rembang”. Sudah sejak kecil Akung suka membaca dan menulis-nulis. Tetapi waktu itu belum ada toko-toko buku seperti sekarang, Jadi Akung suka menyusup-nyusup ke dalam kampung untuk mencari buku bacaan yang bisa dipinjam. Kadang-kadang ditemukan rumah rakyat yang seperti gubug, tetapi pokoknya bisa meminjamkan buku. Akung tidak peduli, pokoknya dapat buku untuk dibaca, sekalipun sudah kumal sekali. Untung orang tua Akung, sekalipun pendidikannya rendah saja, rada-rada mengerti juga kebutuhan Akung untuk membaca. Maka mereka berlangganan majalah yang ada waktu itu, seperti “Kejawen” dan “Panyebar Semangat”, semua dalam bahasa Jawa. Dari majalah-majalah itu Akung sudah mulai mengikuti perkembangan di dunia. Pada jaman kemerdekaan, waktu sudah duduk di SMP, Akung suka sekali nongkrong di perpustakaan pemerintah. Buku-buku yang disediakan biasanya tentang sosial, politik dan ekonomi. Sekalipun pikiran Akung belum sampai kesitu, tetapi ya tetap diembat saja. Jadi waktu berumur sebelas-duabelas tahun itu Akung sudah harus menelan pidato Pancasila dari Bung Karno, dan buku karangan Sutan Syahrir. Embat aja, bleh! Kalau Akung jadi anak jaman sekarang maka mainnya juga barangkali ke playstation.

Pati itu kota kecil dan isinya banyak orang-orang yang sudah pensiun. Tidak banyak keramaian, hanya ada satu gedung bioskop. Film yang diputar banyak untuk orang dewasa, sehingga Akung tidak boleh masuk. Jaman dulu itu sebelum film dimulai ada orkes kecil yang main, lalu di tengah-tengah pertunjukan ada jedah sebentar. Film-film yang terkenal itu seperti Tarzan, cerita horor Frankenstein dan ada bintang kecil namanya Shirley Temple. Di kota Akung juga suka ada rombongan kethoprak dan wayang orang yang kadang-kadang singgah. Akung suka diajak nonton wayang orang. Kalau sudah sampai pada perang antara Arjuna dan para raksasa-raksasa, maka Akung menutup mata dan minta pulang, takut raksasanya melompat ke penonton. Di antara anak-anak Akung tidak ada yang suka wayang kecuali bude Mita. Bude Mita suka diajak nonton wayang Ngesti Pandowo oleh orang tua Akung.

Satu-satunya alat komunikasi dan hiburan yang ada waktu itu adalah radio. Radio itu ada yang merek “Erres” dan “Philips”. Radio orang tua Akung mereknya Erres. Tetangga Akung tidak punya radio. Kalau kebetulan ada siaran kethoprak yang waktu itu disukai rakyat, malam-malam tetangga itu mesti datang ke rumah Akung untuk mendengarkan siaran kethoprak itu. Namanya “Kethoprak Mataram” dan disiarkan dari studio Yogyakarta. Acara yang juga digemari adalah “Dagelan Mataram” yang isinya lelucon. Selebriti dari Dagelan Mataram itu antara lain bernama Tembong dan Basiyo. Pada waktu masih mahasiswa, Rektor Undip sekarang juga dipanggil Basiyo oleh teman-temannya. Tidak tahu mengapa. Mungkin orangnya lucu, ya?

Akung suka diajak ke kota Semarang yang jauhnya 75 kilometer dari Pati, untuk nonton “Pasar Malam”. Ke Semarang biasanya naik bis. Ada dua perusahaan bis yang terkenal, yaitu “”BROMO” dan “MEO”. Kereta api waktu dikelola oleh swasta dan nama perusahaannya macam-macam. Kereta api dari Pati ke Semarang itu namanya SJS (Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij). Kalau kereta api yang ke Jakarta itu namanya NIS (Nederlandsch Indische Stoomtram Maatschappij). Di Pasar malam ada macam-macam tontonan, kios-kios dan rumah makan terbuka. Biasanya kalau nonton, Akung diajak makan dulu, sebelum berputar-putar. Kata orang tua Akung supaya sendok-garpu dan piringnya masih bersih, belum bekas dipakai orang. Pasar Malam di Semarang itu diadakan di lapangan Seteran, yang sekarang sudah menjadi dealer mobil Honda dan rumah-rumah. Di Pati juga terkadang ada Pasar Malam, tetapi kalah ramai daripada yang ada di Semarang. Dalam Pasar Malam juga suka ada pertandingan tinju.

Akung suka sekali menulis. Maka di Jaman Jepang Akung sudah sok bikin majalah sendiri. Majalah itu berupa buku tulis, yang Akung isi dengan tulisan-tulisan pendek tentang segala macam hal yang kira-kira menarik. Tulisannya ya tulisan tangan, tidak diketik. Bahannya diambil dari majalah. Semuanya ditulis tangan. Kadang-kadang juga ditempeli gambar-gambar, yang digunting dari majalah, supaya lebih menarik. Ternyata majalah-majalahan yang Akung bikin itu laku keras di kalangan teman-teman Akung dan berpindah dari tangan ke tangan.

Di jaman pendudukan tentara Jepang, antara tahun 1942-1945, terjadi banyak perubahan. Sekolah Akung yang bernama HIS itu diganti menjadi “Kokumin Gakko”, alias sekolah rakyat. Bahasa Belanda tentu saja dihapuskan dan diganti dengan bahasa Jepang. Waktu di kelas dua SMP dan Jepang jatuh, Akung sudah sampai pada buku pelajaran bahasa Jepang jilid 4 atau maki yon yang ditulis pakai huruf katakana. Di jaman Jepang sudah ada perlombaan-perlombaan bahasa Jepang tingkat pusat, dalam hal ini tingkat Jawa yang diselenggarakan di Jakarta. Sekolah dasar Akung waktu itu juga mengikuti perlombaan itu dan Akung terpilih untuk ikut mewakili karesidenan Pati atau Pati Syu. Satu rombongan anak dari sekolah Akung berangkat ke Jakarta naik kereta api. Di Jakarta itu suasanya dibuat seperti di Jepang termasuk makannya. Waktu itu Akung dan teman-teman sudah disuguhi masakan ikan mentah. Akung sekarang baru tahu kalau itu yang namanya sushi. Wakil dari Pati itu selalu memenangkan hadiah, tetapi yang menang bukan Akung, karena Akung selalu kalah. Yang menang itu teman Akung yang memang paling pinter di sekolah yang akhirnya menjadi dokter. Akung ikut perlombaan bagian pidato bahasa Jepang, sedang teman Akung yang selalu menang itu mengikuti perlombaan mengarang. Hebat ya, anak SD sudah bisa mengarang dan menulis dalam bahasa dan huruf Jepang! Sayang teman Akung itu sekarang sudah meninggal karena penyakit alzheimer. Dia sempat menjadi direktur jenderal pada Departemen Kesehatan.

Waktu mengikuti perlombaan itu Akung didampingi oleh seorang guru atau instruktur Jepang. Dia itu tentara juga, tetapi rupa-rupanya di Jepang dia juga seorang guru. Kalau Akung kalah, guru Jepang ini lalu mengajak Akung untuk naik becak berdua dan berusaha menghibur Akung . Yang Akung ingat, dia cerita tentang seekor katak kecil yang berusaha untuk melompat dari sungai ke darat. Berkali-kali katak itu gagal, tetapi terus mencoba dan akhirnya berhasil. Itulah cara guru Jepang menghibur dan membesarkan hati Akung. Akung sekarang suka sedih mengenang guru itu yang punya rasa kasih sayang yang besar kepada muridnya. Guru itu tewas di tangan pemuda-pemuda yang melakukan balas dendam terhadap orang-orang Jepang. Lebih sedih lagi karena waktu guru itu digiring ke suatu tempat, Akung hanya dapat menonton dari pinggir jalan tanpa dapat berbuat apa-apa.

Pendidikan Jepang ternyata jauh berbeda dari pendidikan Belanda. Pendidikan Jepang mengutamakan hati, semangat, disiplin serta kebugaran, sedang Belanda hanya intelektual atau otak. Maka di jaman Jepang itu banyak dilakukan kegiatan di luar kelas, seperti baris-berbaris, perang-perangan (kyoren), kerja-bakti (kinrohoshi), lari keliling kota (kakeashi) dan olah raga (taisho). Sebelum sekolah dimulai kami harus berbaris dan melakukan upacara untuk menghormat kepada Kaisar Hirohito di Tokyo. Lalu kita ke lapangan untuk melakukan olah-raga pagi yang dipandu secara sentral lewat radio dari Jakarta. Di jaman Jepang, Indonesia dibagi-bagi, ada wilayah angkatan darat dan ada wilayah yang diperintah angkatan laut (kaigun). Jawa itu diperintah oleh angkatan darat dan Indonesia Timur oleh angkatan laut.

Lagu-lagu Jepang yang diajarkan banyak yang bersemangat, tetapi ada juga yang agak melankolik. Lagu yang dinyanyikan sambil berbaris yang terkenal adalah.

Miyoto kaino sora akete,

Tenchino saichi hachu lachu to,

Oo seirono asu guimo ni

Kalau yang melankolik begini,

Yaeshio no tochu wada chumi,

Amaterasu kami no kuni yori,

Hara kara to

Koko ni chudoeri

Kalau lagu angkatan laut itu persis seperti alunan ombak, begini,

Mamoru no semeru no kuro ganeno,

Magane no sono fune

Hinomaru no,

Kagayaku kuni e,

Tomoyokashi.

Semua lagu tersebut Akung ingatnya cuma sepotong-sepotong.

Di jaman Jepang itu, kalau dipanggil guru kita harus berlari, tidak boleh berjalan seenaknya. Pokoknya diterapkan suasana disiplin militer. Rupa-rupanya pendidikan dan latihan Jepang itu banyak berguna pada waktu berperang menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Sepertinya, melalui pendudukan Jepang, Tuhan mempersiapkan bangsa Indonesia untuk siap melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Akung menamatkan sekolah dasar di jaman Jepang dengan ijasah dalam bahasa Jepang. Sesudah itu Akung masuk SMP di Pati juga yang waktu itu bernama Shogakko, sedang SMA bernama Chugakko, dan universitas disebut Daigaku. Akung heran sekali, bagaimana pemerintah Jepang segera dapat menggantikan buku-buku pelajaran MULO (“Meer Uitgebreid Lagere School”, SMP jaman Belanda) yang berhasa Belanda itu ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang begitu cepat. Buku “algebra” segera diganti menjadi “aljabar” dalam bahasa Indonesia, begitu juga “meetkunde” diganti dengan “ilmu ukur”. Rupa-rupanya sebelum menaklukkan Belanda, Jepang sudah mempersiapkan segalanya dengan baik.

Sebelum tentara Jepang masuk ke Indonesia, suasananya adalah suasana perang. Malam-malam tiba-tiba sirene bisa berbunyi dan lampu-lampu harus dimatikan atau dikerobongi. Lalu dari radio akan terdengar seruan penyiar “Residentie Japara-Rembang … luchtalarm … luchtalarm” (bahaya udara untuk karesidenan Jepara-Rembang). Orang tua Akung membuat semacam “bunker” di dalam rumah untuk berlindung dari serangan udara, seperti petunjuk pemerintah. Tetapi sampai Jepang masuk, tempat itu tidak pernah digunakan. Kota Pati dan seluruh karesidenan ternyata aman-aman saja sampai perang berakhir.

Waktu tentara Jepang masuk ke Pati, mereka bukan datang dari Semarang, melainkan lewat sebuah desa kecil di pinggir laut. Siasat Jepang itu ternyata jitu sekali, karena Belanda sama sekali tidak mengira kalau Jepang mau masuk lewat desa itu. Kalau tidak salah namanya Desa Kradenan di dekat Rembang. Tentara Jepang yang masuk itu cuma … bersepeda, sehingga tidak ada suara gemuruhnya mobil-mobil perang, tetapi tahu-tahu sudah masuk ke dalam kota. Tentara Jepang itu tubuhnya pendek-pendek dan tidak gagah seperti tentara Belanda. Di jaman Jepang itu di depan tangsi-tangsi Jepang ada gardu-gardu jaga. Setiap orang yang melewati tangsi itu harus memberi hormat kepada serdadu yang jaga. Orang Jepang itu ternyata suka sekali sama anak kecil sehingga tertawa-tawa dan melambai-lambaikan tangannya kepada anak-anak kecil yang berderet di pinggir jalan. Waktu di tahun 1990-an Akung dan Uti ke Jepang baru tahu kalau Jepang itu bangsa yang memang senang dengan anak-anak. Anak-anak memang diperhatikan dan dijaga betul segala sesuatunya. Dalam bahasa Jepang anak-anak itu disebut “kodomo” dan kalau banyak “kodomo tachi”.

Waktu itu murid-murid SMP pada dicukur gundul dan memakai topi pet putih dengan emblem shogakko. Wah rasanya gagah sekali, apalagi kalau berbaris dengan memanggul senjata, sekalipun hanya dari kayu (mokuju). Tetapi teman-teman Akung yang tidak suka digunduli juga ada. Mereka menganggap Jepang itu jahat sekali. Sebetulnya Jepang itu tidak betul-betul jahat, karena di negerinya sendiri mereka sangat berdisiplin. Tetapi karena orang Jawa tidak biasa hidup keras dan berdisiplin, jadi menganggap orang Jepang itu jahat.

Akung sekarang menyesal sekali, karena bahasa Jepangnya tidak dipelihara baik-baik. Coba bayangkan, tahun 1944 Akung sudah bisa ikut lomba pidato bahasa Jepang. Jadi sampai sekarang sudah 60 tahun lebih. Kalau terus dipelihara alangkah pintar dan fasihnya Akung berbicara dan menulis Jepang. Akung menyesal sekali. Mudah-mudahan Ema bisa mengobati penyesalan Akung . Belajar bahasa Jepang yang baik, ya nduk!

Di jaman Jepang Akung menjalani operasi amandel di tenggorokan. Orang tua Akung harus membawa Akung ke Semarang, karena yang ada dokter spesialis THT cuma di Semarang, namanya dokter Andu, orang Menado. Waktu itu pengobatan masih belum canggih seperti sekarang. Habis dioperasi satu malam tidak boleh makan dan minum sama sekali, sehingga Akung terngimpi-ngimpi kepingin es krim. Karena dokter Andu tidak menyediakan pemondokan, maka Akung kemudian dipindahkan ke rumah dokter Subandrio. Dokter Subandrio ini kemudian menjadi Perdana Menteri di jaman Orde Lama. Total jenderal Akung dirawat sekitar 10 hari. Padahal waktu oom Hari dioperasi amandel oleh dokter Suroyo di Elizabeth, segera diperbolehkan pulang. Ceritanya oom Hari habis dioperasi nangis terus sehingga oleh dokter disarankan dibawa pulang saja.

Akung disunat saat duduk di SMP, bersama-sama dengan adik keponakan yang bernama Agus Supali. Oom Pali ini dititipkan oleh orang tuanya, Oom Abu, untuk menemani akung supaya tidak sendirian. Akung ya senang sekali punya saudara. Oom Pali ini ikut orang tua Akung sejak SD sampai SMP. Dia orangnya pintar, baik membaca maupun berhitung. Waktu duduk di SMP, Oom Abu meninggal, sehingga Oom Pali, sebagai anak tertua, harus kembali ke keluarganya. Akung disunat oleh seorang Mantri yang namanya Pak Suratman. Waktu itu tidak pakai pesta segala macam, padahal kalau dipestakan kan Akung bisa terima angpao.

Di jaman perang kemerdekaan, teman-teman Akung di SMP juga ikut berangkat ke front (istilah medan perang waktu itu). Tetapi Akung dilarang untuk turut pergi ke front, mungkin karena anak satu-satunya. Teman-teman Akung tidak sedikit yang tewas karena tertembak Belanda yang persenjataannya lebih lengkap dan punya pesawat terbang segala. Jadi anak-anak muda yang berumur tigabelas-empatbelas tahun sudah turut berjuang melawan tentara Belanda. Akung suka kagum mendengar mereka menceritakan pengalamannya. Tetapi teman-teman yang jujur suka merendahkan diri dan mengatakan bahwa mereka tidak benar-benar berperang tetapi hanya lari-lari dikejar Belanda. Maklum anak-anak “kecil”. Teman-teman Akung itu bergabung dalam pasukan Tentara Pelajar atau TP. Kalau di Jawa Timur namanya TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Waktu itu juga ada organisasi yang namanya IPI (Ikatan Pelajar Indonesia). Pada waktu ada tugas yang harus dijalankan, maka anak-anak SMP itu memakai ban di lengannya yang bertuliskan “IPI guard”. Wah Akung bangga sekali kalau sudah pakai ban seperti itu.

Kalau sudah menjelang ujian akhir SMP, wah banyak cerita heboh dan lucu-lucu. Ada seorang teman perempuan yang diduga mempunyai bocoran bahan ujian. Lalu rumahnya digeruduk oleh teman-teman Akung dengan pura-pura bertamu, padahal maksudnya untuk mencari bahan di rumah itu. Jadi ya rumahnya sudah seperti digeledah begitu. Lucu, ya. Tetapi tidak seperti sekarang dimana bahan ujian betul-betul bocor dan terjadi macam-macam kecurangan lain. Nilainya Akung lumayan bagus, aljabar dapat 10 dan ilmu ukur 8.

Masuk SMA Akung sekolah di Semarang. Waktunya sudah jaman kemerdekaan dan nama sekolahnya VHO ( Voorbereiding Hoger Onderwijs) artinya sekolah persiapan untuk masuk universitas. Lama belajarnya 2 tahun. Guru-gurunya sebagian besar orang Belanda, seperti meneer Verboom mengajar biologi, juffrouw Terwen yang cantik mengajar musik dan juffrouw Stam yang galak mengajar bahasa Inggeris. Waku itu Akung punya guru bahasa Prancis, meneer Breederode, yang kalau berjalan di gang-gang di antara deretan bangku-bangku suka meraba-raba paha murid laki-laki, tentu saja termasuk pahanya Akung. Rupa-rupanya meneer Breederode itu mempunyai kelainan watak tertentu. Tentu saja bahasa pengantar di VHO adalah Bahasa Belanda. Banyak cerita yang lucu-lucu, karena teman-teman Akung yang masuk VHO tidak semua berbekal pengetahuan bahasa Belanda yang cukup. Ada teman laki-laki yang disuruh mengambil buku di perpustakaan. Karena tidak dapat mengatakannya dalam bahasa Belanda, ia hanya berbicara dengan bahasa isyarat tangannya kesana-kemari. Tetapi Akung punya teman perempuan yang bahasa Belandanya cas-cis-cus. Dia itu anak keraton, sekalipun kulitnya hitam dan berkacamata. Saking pinternya bahasa Belanda, kami menyebutnya “Noni Kaapstad” (Kaapstad itu sebuah kota di Afrika). Waktu itu Akung juga punya teman-teman yang berasal dari keraton Surakarta. Kalau di dalam kelas, ya mereka itu sesama murid. Tetapi kalau sudah di luar kelas mulai ada perbedaan antara golongan ningrat yang tinggi dan rendah. Mereka yang golongannya lebih rendah selalu menggunakan bahasa Jawa halus pada waktu berbicara kepada yang golongannya lebih tinggi. Penyanyi Pranajaya yang terkenal itu juga sekolah di VHO. Nama aslinya adalah Pranowo dan badannya besar serta atletis. Sejak masih di VHO dia sudah sering menyanyi dan kalau latihan dia pergi ke dermaga (pier) pelabuhan supaya bisa berteriak sebebas-bebasnya dan tidak mengganggu orang lain. Pranajaya memang bersuara tenor, seperti penyanyi Italia.

Akung masih ingat sebuah lagu dalam pelajaran musik, lagunya berirama waltz, judulnya “After the Ball”, begini bunyinya,

After the ball is over,

After the the break of morn’,

After the dancers leaving,

After the stars are gone,

Many a heart is aching,

When you can see them all,

Many a heart has been broken,

After the ball

Wah, VHO yang letaknya di SMA Negeri 1 dan 2 di Jalan Menteri Supeno sekarang, itu dulu bekas HBS (Hogere Burger School) yang dibangun di jaman Belanda. Itu sekolah yang paling mentereng dan komplit, bahkan ada kolam renangnya. Di tahun 1950-an itu pemandangan di sekitar sekolah masih luas dan belum terhalang oleh gedung-gedung dan perumahan. Dari sekolah, Akung bisa melihat pemandangan jauh sampai ke rumah-rumah di Candi. Di depan sekolah masih terhampar sawah-sawah, yang sekarang sudah menjadi kompleks Undip. Di jaman Jepang HBS itu dipakai sebagai markas tentara Jepang. Konon suka dipakai untuk menyiksa orang Belanda. Barangkali karena itu suka ada cerita tentang “suster ngesot”. Anak-anak Akung mulai dari Bude Mita, Oom Hari dan Tante Rini dan Kiki, semua bersekolah disitu. Saking tingginya Oom Hari itu dinamakan “Hari Genter” oleh teman-temannya. Oom Hari itu orangnya nylelek dan suka iseng. Kalau ada temannya perempuan yang bonceng scooter lewat, rambut kelabangnya suka ditarik dari belakang sama Oom Hari.

Di kompleks sekolah Akung, kecuali VHO juga ada AMS (Algemene Middelbare School) atau SMA. Karena baru saja merdeka, waktu itu masih ada murid-murid Belanda yang sekolah di AMS. Jadi campur aduk antara Indonesia dan Belanda. Banyak juga Tentara Pelajar (TP) yang sekolah disitu. Mereka ini suka membawa-bawa senjata pistol dan ditaruh di atas bangku. Barangkali buat menteror guru-guru supaya diluluskan. Anak-anak TP itu suka mengganggu noni-noni Belanda, sehingga tempat noni-noni itu dipisah. Kepala VHO waktu itu adalah bapak Drs. Sumadi yang sikapnya kewanita-wanitaan, tetapi orangnya memang pinter dan lulusan dari negeri Belanda.

Di VHO Akung punya teman dekat yang namanya Umar Kayam. Berangkat ke sekolah sering sama-sama, begitu juga pergi ke perpustakaan, karena kami berdua menyukai buku-buku sastra, seperti karya-karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, Somerset Maugham dan lain-lain. Sekalipun bahasa Inggris Akung masih sangat terbatas, tetapi karena suka sekali membaca, maka buku-buku itupun habis dihajar juga. Kadang-kadang dari satu halaman cuma paham sepuluh-limabelas baris. Tetapi pokoknya menikmati karya-karya itu.

Karena suka membaca, maka Akung juga suka belajar sendiri. Tidak diperintah oleh guru. Pada waktu itu guru bahasa Prancis Akung sakit, sehingga berbulan-bulan tidak ada pelajaran bahasa Prancis. Tetapi Akung aktif belajar sendiri bahasa Prancis itu dari buku. Maka waktu ujian akhir, nilainya dapat 9, sedang teman-temannya banyak yang dapat nilai esek-esek.

Umar Kayam itu sangat disukai oleh murid-murid perempuan karena dia memang pinter bergaul, sehingga sering dikasih roti sama murid-murid perempuan. Kayam berkulit gelap dan berwajah jantan sehingga sering kami samakan dengan bintang film Burt Lancaster yang tenar di jaman tahun 1950-an. Umar Kayam itu kuat dalam pelajaran bahasa tetapi lemah dalam ilmu pasti. Dia pandai mengarang dalam bahasa Indonesia, sehingga nilainya selalu tinggi, sedang Akung cuma dapat 6 saja. Ya lumayan, tidak merah. Sesudah tamat dari VHO, Akung sempat bersama-sama Umar Kayam belajar di fakultas paedagogie (pendidikan) di UGM Yogya. Kalau Umar Kayam terus di UGM, Akung cuma bertahan satu tahun lalu pindah ke Universitas Indonesia di Jakarta. Umar Kayam mendapat gelar doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Terakhir Umar Kayam menjadi profesor di UGM dan sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia dikenal sebagai salah seorang sastrawan besar Indonesia dan mewariskan banyak karya-karya novel serta cerita pendek.

Terus terang, Akung itu pemalu sekali, apalagi terhadap perempuan. Tetapi sekarang tidak lagi, karena punya 9 cucu perempuan dari 12 cucunya. Jadi sekarang Akung sudah bisa membanggakan diri sebagai laki-laki yang dikerumuni oleh perempuan-perempuan yang cantik-cantik, ya kira-kira seperti James Bond begitulah. Akung itu pemalu, mungkin karena tidak punya saudara, sedang Uti punya 12 saudara, jadi sudah biasa bergaul dengan banyak orang, malah sudah menjadi pengasuh bagi adik-adiknya.

Terus terang juga, Akung itu dulu dihinggapi perasaan “minderwaardig” atau tidak PD (pede). Mungkin karena anak tunggal, kurang banyak bergaul, selalu sendiri, sehingga Kuper dan pemalu. Kuper itu rasanya sangat tidak enak, tetapi orang tua Akung tidak tahu. Karena merasa kuper itu, di SMA Akung sudah mulai baca-baca buku tentang psikologi dan pendidikan yang banyak ditulis dalam bahasa Belanda. Tetapi membaca buku-buku itu Akung malah ngeri, karena untuk mengatasi kuper itu membutuhkan waktu sangat lama. Makanya sesudah SMA masuk ke fakultas paedagogie, ya karena ingin mengatasi rasa “minderwaardigheids complex” atau kurang PD itu. Alhamdullilah akhirnya Akung berhasil dan malah jadi doktor dan jadi “jagoan” di bidangnya. Jadi cucu-cucu, kalau engkau merasa kurang PD karena alasan apapun, ingatlah cerita Akung ini. Tidak ada yang tidak dapat diatasi kalau kamu memang mau dan berusaha, maka insya’allah hambatan-hambatan dapat kamu atasi.

Jadi karena merasa “minderwaardig” itu, maka maka Akung dipicu untuk mencari segala jalan untuk mengatasinya. Tidak ada orang lain yang tahu, juga orang tua Akung sendiri. Akung itu manusia introvert, pendiam, seperti ibunya Akung. Tidak bisa “he-ha-he-he” dan ngobrol dengan orang lain, jadi semua dipendam. Ke pesta dansa mahasiswa? Mana berani? Penderitaan orang yang minderwaardig atau kuper itu memang sangat berat. Sangat beruntung, karena akhirnya Akung dapat mengatasi itu semuanya. Kalau Akung bisa dan berhasil, mengapa cucu-cucuku tidak?

Cucu-cucu Akung itu keturunan orang-orang yang berani berjuang dalam hidup. Seperti Uti itu orangnya PD (pede) banget, tidak takut dan merasa rendah dari orang lain sekalipun profesor, doktor dan konglomerat sekalipun. Dulu keluarga Undip suka main kasti. Wah, kalau sudah main kasti perempuan, Uti itu jagonya termasuk mengejar dan mengembat orang. Kenapa mesti minder, wong kita ini sama-sama manusia kok! Begitu selalu alasan Uti sehingga menjadi orang yang super-PD. Siapapun dihadapi tanpa was-was. Waktu dulu bersalaman dengan Ibu Tien Suharto, malah dalam potret kelihatannya justru Ibu Tienlah yang lebih menunduk dan Uti terlihat gagah. Yang nyonya presiden itu yang mana, ya? Jadi cucu-cucu itu keturunan orang yang tidak sembarangan, karena gagah-berani menghadapi kehidupan. Riri, Esa, Eka pasti punya kelebihan, begitu juga Ratri, Ema dan yang lain, pokoknya semua punya kelebihannya masing-masing. Mengapa kamu harus takut-takut? Mengapa harus tidak PD dan kuper? Kalau kamu memang sungguh-sungguh berusaha, pasti berhasil. Majulah terus cucu-cucku! “Ever onward, never retreat!”

Jadi cucu-cucu itu jangan kecil hati, karena keturunan dari orang-orang yang “hebat” juga. Uti itu hebat, karena kepribadiannya sangat PD. Akung sudah jelas profesor-doktor dan dianugerahi bintang “Bhayangkara Utama” oleh Kapolri, yang merupakan bintang Polri tertinggi. Akung juga dapat gelar dari Sinuhun Pakubuwono Surakarta Hadiningrat dengan pangkat “Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Rahardjo Nagoro” (boleh kan nyombong dikit buat kasih semangat kepada cucu dan buyut).

Ada satu hal lagi yang Akung mau cerita. Semua cucu-cucu Akung kan orang-orang yang beragama. Ya, toh. Ayah dan ibumu selalu menyuruh untuk shalat. Ya, kan! Nah, kalau kamu percaya kepada Tuhan, kepada Allah S.W.T., kepada Gusti Allah, maka sesungguhnya kamu itu tidak pernah sendirian. Apakah kamu jalan, duduk, sekolah, di mall, tidur, Tuhan itu selalu bersama kamu dan menjaga anda sekalian. Allah tidak kelihatan, tetapi selalu ada untuk menjaga dan melindungi kamu. Sungguh, lho, Akung tidak main-main. Allah itu baiiik dan sayaaaang sekali kepada kamu semua, tetapi cucu-cucu juga harus selalu ingat kepada-Nya. Lha, kalau kita tidak ingat, tidak percaya kepada Allah, bagaimana Dia mau datang kepada kita? Kata orang-orang bijak, kalau kita mendekat ke Tuhan satu langkah, maka Allah akan mendekat kepada kita dua langkah. Kalau cucu-cu maju sepuluh langkah, maka Allah akan maju seratus langkah. Begitu baik dan sayangnya Allah kepada kita semua, kepada cucu-cucu. Tetapi kamu suka lupa kan?

Coba, kalau kamu bangun pagi hari apa suka bilang “selamat pagi matahari”? Kalau kamu bilang begitu itu sama dengan mengatakan, “selamat pagi Tuhan”, “terima kasih Tuhan”. Sebab yang bikin matahari, pohon-pohon, cicak, kupu-kupu, ikan dan lain-lain siapa, hayo? Ya Tuhan! Memang Allah itu tidak kelihatan. Memang kalau Ican memelototi berkerjanya mesin cuci, maka kelihatan sekali bagaimana mesin itu berputar. Tetapi mata Ican tidak bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja menanam pohon dan tanaman, menyeburkan ikan di kolam, menaikkan matahari di pagi hari, membuat bunga teratai tersembul dari dalam air, kupu-kupu terbang dan lain-lain. Ibunya Ican mesti mendongengkan itu semua kepada Ican.

Akung itu gembira dan bahagia sekali kalau melihat cucu-cucunya merasa … bahagia. Dan sebaliknya, yaitu kalau mereka susah dan sedih. Bahagia itu artinya, gembira, senang, bersyukur, bersahabat sama semua. Kira-kira begitulah. Sebab menurut penelitian kedokteran yang mutakhir, susah, sedih, itu juga sumber penyakit atau mudah kena penyakit. Sebaliknya orang yang selalu merasa bahagia itu daya tahan tubuhnya menjadi besar sekali, sebab mesin tubuhnya bekerja secara top. Resepnya tidak sukar, kok. Kalau kamu selalu merasa bersyukur dengan apa yang kamu dapat, maka jadilah kamu betul-betul bahagia. Oleh sebab itu mulailah hari-harimu dengan tersenyum kepada semua, kepada matahari, tanaman, kupu-kupu, ayah-bunda, saudara, teman-teman dan semua orang. Sebaliknya, kalau kamu selalu cemberut, marah, benci, dengki, iri, maka kamu malah makin menjauh dari bahagia. Kamu semua tentulah ingin bahagia, senang dan gembira, bukan? Semakin kita bersyukur, semakin berlipat pula karunia yang diberikan Allah kepada cucu-cucu semua. Sungguh, Akung bicara berdasarkan pengalaman. Allah itu sungguh baiiiiiik dan sayaaaang sekali kepada kamu semua. Ingat itu selalu! Tidak semua yang kamu inginkan bisa tercapai dan itu biasa di mana-mana. Makanya jangan terlalu sedih kalau keinginanmu tidak kesampaian. Sedih sebentar boleh, lalu kembali “say cheeese…”! Sekali lagi, Tuhan itu baiiik sekali!

Sudah ya sekian dulu semuanya, Akung sudah capek mendongeng. Sampai jumpa! Bye, bye…!

Semarang, akhir April 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar