Oleh : Satjipto Rahardjo (Alm.)
Kompas 23 Agustus 2003
KETIKA artikel ini ditulis, muncul tajuk Kompas yang meminta perhatian atas
kemampuan bangsa kita untuk tetap bertahan (survive) di tengah guncangan ("Tandatanda
Menunjukkan Indonesia Tahan Guncangan", (Kompas, 11/8/2003).
Bahkan, pada edisi hari yang sama ditampilkan jajak pendapat Kompas, "Dengung
Kebangsaan dalam Belantara Krisis". Artikel berikut juga ditulis dalam napas senada,
membangun optimisme bangsa.
Tulisan ini diilhami dan didorong maraknya kritik terhadap banyaknya undang-undang
yang cacat. Untuk sekadar menyebut contoh adalah UU Sisdiknas, UU Pemilihan
Presiden, serta proses menuju pembentukan banyak undang-undang yang berkualitas
cacat itu. Salah satu yang sangat menonjol adalah UU Lalu-Lintas Jalan 1992. Maka,
boleh kiranya disimpulkan, kita menjalani hidup sehari-hari dengan dan di tengahtengah
banyak undang-undang yang cacat. Apakah dengan kenyataan seperti itu
Indonesia akan dan harus ambruk? Pertanyaan itu dikemukakan karena banyak yang
berpendapat dengan undang-undang yang cacat Indonesia akan ambruk (Mengapa
Undang-undang Terlalu Diributkan?, ( Kompas, 31/7/2003). Selama ini kita hanya
membuat konstatasi statis, yaitu adanya undang-undang yang cacat. Kita tidak
bertanya lebih lanjut, "lalu apa yang akan dilakukan?" Masalah itulah yang dibahas
dalam tulisan ini.
Undang-undang cacat
Komunitas hukum (lawyer, penegak hukum, akademisi) sering diingatkan pada ucapan
Taverne (Bld) yang yang kira-kira mengatakan, "berikan kepadaku jaksa dan hakim
yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun saya bisa membuat
putusan yang baik". Kita ingin meneruskan dengan menegaskan, undang-undang yang
buruk memang ada. Buruk dan cacat di sini dipakai bergantian. Buruk atau tidak buruk,
undang-undang itu sudah menjadi bagian sistem hukum dan karena itu memiliki
potensi untuk dijalankan.
Pada tingkat peradaban hukum modern kita bisa mengatakan, "tidak ada undangundang
yang tidak cacat", atau "undang-undang itu cacat sejak dilahirkan". Cacat itu
bisa besar, sedang, atau kecil. Cacat juga bisa kelihatan, tetapi bisa baru diketahui
sesudah undang-undang dijalankan.
Apakah mengatakan, undang-undang lahir dengan cacat merupakan sarkasme? Tidak.
Dalam negara di mana kemerdekaan dihormati, masyarakat menjadi penuh lalu lintas
kepentingan dan keinginan perorangan maupun golongan yang berbeda. Berbeda beda
sudah menjadi semacam hak masyarakat yang karena itu tidak boleh dilarang.
Undang-undang dibuat untuk mengatur masyarakat dengan kualitas seperti itu. Kita
bisa membayangkan bagaimana sulitnya undang-undang harus mengakomodasi
sekalian kepentingan itu. Meski undang-undang memuaskan sebagian besar
masyarakat, tetap saja ada bagian dari masyarakat yang "dirugikan". Itu sebabnya
dikatakan undang-undang cacat sejak dilahirkan.
UU Lalu Lintas yang berorientasi kepada kelancaran lalu lintas kendaraan akan
mematikan jalur becak. UU buruh yang berpihak kepada kepentingan buruh akan
dirasa merugikan majikan. UU Otonomi Daerah yang diterapkan di daerah yang belum
siap, malah menimbulkan kekacauan. Bagaimanapun diusahakan mengakomodasi
semua kepentingan, cacat itu akan selalu ada. Maka, secara filosofis bisa dikatakan,
risiko itu sudah ada sejak kita ingin mengatur populasi masyarakat yang beragam
dengan menggunakan undang-undang.
Dari ekstrem ke yang lain
Untuk "hidup dengan undang-undang yang buruk" ada dua siasat besar bisa ditempuh.
Keduanya bersifat ekstrem. Siasat itu ditentukan sikap terhadap undang-undang.
Ekstrem yang satu berhenti pada menjalankan undang-undang sebagaimana adanya,
tidak boleh ditambah atau dikurangi. Apa boleh buat, undang-undang mengatakan
seperti itu, suka atau tidak, buruk atau tidak, kita harus menjalankannya. Tidak ada
kreativitas, tidak boleh ada pengadilan yang membuat aturan sendiri (judge made law).
Ini tergolong sikap formalisme. Undang-undang sudah menjadi dokumen yang sakral.
Sikap ekstrem lain adalah "mempersetankan undang-undang". Dengan lebih halus
sikap ini disebut penganut Ajaran Hukum Bebas (vrije rechtsleer). Juga dikenal
sebagai Aliran Realisme. Orang boleh begitu bebas menerapkan undang-undang,
seolah dokumen tidak ada. Tetapi, kita bisa menempuh jalan ketiga, seperti diuraikan
di bawah ini.
Hukum sebagai seni
Sejak kita hampir tidak mungkin mengharapkan undang-undang yang sama sekali
sempurna, lebih baik kita memikirkan bagaimana kita harus hidup dalam dunia
undang-undang seperti itu. Masalahnya menjadi "bagaimana dengan undang-undang
yang cacat itu kita bisa menghasilkan hal-hal yang baik bagi masyarakat", atau dalam
istilah populer to make the best of it. Taverne menunjukkan salah satu cara
memecahkan persoalannya.
Kita bisa mencoba menghindari kedua sikap ekstrem itu dengan mengambil jalan lebih
tertib (orderly). Jadi, kita menciptakan order dari situasi yang disordered (undangundang
buruk, cacat). Apa yang diusulkan Taverne sudah menjadikan penegakan
hukum sebagai seni, bukan matematis dan linier.
Sebetulnya dalam harian ini sudah beberapa kali ditulis tentang hal-hal yang sejalan
dengan gagasan itu (baca Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif,
[Kompas, 15/6/2003] dan "Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual",
[Kompas, 30/12/ 2002]). Di sini orang tetap bekerja dengan instrumen hukum yang
ada, namun tidak dengan menyusun blok-blok undang-undang secara matematis
tanpa semangat sama sekali. Penegakan hukum dilakukan dengan modal semangat,
komitmen, dan dedikasi tertentu. Hal itu diuraikan di bawah ini.
Tak ingin Indonesia ambruk
Masyarakat memiliki naluri kuat untuk tidak ambruk, untuk bertahan hidup (survive). Ini
disebut naluri alami. Karena akan aneh dan lucu bila ada masyarakat yang bersedia
membiarkan dirinya ambruk.
Maka, masyarakat akan melawan "habis-habisan" bila ada kekuatan atau faktor yang
ingin merobohkan atau mengganggu kelancaran dan keamanan kehidupan sehari-hari.
Para pejuang perorangan (vigilante) adalah contohnya.
Di waktu lalu sejumlah pemuda di Bandung (ahli karate) menindak sendiri para penjual
bacaan porno; juga pemuda di Kuta yang merasa ada yang mencemari kehidupan
komunitas Kuta. Itu semua terjadi kendati kita punya polisi dan lain-lain. Komunitas
Bandung dan Kuta tidak rela membiarkan dirinya ambruk. Inilah yang disebut naluri
alami itu.
Dalam konteks lebih besar, Indonesia tidak akan membiarkan masyarakatnya ambruk.
Ia akan bertahan di tengah perundang-undangan yang buruk. Berjuang sendiri artinya
di luar koridor hukum formal. Bila hukum menghadapi kesulitan, kegagalan,
masyarakat tidak ingin membiarkan dirinya ambruk bersama kegagalan hukum (formal)
itu. Ia tidak akan bersedia ambruk karena Mahkamah Konstitusi belum terbentuk pada
waktunya, juga tidak membiarkan pendidikan rusak karena UU Sisdiknas yang buruk
dan seterusnya.
Masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri untuk bisa selamat di
tengah berbagai keburukan yang ada. Ini adalah kekuatan masyarakat alami, yang
otentik, yang selama ini amat diabaikan dalam pembicaraan mengenai hukum.
Gagasan penegakan hukum progresif adalah penegakan hukum yang dijalankan oleh
mereka yang tidak ingin melihat Indonesia ambruk dan terpuruk. Itulah semangat,
komitmen, dan dedikasinya.
Tulisan ini diakhiri dengan ajakan kepada komunitas hukum maupun masyarakat luas
untuk tetap bersemangat menyelamatkan Indonesia di tengah berbagai kekurangan,
keburukan, cacat, dan hambatan. Indonesia tidak akan ambruk bila kita tidak
menginginkannya.
Satjipto Rahardjo
Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/23/opini/506375.htm
Kompas 23 Agustus 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar