Senin, 04 Oktober 2010

Indonesia Tidak Ingin Ambruk

Oleh : Satjipto Rahardjo (Alm.)

Kompas 23 Agustus 2003

KETIKA artikel ini ditulis, muncul tajuk Kompas yang meminta perhatian atas

kemampuan bangsa kita untuk tetap bertahan (survive) di tengah guncangan ("Tandatanda

Menunjukkan Indonesia Tahan Guncangan", (Kompas, 11/8/2003).

Bahkan, pada edisi hari yang sama ditampilkan jajak pendapat Kompas, "Dengung

Kebangsaan dalam Belantara Krisis". Artikel berikut juga ditulis dalam napas senada,

membangun optimisme bangsa.

Tulisan ini diilhami dan didorong maraknya kritik terhadap banyaknya undang-undang

yang cacat. Untuk sekadar menyebut contoh adalah UU Sisdiknas, UU Pemilihan

Presiden, serta proses menuju pembentukan banyak undang-undang yang berkualitas

cacat itu. Salah satu yang sangat menonjol adalah UU Lalu-Lintas Jalan 1992. Maka,

boleh kiranya disimpulkan, kita menjalani hidup sehari-hari dengan dan di tengahtengah

banyak undang-undang yang cacat. Apakah dengan kenyataan seperti itu

Indonesia akan dan harus ambruk? Pertanyaan itu dikemukakan karena banyak yang

berpendapat dengan undang-undang yang cacat Indonesia akan ambruk (Mengapa

Undang-undang Terlalu Diributkan?, ( Kompas, 31/7/2003). Selama ini kita hanya

membuat konstatasi statis, yaitu adanya undang-undang yang cacat. Kita tidak

bertanya lebih lanjut, "lalu apa yang akan dilakukan?" Masalah itulah yang dibahas

dalam tulisan ini.

Undang-undang cacat

Komunitas hukum (lawyer, penegak hukum, akademisi) sering diingatkan pada ucapan

Taverne (Bld) yang yang kira-kira mengatakan, "berikan kepadaku jaksa dan hakim

yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun saya bisa membuat

putusan yang baik". Kita ingin meneruskan dengan menegaskan, undang-undang yang

buruk memang ada. Buruk dan cacat di sini dipakai bergantian. Buruk atau tidak buruk,

undang-undang itu sudah menjadi bagian sistem hukum dan karena itu memiliki

potensi untuk dijalankan.

Pada tingkat peradaban hukum modern kita bisa mengatakan, "tidak ada undangundang

yang tidak cacat", atau "undang-undang itu cacat sejak dilahirkan". Cacat itu

bisa besar, sedang, atau kecil. Cacat juga bisa kelihatan, tetapi bisa baru diketahui

sesudah undang-undang dijalankan.

Apakah mengatakan, undang-undang lahir dengan cacat merupakan sarkasme? Tidak.

Dalam negara di mana kemerdekaan dihormati, masyarakat menjadi penuh lalu lintas

kepentingan dan keinginan perorangan maupun golongan yang berbeda. Berbeda beda

sudah menjadi semacam hak masyarakat yang karena itu tidak boleh dilarang.

Undang-undang dibuat untuk mengatur masyarakat dengan kualitas seperti itu. Kita

bisa membayangkan bagaimana sulitnya undang-undang harus mengakomodasi

sekalian kepentingan itu. Meski undang-undang memuaskan sebagian besar

masyarakat, tetap saja ada bagian dari masyarakat yang "dirugikan". Itu sebabnya

dikatakan undang-undang cacat sejak dilahirkan.

UU Lalu Lintas yang berorientasi kepada kelancaran lalu lintas kendaraan akan

mematikan jalur becak. UU buruh yang berpihak kepada kepentingan buruh akan

dirasa merugikan majikan. UU Otonomi Daerah yang diterapkan di daerah yang belum

siap, malah menimbulkan kekacauan. Bagaimanapun diusahakan mengakomodasi

semua kepentingan, cacat itu akan selalu ada. Maka, secara filosofis bisa dikatakan,

risiko itu sudah ada sejak kita ingin mengatur populasi masyarakat yang beragam

dengan menggunakan undang-undang.

Dari ekstrem ke yang lain

Untuk "hidup dengan undang-undang yang buruk" ada dua siasat besar bisa ditempuh.

Keduanya bersifat ekstrem. Siasat itu ditentukan sikap terhadap undang-undang.

Ekstrem yang satu berhenti pada menjalankan undang-undang sebagaimana adanya,

tidak boleh ditambah atau dikurangi. Apa boleh buat, undang-undang mengatakan

seperti itu, suka atau tidak, buruk atau tidak, kita harus menjalankannya. Tidak ada

kreativitas, tidak boleh ada pengadilan yang membuat aturan sendiri (judge made law).

Ini tergolong sikap formalisme. Undang-undang sudah menjadi dokumen yang sakral.

Sikap ekstrem lain adalah "mempersetankan undang-undang". Dengan lebih halus

sikap ini disebut penganut Ajaran Hukum Bebas (vrije rechtsleer). Juga dikenal

sebagai Aliran Realisme. Orang boleh begitu bebas menerapkan undang-undang,

seolah dokumen tidak ada. Tetapi, kita bisa menempuh jalan ketiga, seperti diuraikan

di bawah ini.

Hukum sebagai seni

Sejak kita hampir tidak mungkin mengharapkan undang-undang yang sama sekali

sempurna, lebih baik kita memikirkan bagaimana kita harus hidup dalam dunia

undang-undang seperti itu. Masalahnya menjadi "bagaimana dengan undang-undang

yang cacat itu kita bisa menghasilkan hal-hal yang baik bagi masyarakat", atau dalam

istilah populer to make the best of it. Taverne menunjukkan salah satu cara

memecahkan persoalannya.

Kita bisa mencoba menghindari kedua sikap ekstrem itu dengan mengambil jalan lebih

tertib (orderly). Jadi, kita menciptakan order dari situasi yang disordered (undangundang

buruk, cacat). Apa yang diusulkan Taverne sudah menjadikan penegakan

hukum sebagai seni, bukan matematis dan linier.

Sebetulnya dalam harian ini sudah beberapa kali ditulis tentang hal-hal yang sejalan

dengan gagasan itu (baca Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif,

[Kompas, 15/6/2003] dan "Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual",

[Kompas, 30/12/ 2002]). Di sini orang tetap bekerja dengan instrumen hukum yang

ada, namun tidak dengan menyusun blok-blok undang-undang secara matematis

tanpa semangat sama sekali. Penegakan hukum dilakukan dengan modal semangat,

komitmen, dan dedikasi tertentu. Hal itu diuraikan di bawah ini.

Tak ingin Indonesia ambruk

Masyarakat memiliki naluri kuat untuk tidak ambruk, untuk bertahan hidup (survive). Ini

disebut naluri alami. Karena akan aneh dan lucu bila ada masyarakat yang bersedia

membiarkan dirinya ambruk.

Maka, masyarakat akan melawan "habis-habisan" bila ada kekuatan atau faktor yang

ingin merobohkan atau mengganggu kelancaran dan keamanan kehidupan sehari-hari.

Para pejuang perorangan (vigilante) adalah contohnya.

Di waktu lalu sejumlah pemuda di Bandung (ahli karate) menindak sendiri para penjual

bacaan porno; juga pemuda di Kuta yang merasa ada yang mencemari kehidupan

komunitas Kuta. Itu semua terjadi kendati kita punya polisi dan lain-lain. Komunitas

Bandung dan Kuta tidak rela membiarkan dirinya ambruk. Inilah yang disebut naluri

alami itu.

Dalam konteks lebih besar, Indonesia tidak akan membiarkan masyarakatnya ambruk.

Ia akan bertahan di tengah perundang-undangan yang buruk. Berjuang sendiri artinya

di luar koridor hukum formal. Bila hukum menghadapi kesulitan, kegagalan,

masyarakat tidak ingin membiarkan dirinya ambruk bersama kegagalan hukum (formal)

itu. Ia tidak akan bersedia ambruk karena Mahkamah Konstitusi belum terbentuk pada

waktunya, juga tidak membiarkan pendidikan rusak karena UU Sisdiknas yang buruk

dan seterusnya.

Masyarakat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri untuk bisa selamat di

tengah berbagai keburukan yang ada. Ini adalah kekuatan masyarakat alami, yang

otentik, yang selama ini amat diabaikan dalam pembicaraan mengenai hukum.

Gagasan penegakan hukum progresif adalah penegakan hukum yang dijalankan oleh

mereka yang tidak ingin melihat Indonesia ambruk dan terpuruk. Itulah semangat,

komitmen, dan dedikasinya.

Tulisan ini diakhiri dengan ajakan kepada komunitas hukum maupun masyarakat luas

untuk tetap bersemangat menyelamatkan Indonesia di tengah berbagai kekurangan,

keburukan, cacat, dan hambatan. Indonesia tidak akan ambruk bila kita tidak

menginginkannya.

Satjipto Rahardjo

Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/23/opini/506375.htm

Kompas 23 Agustus 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar