Senin, 04 Oktober 2010

Sesuai Prosedur", Itu Tidak Cukup

Oleh : Satjipto Rahardjo

ARTIKEL ini mungkin terlambat ditulis karena fenomena korupsi yang dilakukan

DPRD- DPRD di negeri ini sudah telanjur merebak ke mana-mana. Korupsi tidak

hanya terjadi di DPRD Sumatera Barat, tetapi juga "menyusul" di mana-mana, di

hampir semua bagian negeri ini, di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa

Tenggara Barat, dan banyak lainnya.

Artikel ini dirasa terlambat karena korupsi di daerah-daerah itu biasa berdalih

"sudah sesuai prosedur". Tulisan ini ingin mengabarkan, menjalankan hukum

dengan dalih sudah dilakukan sesuai dengan prosedur adalah jauh dari cukup.

Proyek kultural raksasa

Rusaklah Negara Hukum kita dan celakalah bangsa kita bila Negara Hukum

sudah direduksi menjadi "negara undang-undang" dan lebih celaka lagi

manakala ia kian merosot menjadi "negara prosedur". Apabila Negara Hukum itu

sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum sebagai negara undang- undang

dan negara prosedur, maka negeri ini sedang mengalami kemerosotan serius.

Negara Hukum Indonesia sudah kehilangan grandeur, keagungan dan

kebesarannya, karena telah merosot menjadi "negara hukum kacangan"

(Rahardjo, Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum Kacangan, Kompas,

19/8/2002).

Kita mendirikan Negara Hukum tidak sekadar memasang papan nama dan sim

salabim, semua selesai. Negara Hukum kita adalah suatu proyek besar, proyek

kemanusiaan dan kebudayaan. Karena keagungan proyek itu, maka

pembangunan atau realisasinya akan memakan waktu panjang dan daya tahan.

Ini adalah sebuah proyek raksasa yang harus dibangun dari waktu ke waktu, dari

kegagalan satu ke kegagalan lain, dari keberhasilan satu menuju keberhasilan

lain (Rahardjo, Negara hukum, Proyek yang Belum Selesai, Kompas, 11/8/

2003).

Untuk membangun Negara Hukum yang besar seperti itu dibutuhkan orangorang

yang mampu menangkap makna pembangunan Negara Hukum itu dengan

baik dan cerdas. Negara Hukum itu bukan hanya secarik dokumen, tetapi suatu

proyek yang jauh melampaui dokumen kata-kata dan konsep. Maka sebetulnya

penyelenggaraannya perlu diserahkan kepada orang-orang yang tercerahkan

oleh ide besar bernegara hukum. Negara Hukum juga perilaku orang-orang yang

melaksanakannya (bandingkan, Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri,

Kompas, 23/9/2002).

Memiskinkan Negara Hukum.

Membenarkan korupsi dengan alasan sudah sesuai dengan prosedur adalah

pereduksian makna proyek kultural raksasa yang namanya Negara Hukum

secara luar biasa. Suatu pelecehan yang luar biasa.

Sudah pernah diingatkan agar kita menjalankan hukum dengan kecerdasan

spiritual (Rahardjo, Menjalankan Hukum Dengan Kecerdasan Spiritual, Kompas,

30/12/2002). Menjalankan dan menegakkan hukum hanya dengan membaca

prosedur adalah menjalankan hukum dengan kecerdasan rasional (IQ), yang

hanya bisa memperhatikan proses-proses hukum secara linier dan masinal.

Ingat, peradaban dunia sekarang sudah sampai pada penggunaan kecerdasan

spiritual (SQ).

Ternyata tidak hanya hakim, jaksa, dan advokat yang perlu diingatkan untuk

menggunakan kecerdasan spiritual dalam menjalankan hukum, tetapi juga para

birokrat dan politisi. DPRD dipenuhi dengan anggota partai politik dan banyak

DPRD hanya melihat hukum sejauh prosedur. Maka korupsinya dibela dengan

dalih sudah sesuai dengan prosedur. Horizon seperti itu sungguh memiskinkan

penyelenggaraan suatu Negara Hukum.

Peraturan dan kaidah.

Untuk memperjelas duduk persoalan, kita menyegarkan ingatan, perlu dibedakan

antara "peraturan" (gesetz, wet, rule) dan "kaidah" (recht, norm). Apabila kita

membaca undang-undang, pertama-tama yang dibaca adalah peraturan, pasalpasal.

Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa

menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu

menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sedangkan

peraturan adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka

senantiasa ingat akan kaidah sebagai basis spiritual dari peraturan,

mengisyaratkan agar orang berhati-hati dan selalu berpikir dua, tiga, empat kali

dalam membaca hukum.

Hukum mempunyai tujuan, asas. Ia memiliki roh yang biasanya dituangkan

dalam asas- asas. Roh atau asas seperti itu bisa menjadi hilang di tengah rimba

kalimat-kalimat, pasal- pasal. Memang lebih mudah dan cepat membaca kalimat

undang-undang. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti

sampai di situ saja bisa membawa "malapetaka".

Logika kepatutan sosial.

Berkaitan dengan pembicaraan mengenai kaidah dan peraturan itu, ingin

disadarkan kembali adanya bermacam-macam logika dalam hukum. Yang paling

sederhana dan mudah adalah berbicara mengenai "logika peraturan". Rupanya

hanya logika inilah yang dijadikan pedoman saat DPRD-DPRD membaca

peraturan hukum. Akibatnya, karena merasa sudah sesuai dengan kalimat

undang-undang, tindakan yang kemudian dilakukan dianggap benar. Dari sini

"malapetaka" dimulai.

Diingatkan, masih ada logika lain yang perlu dimasukkan manakala diinginkan

untuk membaca suatu peraturan dengan lebih baik. Logika peraturan hanya

salah satu, selain itu ada "logika kepatutan sosial" (social reasonableness). Pada

saat kita mempertimbangkan "apakah yang ingin dilakukan sudah sesuai dengan

kepatutan dalam masyarakat?", kita memasuki logika kepatutan itu. Apabila

dewasa ini bangsa Indonesia sibuk memberantas korupsi, apakah yang saya

lakukan ini sudah pantas?

Masih ada lagi "logika keadilan". Logika ini tidak segera bisa ditemukan dengan

membaca peraturan, tetapi dibutuhkan suatu perenungan dan pemaknaan lebih

dalam terhadap apa yang kita baca itu. "Adilkah apabila kita sibuk mengatur

pendapatan keuangan anggota dewan, sedangkan rakyat di luar mengalami

busung lapar?".

Negara Hukum kita diharapkan menjadi bangunan yang penuh grandeur dan

berkah bagi rakyat manakala hukum dipahami dan dijalankan dengan

kelengkapan logika sebagaimana diuraikan di atas.

Membaca kaidah.

Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam

penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan

tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan. Meski kalimat-kalimat hitam putih,

yang namanya peraturan, sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa

makna lebih dalam kalimat-kalimat itu. Di mana letak rohnya, keadilannya?

Dengan beberapa "tips" tentang logika itu, diharapkan kita dapat membaca roh

hukum.

Jebakan yang berbahaya adalah orang juga bisa membaca peraturan dengan

dan dari sudut kepentingan tertentu, kepentingan sendiri. Di sini sebetulnya kita

berhadapan dengan sejenis logika, tetapi logika yang kontraproduktif, yaitu

"logika kepentingan individu atau kelompok". Keinginan untuk mendapat

keuntungan dari suatu peraturan akan menjauhkan kita dari keinginan untuk

menjangkau sampai ke roh serta keadilan yang mendasari hukum. Di sini kita

sudah terjebak untuk membaca peraturan menurut keinginan kita.

Ada dugaan, korupsi di tingkat DPRD dikarenakan menegakkan hukum

disamakan dengan "mengeja peraturan". Tidak atau kurang dipahami, hukum

memiliki tujuan yang melampaui kalimat undang-undang, apalagi kalimat

prosedur. Seharusnya tidak hanya prosedur yang dibaca, tetapi juga bertanya

lebih jauh, "apakah makna prosedur ini?", "apakah yang ingin saya lakukan tidak

bertentangan dengan keinginan bangsa untuk memberantas korupsi?", "apakah

ini bukan bentuk korupsi?", "sudah benar dan adilkah bila saya berbuat begini?".

Banyak kemajuan akan dicapai apabila kita menegakkan hukum di negeri ini

dengan cara-cara yang benar. Barangkali korupsi juga bisa banyak "direm"

apabila kita dibiasakan membaca roh undang-undang. Negara Hukum dan

hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi proyek kultural yang memiliki roh

keadilan. Oleh karena itu, membaca dan memahaminya sebagai kalimat-kalimat

yang kering, linier, dan masinal bisa membawa malapetaka. Apalagi kalau ia

dibaca dengan tujuan untuk menyelundupkan niat jahat.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus UNDIP, Semarang; Anggota

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/07/opini/1301697.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar