Oleh : Satjipto Rahardjo
ARTIKEL ini mungkin terlambat ditulis karena fenomena korupsi yang dilakukan
DPRD- DPRD di negeri ini sudah telanjur merebak ke mana-mana. Korupsi tidak
hanya terjadi di DPRD Sumatera Barat, tetapi juga "menyusul" di mana-mana, di
hampir semua bagian negeri ini, di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan banyak lainnya.
Artikel ini dirasa terlambat karena korupsi di daerah-daerah itu biasa berdalih
"sudah sesuai prosedur". Tulisan ini ingin mengabarkan, menjalankan hukum
dengan dalih sudah dilakukan sesuai dengan prosedur adalah jauh dari cukup.
Proyek kultural raksasa
Rusaklah Negara Hukum kita dan celakalah bangsa kita bila Negara Hukum
sudah direduksi menjadi "negara undang-undang" dan lebih celaka lagi
manakala ia kian merosot menjadi "negara prosedur". Apabila Negara Hukum itu
sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum sebagai negara undang- undang
dan negara prosedur, maka negeri ini sedang mengalami kemerosotan serius.
Negara Hukum Indonesia sudah kehilangan grandeur, keagungan dan
kebesarannya, karena telah merosot menjadi "negara hukum kacangan"
(Rahardjo, Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum Kacangan, Kompas,
19/8/2002).
Kita mendirikan Negara Hukum tidak sekadar memasang papan nama dan sim
salabim, semua selesai. Negara Hukum kita adalah suatu proyek besar, proyek
kemanusiaan dan kebudayaan. Karena keagungan proyek itu, maka
pembangunan atau realisasinya akan memakan waktu panjang dan daya tahan.
Ini adalah sebuah proyek raksasa yang harus dibangun dari waktu ke waktu, dari
kegagalan satu ke kegagalan lain, dari keberhasilan satu menuju keberhasilan
lain (Rahardjo, Negara hukum, Proyek yang Belum Selesai, Kompas, 11/8/
2003).
Untuk membangun Negara Hukum yang besar seperti itu dibutuhkan orangorang
yang mampu menangkap makna pembangunan Negara Hukum itu dengan
baik dan cerdas. Negara Hukum itu bukan hanya secarik dokumen, tetapi suatu
proyek yang jauh melampaui dokumen kata-kata dan konsep. Maka sebetulnya
penyelenggaraannya perlu diserahkan kepada orang-orang yang tercerahkan
oleh ide besar bernegara hukum. Negara Hukum juga perilaku orang-orang yang
melaksanakannya (bandingkan, Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri,
Kompas, 23/9/2002).
Memiskinkan Negara Hukum.
Membenarkan korupsi dengan alasan sudah sesuai dengan prosedur adalah
pereduksian makna proyek kultural raksasa yang namanya Negara Hukum
secara luar biasa. Suatu pelecehan yang luar biasa.
Sudah pernah diingatkan agar kita menjalankan hukum dengan kecerdasan
spiritual (Rahardjo, Menjalankan Hukum Dengan Kecerdasan Spiritual, Kompas,
30/12/2002). Menjalankan dan menegakkan hukum hanya dengan membaca
prosedur adalah menjalankan hukum dengan kecerdasan rasional (IQ), yang
hanya bisa memperhatikan proses-proses hukum secara linier dan masinal.
Ingat, peradaban dunia sekarang sudah sampai pada penggunaan kecerdasan
spiritual (SQ).
Ternyata tidak hanya hakim, jaksa, dan advokat yang perlu diingatkan untuk
menggunakan kecerdasan spiritual dalam menjalankan hukum, tetapi juga para
birokrat dan politisi. DPRD dipenuhi dengan anggota partai politik dan banyak
DPRD hanya melihat hukum sejauh prosedur. Maka korupsinya dibela dengan
dalih sudah sesuai dengan prosedur. Horizon seperti itu sungguh memiskinkan
penyelenggaraan suatu Negara Hukum.
Peraturan dan kaidah.
Untuk memperjelas duduk persoalan, kita menyegarkan ingatan, perlu dibedakan
antara "peraturan" (gesetz, wet, rule) dan "kaidah" (recht, norm). Apabila kita
membaca undang-undang, pertama-tama yang dibaca adalah peraturan, pasalpasal.
Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa
menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu
menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sedangkan
peraturan adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata dan kalimat. Maka
senantiasa ingat akan kaidah sebagai basis spiritual dari peraturan,
mengisyaratkan agar orang berhati-hati dan selalu berpikir dua, tiga, empat kali
dalam membaca hukum.
Hukum mempunyai tujuan, asas. Ia memiliki roh yang biasanya dituangkan
dalam asas- asas. Roh atau asas seperti itu bisa menjadi hilang di tengah rimba
kalimat-kalimat, pasal- pasal. Memang lebih mudah dan cepat membaca kalimat
undang-undang. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti
sampai di situ saja bisa membawa "malapetaka".
Logika kepatutan sosial.
Berkaitan dengan pembicaraan mengenai kaidah dan peraturan itu, ingin
disadarkan kembali adanya bermacam-macam logika dalam hukum. Yang paling
sederhana dan mudah adalah berbicara mengenai "logika peraturan". Rupanya
hanya logika inilah yang dijadikan pedoman saat DPRD-DPRD membaca
peraturan hukum. Akibatnya, karena merasa sudah sesuai dengan kalimat
undang-undang, tindakan yang kemudian dilakukan dianggap benar. Dari sini
"malapetaka" dimulai.
Diingatkan, masih ada logika lain yang perlu dimasukkan manakala diinginkan
untuk membaca suatu peraturan dengan lebih baik. Logika peraturan hanya
salah satu, selain itu ada "logika kepatutan sosial" (social reasonableness). Pada
saat kita mempertimbangkan "apakah yang ingin dilakukan sudah sesuai dengan
kepatutan dalam masyarakat?", kita memasuki logika kepatutan itu. Apabila
dewasa ini bangsa Indonesia sibuk memberantas korupsi, apakah yang saya
lakukan ini sudah pantas?
Masih ada lagi "logika keadilan". Logika ini tidak segera bisa ditemukan dengan
membaca peraturan, tetapi dibutuhkan suatu perenungan dan pemaknaan lebih
dalam terhadap apa yang kita baca itu. "Adilkah apabila kita sibuk mengatur
pendapatan keuangan anggota dewan, sedangkan rakyat di luar mengalami
busung lapar?".
Negara Hukum kita diharapkan menjadi bangunan yang penuh grandeur dan
berkah bagi rakyat manakala hukum dipahami dan dijalankan dengan
kelengkapan logika sebagaimana diuraikan di atas.
Membaca kaidah.
Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam
penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan
tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan. Meski kalimat-kalimat hitam putih,
yang namanya peraturan, sudah dibaca, kita tetap merenungkan tentang apa
makna lebih dalam kalimat-kalimat itu. Di mana letak rohnya, keadilannya?
Dengan beberapa "tips" tentang logika itu, diharapkan kita dapat membaca roh
hukum.
Jebakan yang berbahaya adalah orang juga bisa membaca peraturan dengan
dan dari sudut kepentingan tertentu, kepentingan sendiri. Di sini sebetulnya kita
berhadapan dengan sejenis logika, tetapi logika yang kontraproduktif, yaitu
"logika kepentingan individu atau kelompok". Keinginan untuk mendapat
keuntungan dari suatu peraturan akan menjauhkan kita dari keinginan untuk
menjangkau sampai ke roh serta keadilan yang mendasari hukum. Di sini kita
sudah terjebak untuk membaca peraturan menurut keinginan kita.
Ada dugaan, korupsi di tingkat DPRD dikarenakan menegakkan hukum
disamakan dengan "mengeja peraturan". Tidak atau kurang dipahami, hukum
memiliki tujuan yang melampaui kalimat undang-undang, apalagi kalimat
prosedur. Seharusnya tidak hanya prosedur yang dibaca, tetapi juga bertanya
lebih jauh, "apakah makna prosedur ini?", "apakah yang ingin saya lakukan tidak
bertentangan dengan keinginan bangsa untuk memberantas korupsi?", "apakah
ini bukan bentuk korupsi?", "sudah benar dan adilkah bila saya berbuat begini?".
Banyak kemajuan akan dicapai apabila kita menegakkan hukum di negeri ini
dengan cara-cara yang benar. Barangkali korupsi juga bisa banyak "direm"
apabila kita dibiasakan membaca roh undang-undang. Negara Hukum dan
hukum bukan proyek dokumen kertas, tetapi proyek kultural yang memiliki roh
keadilan. Oleh karena itu, membaca dan memahaminya sebagai kalimat-kalimat
yang kering, linier, dan masinal bisa membawa malapetaka. Apalagi kalau ia
dibaca dengan tujuan untuk menyelundupkan niat jahat.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus UNDIP, Semarang; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/07/opini/1301697.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar