Senin, 04 Oktober 2010

Pengadilan Progresif dan Kasasi


Oleh Satjipto Rahardjo

Kompas, Kamis, 12 Februari 2004

DALAM beberapa artikel terdahulu, saya menulis tentang gagasan penegakan hukum dan

keadilan progresif (Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif [Kompas,

15/7/2002], Indonesia Membutuhkan Keadilan yang Progresif [12/10/2002], Probosutedjo

dan Pengadilan Progresif [28/4/2003]).

Tulisan ini ingin membicarakan bagaimana jika gagasan pengadilan progresif itu dikaitkan

dengan masalah kasasi. Sebagaimana diketahui, kasasi adalah upaya banding terakhir di

pengadilan bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan di pengadilan

negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT).

Kasasi

Bagaimana bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan kasasi? Kita tahu, pada tingkat

kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah

memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah.

Membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang diperlukan MA hanya membaca teks

undang-undang (UU) dan menggunakan logika hukum (baca: logika peraturan). Berdasarkan

hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa

apakah peraturan yang digunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan putusan sudah

benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif.

Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion (Jawa:gereget) yang

memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.

Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik

manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan

kredo "peraturan dan logika". Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri "daging dan

darah" perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh aroma perkara.

Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa

mengorek lebih jauh. Di sini orang lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks UU akan

dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen.

Benarkah keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca UU itu kepala hakim

benar-benar (bisa) "dikosongkan"? Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya

berlangsung secara bebas nilai? Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia,

kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana suatu

teks itu dibaca dan diartikan.

Kasasi linier dan nonlinier.

Pikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan. Cara

berpikir hukum seperti itu di sini disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal

(lihat Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual, [Kompas, 20/12/2002]). Di sini kita

bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda,

yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi

salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.

Cara lain adalah melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam

dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna"

dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti

pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga

subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial". Tulisan ini ingin mengatakan, betapa kecil pun

sudut masuk aspek gereget dalam pengadilan kasasi, ia tetap ada dan itu semua tergantung

pada hakim-hakimnya.

Hakim progresif.

Pengadilan progresif mengikuti maksim, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila

rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis

karena yang dibaca adalah kata-kata UU. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi

lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Karena

itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga

nuraninya (baca Perang di Balik Toga Hakim, [Kompas, 9/7/2003]).

Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar

dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada

bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi sukaduka,

kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusanputusannya,

hakim suka disebut mewakili suara mereka (rakyat) yang tak terwakili

(unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented).

Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu

menanyakan, "Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini?" Apa yang

diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini? Dengan demikian, ia akan menolak bila

dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja UU. Hakim progresif akan selalu meletakkan

telinga ke degup jantung rakyatnya.

Hakim sekaligus sosiolog.

Indonesia tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim, khususnya

dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif.

Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi

Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan

dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat

kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para

hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan

yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena

Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan

memperhatikan hak asasi manusia.

Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan

telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat

Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang

hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang

ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit

dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya.

Baru-baru ini juga dimuat wawancara dengan seorang "hakim kecil", tetapi pantas menjadi

teladan bagi "hakim-hakim besar" (Kompas, 2/2/2004). Ia mengatakan, moralitas saja tidak

cukup, yang paling penting adalah keberanian, ucap Teguh Haryanto. Memang untuk

menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral, tetapi juga

keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal dan yang memiliki

keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain. Hakim Agung Adi Andojo

Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh MA akhirnya harus menerima risiko

pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh hormat kepada hakim-hakim yang akhirnya harus

mental hanya karena keinginan untuk memperbaiki citra pengadilan.

Pesan tulisan ini, pertama, mendukung dan membesarkan hati sementara hakim Indonesia

yang di tengah kegelapan bangsa masih berusaha untuk tetap tegar memberikan yang

terbaik bagi bangsanya. Tentu saja orang-orang seperti Teguh Haryanto tidak hanya ada di

kalangan pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan advokat. Kedua, apa dan bagaimanapun

institusi kasasi itu, pengadilan progresif tetap saja bisa diusahakan.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar