Oleh Satjipto Rahardjo
Kompas, Kamis, 12 Februari 2004
DALAM beberapa artikel terdahulu, saya menulis tentang gagasan penegakan hukum dan
keadilan progresif (Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif [Kompas,
15/7/2002], Indonesia Membutuhkan Keadilan yang Progresif [12/10/2002], Probosutedjo
dan Pengadilan Progresif [28/4/2003]).
Tulisan ini ingin membicarakan bagaimana jika gagasan pengadilan progresif itu dikaitkan
dengan masalah kasasi. Sebagaimana diketahui, kasasi adalah upaya banding terakhir di
pengadilan bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan di pengadilan
negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT).
Kasasi
Bagaimana bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan kasasi? Kita tahu, pada tingkat
kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah
memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah.
Membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang diperlukan MA hanya membaca teks
undang-undang (UU) dan menggunakan logika hukum (baca: logika peraturan). Berdasarkan
hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa
apakah peraturan yang digunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan putusan sudah
benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif.
Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion (Jawa:gereget) yang
memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.
Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik
manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan
kredo "peraturan dan logika". Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri "daging dan
darah" perkara yang diperiksa. Pengadilan bisa menangkap penuh aroma perkara.
Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa
mengorek lebih jauh. Di sini orang lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks UU akan
dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen.
Benarkah keadaannya seperti itu? Apakah pada waktu membaca UU itu kepala hakim
benar-benar (bisa) "dikosongkan"? Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya
berlangsung secara bebas nilai? Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia,
kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana suatu
teks itu dibaca dan diartikan.
Kasasi linier dan nonlinier.
Pikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan. Cara
berpikir hukum seperti itu di sini disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal
(lihat Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual, [Kompas, 20/12/2002]). Di sini kita
bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda,
yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi
salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.
Cara lain adalah melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam
dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna"
dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti
pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga
subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial". Tulisan ini ingin mengatakan, betapa kecil pun
sudut masuk aspek gereget dalam pengadilan kasasi, ia tetap ada dan itu semua tergantung
pada hakim-hakimnya.
Hakim progresif.
Pengadilan progresif mengikuti maksim, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila
rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis
karena yang dibaca adalah kata-kata UU. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi
lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Karena
itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga
nuraninya (baca Perang di Balik Toga Hakim, [Kompas, 9/7/2003]).
Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar
dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada
bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi sukaduka,
kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusanputusannya,
hakim suka disebut mewakili suara mereka (rakyat) yang tak terwakili
(unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented).
Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu
menanyakan, "Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini?" Apa yang
diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini? Dengan demikian, ia akan menolak bila
dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja UU. Hakim progresif akan selalu meletakkan
telinga ke degup jantung rakyatnya.
Hakim sekaligus sosiolog.
Indonesia tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim, khususnya
dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi
Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan
dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat
kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para
hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan
yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena
Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan
memperhatikan hak asasi manusia.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan
telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat
Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang
hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang
ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit
dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya.
Baru-baru ini juga dimuat wawancara dengan seorang "hakim kecil", tetapi pantas menjadi
teladan bagi "hakim-hakim besar" (Kompas, 2/2/2004). Ia mengatakan, moralitas saja tidak
cukup, yang paling penting adalah keberanian, ucap Teguh Haryanto. Memang untuk
menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral, tetapi juga
keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal dan yang memiliki
keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain. Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh MA akhirnya harus menerima risiko
pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh hormat kepada hakim-hakim yang akhirnya harus
mental hanya karena keinginan untuk memperbaiki citra pengadilan.
Pesan tulisan ini, pertama, mendukung dan membesarkan hati sementara hakim Indonesia
yang di tengah kegelapan bangsa masih berusaha untuk tetap tegar memberikan yang
terbaik bagi bangsanya. Tentu saja orang-orang seperti Teguh Haryanto tidak hanya ada di
kalangan pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan advokat. Kedua, apa dan bagaimanapun
institusi kasasi itu, pengadilan progresif tetap saja bisa diusahakan.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar