Senin, 22 November 2010

Hand out Mata Kuliah Hukum Pidana

By Admin

Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum.


SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP, SISTEMATIKA KUHP,
DAN USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA


Sejarah Pembentukan KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali
dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS
negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda
pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda,
namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
(penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal
dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas
wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat
perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun
1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun
1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi
hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi
penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda.
Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai
tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk
mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan
dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan.
Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan
bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi
Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-
peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara
Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946
dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958
dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

Sistematika KUHP

Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya
adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal
1-103). 2
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104
s.d. 488).
c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-
569).
Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII
berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan
hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain
(lihat Pasal 103 KUHP).

Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali
(reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana
Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai
sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini
bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum
pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi
hukum pidana.
Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana
nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
a. alasan yang bersifat politik
adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki
KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan
kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang
telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk
undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-
undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b. alasan yang bersifat sosiologis
suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan
dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak
dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi
yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan
mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang
terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan
sebaliknya.
c. alasan yang bersifat praktis
teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP.
Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa
asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan
KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran
yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan
yang kurang tepat.
Selain pendapat Sudarto di atas, Muladi menambahkan alasan perlunya
pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP nasioanl di
masa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembangan-
perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah
disepakati oleh masyarakat beradab.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan
KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar 3
mengganti KUHP. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas
Diponegoro Semarang yang menyebutkan bahwa pembaharuan hukum pidana
meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping
itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak
dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan
kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula
dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal
science reform). Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum
masyarakat (legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat
hukumnya (legal structure reform). Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan
hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana
material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian
pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana.
Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum
pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara
parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum
pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh,
yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan
Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama
WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi
delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis
pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada
Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan
Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman
pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP
(merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima
puluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda
dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang
dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca
dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat
ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan
memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan
berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan
Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan
Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara
(menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai
dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 4
Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana
nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan
Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972,
Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983,
Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990,
Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali
Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-
undangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk
di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas
membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi
pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan
KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964
s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak
menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569
pasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar