Minggu, 21 November 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 224 TAHUN 1961 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN

By Admin


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform perlu diadakan
peraturan tentang pembagian tanah serta soal-soal yang
bersangkutan dengan itu;

Memperhatikan : hasil-hasil kesimpulan Seminar Landreform di Pusat dan di Daerah-
daerah;

Mengingat : a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960; Lembaran Negara Tahun 1960 No.104);
c. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 174);
d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 2);
e. Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara
Tahun 1958 Nomor 139);
f. Undang-undang Nomor 10 Prp Tahun 1960 (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 31);

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja dalam sidangnya tanggal 12 September
1961.


MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN


BAB I
TANAH-TANAH YANG AKAN DIBAGIKAN

Pasal 1.

Tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan dibagikan menurut ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan ini ialah:
a. tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam Undang-
undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada Negara, karena
pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang tersebut;
b. tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar
daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 5;
c. tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara, sebagai
yang dimaksudkan dalam Diktum Keempat huruf A Undang-undang Pokok Agraria;
d. tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut
oleh Menteri Agraria.

Pasal 2.

1. Pemilik tanah yang melebihi batas maksimum termaksud dalam Undang-undang Nomor
56 Prp Tahun 1960 diberi kesempatan untuk mengajukan usul kepada Menteri Agraria,
mengenai bagian atau bagian-bagian mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap menjadi
miliknya.

2. Dengan memperhatikan usul tersebut diatas Menteri Agraria menetapkan bagian atau
bagian-bagian mana dari tanah itu yang tetap menjadi hak pemilik, (selanjutnya disebut :
tanah hak pemilik) dan yang mana langsung dikuasai oleh Pemerintah, untuk selanjutnya
dibagi-bagikan menurut ketentuan dalam Pasal 8;

3. Menteri Agraria dapat menyerahkan wewenang tersebut pada ayat 1 dan 2 pasal ini
kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II;

4. Penguasaan tanah-tanah yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal ini dimulai pada tanggal
24 September 1961.

Pasal 3.

1. Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam
jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.

2. Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat
tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak
antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu
secara effisien, menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka jika pemilik
tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan
tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.

4. Ketentuan dalam ayat 1 dan 3 pasal ini tidak berlaku bagi mereka, yang mempunyai tanah
dikecamatan tempat tinggalnya atau dikecamatan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat
2 pasal ini, yang sedang menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama, atau
mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh Menteri Agraria. Bagi
pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan
mereka, yang sedang menjalankan tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini
terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum yang
ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut Undang-undang Nomor 56 Prp
Tahun 1960.

5. Jika kewajiban tersebut pada ayat 1 dan 3 pasal ini tidak dipenuhi, maka tanah yang
bersangkutan diambil oleh Pemerintah, untuk kemudian dibagi-bagikan menurut ketentuan
Peraturan ini.

6. Kepada bekas pemilik tanah yang dimaksud dalam ayat 5 pasal ini diberi ganti kerugian
menurut Ketentuan Peraturan ini.

Pasal 4.

1. Tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV huruf A Undang-
undang Pokok Agraria beralih kepada Negara, diberi peruntukan, sebagian untuk
kepentingan Pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena
dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini.

2. Tanah untuk kepentingan Pemerintah, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini,
ditetapkan menurut keperluannya oleh Menteri Agraria.

3. Tanah yang diperuntukkan bagi mereka yang langsung dirugikan, sebagai yang
dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, letak dan luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria,
setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Pasal 5.

Pembagian tanah-tanah lainnya yang dikuasai langsung oleh Negara menurut ketentuan
dalam Pasal 1 huruf d, diatur oleh Menteri Agraria, dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan ini.


BAB II
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KEPADA
BEKAS PEMILIK

Pasal 6.

1. Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang berdasarkan Pasal 1 Peraturan ini diambil
oleh Pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh
Pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian, yang besarnya ditetapkan oleh Panitia
Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan perkalian hasil
bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir, yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan
kelas tanahnya, dengan menggunakan degresivitet sebagai tertera dibawah ini :
a. untuk 5 hektar yang pertama : tiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun;
b. untuk 5 hektar yang kedua, ketiga dan keempat : tiap hektarnya 9 kali hasil bersih
setahun ;
c. untuk yang selebihnya : tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun ;
dengan ketentuan bahwa jika harga tanah menurut perhitungan tersebut diatas itu
lebih tinggi daripada harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk
penetapan ganti kerugian tersebut.

2. Yang dimaksud dengan “hasil bersih” adalah seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau
sepertiga hasil kotor bagi tanaman palawija.

3. Jika bekas pemilik tanah tidak menyetujui besarnya ganti kerugian sebagai yang
ditetapkan Panitia Landreform Daerah Tingkat II, maka ia dapat minta banding kepada
Panitia Landreform Daerah Tingkat I dalam tempo 3 bulan sejak tanggal penetapan ganti
kerugian tersebut.

4. Keputusan Panitia Daerah Tingkat I tidak boleh bertentangan dengan dasar perhitungan
termaktub dalam ayat 1 pasal ini. Keputusan Panitia tersebut mengikat.

Pasal 7.

1. Ganti kerugian tersebut pada Pasal 6 diberikan sejumlah 10% dalam bentuk uang
simpanan di Bank Koperasi, Tani dan Nelayan sedang sisanya berupa surat hutang
landreform.

2. Uang simpanan tersebut dapat mulai diambil oleh yang berhak sewaktu-waktu sejak satu
tahun setelah tanah yang bersangkutan dibagikan kepada rakyat menurut Pasal 8.

3. Surat-surat hutang landreform, dalam jumlah nilai yang sesuai, memberi kesempatan bagi
pemegangnya atau pemegang-pemegangnya secara bersama-sama, untuk ditukarkan
dengan barang-barang modal dari Pemerintah, guna pembangunan usaha industri sesuai
dengan rencana pembangunan industri.

4. Surat hutang landreform tersebut pada ayat 1 pasal ini diberi bunga 3% setahun, selama
pemilik belum dapat mengambil uangnya tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka kepadanya
di berikan juga bunga 3% setahun itu.

5. Tiap-tiap tahun, dimulai 2 tahun sesudah tahun surat hutang landreform dikeluarkan,
dibuka kesempatan untuk menukar surat hutang landreform itu sebesar sebagian dari
jumlah nilai surat hutang landreform tersebut, yang akan dilunasi dalam waktu 12 tahun.

6. Jika jumlah ganti kerugian termaksud dalam pasal 6 tidak melebihi Rp. 25.000,- maka
Menteri Agraria dapat menetapkan pembayaran dengan menyimpang dari ketentuan-
ketentuan dalam ayat-ayat diatas.


BAB III
PEMBAGIAN TANAH DAN SYARAT-SYARATNYA

Pasal 8.

1. Dengan mengingat pasal 9 s/d 12 dan pasal 14, maka tanah-tanah yang dimaksudkan
dalam pasal 1 huruf a, b dan c dibagi-bagikan dengan hak milik kepada para petani oleh
Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan, menurut prioritet sebagai
berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;
e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan
pasal 4 ayat 2 dan 3;
g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar;
h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
i. Petani atau buruh tani lainnya;

2. Jika didalam tiap-tiap prioritet tersebut dalam ayat 1 pasal ini terdapat:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari dua derajat dengan
bekas pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang;
b. Petani yang terdaftar sebagi veteran;
c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
d. Petani yang menjadi korban kekacauan, maka kepada mereka itu diberikan
pengutamaan diatas petani-petani lain, yang ada didalam golongan prioritet yang
sama.

3. Yang dimaksud dengan “petani”, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak
mempunyai tanah sendiri, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah
untuk pertanian.

4. Yang dimaksud dengan “penggarap”, adalah petani, yang secara sah mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya, dengan memikul seluruh
atau sebagian dari risiko produksinya.
5. Yang dimaksud dengan “buruh tani tetap”, adalah petani, yang mengerjakan atau
mengusahakan secara terus menerus tanah orang lain dengan mendapat upah.

6. Yang dimaksud dengan “pekerja tetap”, adalah orang yang bekerja pada bekas pemilik
tanah secara terus menerus.

Pasal 9.

Untuk mendapat pembagian tanah, maka para petani yang di maksudkan dalam pasal 8 harus
memenuhi:
a. Syarat-syarat umum :
Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanah yang
bersangkutan dan kuat kerja dalam pertanian.
b. Syarat-syarat khusus :
Bagi petani yang tergolong dalam prioritet a, b, e, f dan g : telah mengerjakan tanah yang
bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut ;
bagi petani yang tergolong dalam prioritet d: telah mengerjakan tanahnya 2 musim
berturut-turut ;
bagi para pekerja tetap yang tergolong dalam prioritet c : telah bekerja pada bekas pemilik
selama 3 tahun berturut-turut.

Pasal 10.

1. Daerah-daerah yang padat sebagai yang dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 56
Prp Tahun 1960 maka didalam melaksanakan pembagian tanah menurut Pasal 8,
penetapan luasnya dilakukan dengan memakai ukuran sebagai berikut :
a. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 hektar atau lebih, tidak
mendapat pembagian.
b. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas kurang dari 1 hektar, mendapat
pembagian seluas tanah yang dikerjakan, tetapi jumlah tanah milik, dan tanah yang
dibagikan kepadanya itu tidak boleh melebihi 1 hektar.
c. Penggarap yang tidak memiliki tanah sendiri, mendapat pembagian seluas tanah yang
dikerjakan, tetapi tanah yang dibagikan kepadanya itu tidak boleh melebihi 1 hektar.
d. Petani yang tergolong dalam prioritet b,d,e dan f Pasal 8 ayat 1, mendapat pembagian
tanah seluas sebagai ditetapkan dalam huruf a, b dan c tersebut diatas.
e. Petani yang tergolong dalam prioritet c, g, h dan i pasal 8 ayat 1, mendapat pembagian
tanah untuk mencapai luas 0,5 hektar.

2. Di daerah-daerah yang tidak padat sebagai yang dimaksudkan dalam Undang-undang
Nomor 56 Prp. tahun 1960, maka batas luas 1 hektar seperti tersebut pada huruf a, b, c
dan d serta luas 0,5 hektar seperti tersebut pada huruf e ayat 1 pasal ini dapat diperbesar
oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan, dengan mengingat luas
tanah yang tersedia untuk dibagi-bagikan dan jumlah petani yang memerlukannya.

Pasal 11.

Didalam menetapkan bagian atau bagian-bagian tanah yang menjadi hak bekas pemilik
sebagai dimaksudakan dalam pasal 2 ayat 2 dan pembagian tanah kepada para petani
tersebut pada pasal 8 harus diusahakan supaya tanah-tanah yang akan dimiliki oleh mereka
masing-masing merupakan kesatuan-kesatuan yang ekonomis.

Pasal 12.

1. Pembagian tanah-tanah yang sudah ditanami dengan tanaman keras dan tanah-tanah
yang untuk tambak dapat dilaksanakan dengan tidak mengubah kesatuan-kesatuan dari
pengusaha-pengusaha tanah yang bersangkutan.

2. Pelaksanaan pembagian tanah-tanah tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.

Pasal 13.

1. Tanah-tanah untuk penggembalaan umum bagi ternak rakyat di sediakan oleh Pemerintah
menurut kebutuhannya.

2. Tanah-tanah untuk penggembalaan bagi perusahaan ternak diberikan dengan hak guna
usaha atas sebidang tanah tertentu, dengan syarat-syarat yang akan ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria.


BAB IV
PEMBERIAN HAK MILIK DAN
SYARAT-SYARATNYA

Pasal 14.

1. Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik secara definitip menurut ketentuan prioritet
tersebut pada Pasal 8 ayat 1, maka para petani yang mengerjakan tanah-tanah yang disebut dalam pasal 1 huruf a, b dan c, diberi izin untuk mengerjakan tanah yang
bersangkutan untuk paling lama dua tahun, dengan kewajiban membayar sewa kepada
Pemerintah sebesar 1/3 (sepertiga) dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu.

2. Para petani yang mengerjakan tanah tersebut pada ayat 1 pasal ini diberi hak milik atas
tanah yang dikerjakannya itu, apabila memenuhi syarat-syarat prioritet sebagai yang
dimaksudkan dalam pasal 8 dan 9 serta memenuhi pula kewajiban membayar sewa
tersebut diatas.

3. Pemberian hak milik tersebut pada ayat 2 pasal ini dilakukan dengan surat keputusan
Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan disertai dengan kewajiban-
kewajiban sebagai berikut:
a. Membayar harga tanah yang bersangkutan menurut ketentuan pasal 15.
b. Tanah itu harus dikerjakan/diusahakan oleh pemilik sendiri secara aktip.
c. Setelah 2 tahun sejak tanah tersebut diberikan dengan hak milik, setiap tahunnya
harus dicapai kenaikan hasil tanaman sebanyak yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian
Rakyat Daerah.
d. Harus menjadi anggota koperasi termaksud dalam pasal 17.

4. Selama harga tanah yang dimaksud dalam huruf a diatas belum dibayar lunas, maka hak
milik tersebut dilarang untuk dipindahkan kepada orang lain, kecuali dengan izin Menteri
Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

5. Kelalaian didalam memenuhi kewajiban tersebut pada ayat 1 atau ayat 3 pasal ini serta
pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 4 dapat dijadikan alasan untuk
mencabut izin mengerjakan tanah yang bersangkutan atau hak miliknya, tanpa pemberian
sesuatu ganti kerugian. Pencabutan hak milik itu dilakukan dengan surat keputusan
Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Pencabutan izin mengerjakan tanah
dilakukan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II.


BAB V
PENETAPAN HARGA TANAH BAGI PEMILIK BARU
DAN CARA PEMBAYARANNYA.

Pasal 15.

1. Harga tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a ditetapkan oleh Panitia
Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan dan dinyatakan didalam surat keputusan
pemberian hak miliknya.

2. Harga tanah tersebut pada ayat 1 pasal ini tiap hektarnya adalah sama dengan rata-rata
jumlah ganti kerugian sehektar yang diberikan kepada bekas pemilik, sebagai yang
dimaksudkan dalam pasal 6 didaerah Tingkat II yang bersangkutan, menurut klasifikasi
tanahnya, ditambah 10% biaya administrasi.

3. Harga tanah tersebut pada ayat 2 pasal ini dibayarkan kepada Pemerintah dengan tunai
atau dengan angsuran dalam waktu 15 tahun sejak hak miliknya diberikan.

4. Untuk menerima pembayaran harga tanah tersebut pada ayat 3 pasal ini ditunjuk Bank
Koperasi, Tani dan Nelayan dan dimana perlu dapat juga ditunjuk badan-badan lain.

5. Jika pembayaran harga tanah tersebut diatas dilakukan dengan angsuran, maka selain
harga yang ditentukan menurut ayat 2 pasal ini, yang bersangkutan diharuskan membayar
pula bunga sebesar 3% setahun.


BAB VI
DANA LANDREFORM

Pasal 16.

1. Untuk memperlancar pembiayaan landreform dan mempermudah pemberian fasilitet-
fasilitet kredit kepada para petani, oleh Menteri Agraria dibentuk Yayasan Dana
Landreform, yang berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom.

2. Sumber-sumber keuangan Dana Landreform tersebut pada ayat 1 pasal ini berasal dari :
a. Pemerintah
b. Pungutan 10% ongkos administrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh petani
tersebut pada pasal 15 ayat 2.
c. Hasil sewa dan penjualan tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan Landreform.
d. Lain-lain sumber yang syah.

3. Uang dana Landreform disimpan dalam Bank Koperasi, Tani Nelayan atau Bank-bank lain
yang ditunjuk oleh menteri Agraria.


BAB VII
KOPERASI PERTANIAN

Pasal 17.

1. Di tiap-tiap desa atau daerah yang setingkat dengan itu dimana belum ada koperasi
pertaniannya, dibentuk koperasi pertanian antara buruh-buruh tani, pemilik-pemilik alat
pertanian dan pemilik-pemilik tanah pertanian, terutama yang mempunyai tanah 2 hektar
atau kurang.

2. Mereka yang mendapat pembagian tanah menurut ketentuan Peraturan ini diwajibkan
menjadi anggota koperasi pertanian tersebut.
3. Anggota yang mendapat tugas tetap dalam menjalankan koperasi pertanian itu dianggap
sudah memenuhi kewajiban yang dimaksudkan dalam pasal 14 ayat 3 huruf b.

4. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria
bersama Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa.

Pasal 18.

Pemberian kredit kepada para petani oleh Bank Koperasi, Tani dan Nelayan sejauh mungkin
diselenggarakan melalui koperasi-koperasi pertanian tersebut pada pasal 17.


BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 19.

1. Pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah
oleh Pemerintah dan pembagiannya, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat 2,
dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000,- sedang tanahnya diambil oleh Pemerintah tanpa pemberian ganti
kerugian.

2. Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi terlaksananya Peraturan Pemerintah
ini dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamaya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000,-

3. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.


BAB IX
PENUTUP
- 8 -
PUSAT HKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

Pasal 20.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan Peraturan ini diatur lebih lanjut oleh menteri Agraria.

Pasal 21.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 24 september 1961.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1961.
Pejabat Presiden Republik
Indonesia,

J. LEIMENA
Diundang di Jakarta
pada tanggal 19 September 1961
Pejabat Sekretaris Negara,

A.W. SURJOADININGRAT


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 224 TAHUN 1961
TENTANG
PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN

UMUM

(1) Salah satu tujuan dari pada Landreform adalah mengadakan pembagian yang adil dan
merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan
pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata pula. Undang-
undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960) menetapkan dalam Pasal
7, bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Selanjutnya Pasal 17 menetapkan, bahwa luas maksimum dan/atau minimum tanah yang
boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum akan diatur.
Tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti
kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, sedang
tercapainya batas minimum dilaksanakan secara berangsur-angsur. Sebagai pelaksanaan
dari pada ketentuan tersebut telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
yang mengatur tentang penetapan luas tanah pertanian. Dalam Undang-undang tersebut
telah ditentukan batas luas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh satu
keluarga sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing. Selanjutnya keluarga-
keluarga yang menguasai tanah pertanian, yang jumlah luasnya melebihi batas
maksimum, wajib melaporkan hal itu, dan wajib lapor itu telah dijalankan. Sebagai
pelaksanaan selanjutnya daripada Landreform itu dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
tentang pelaksanaan pembagian tanah-tanah dan pemberian ganti kerugian serta soal-
soal yang bersangkutan dengan itu.

(2) Dalam Peraturan ini ditentukan, bahwa tanah-tanah yang akan dibagi-bagikan itu tidak
hanya terbatas pada tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum,
melainkan meliputi juga tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah karena pemiliknya
bertempat tinggal di luar daerah, tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah
beralih kepada Negara dan tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara. Dengan
mengadakan peraturan tentang pembagian tanah-tanah tersebut maka segala persoalan
yang menyangkut pembagian tanah dapat diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan ini. Demikian pula kedudukan hukum dari pada tanah-tanah yang
dikerjakan/diusahakan, baik oleh para petani, badan-badan usaha, perusahaan-
perusahaan perkebunan maupun oleh Pemerintah sendiri, dapat ditertibkan, sesuai
dengan pertimbangan-pertimbangan keadilan, perikemanusiaan dan sosial-ekonomi.

(3) Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada para
petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian
ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian ini merupakan perwujudan daripada azas yang
terdapat dalam hukum Agraria Nasional kita, yang mengakui adanya hak milik
perseorangan atas tanah.
Dalam pada itu dalam rangka Ekonomi Terpimpin maka untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur, penggunaan ganti-kerugian yang diberikan oleh Pemerintah kepada
bekas pemilik tidak dibiarkan secara bebas, melainkan harus terpimpin juga dan diarahkan
kepada usaha-usaha pembangunan. Disamping itu keperluan pribadi bekas pemilik juga
tidak diabaikan. Berhubungan dengan itu maka pemberian ganti-kerugian diatur : 10%
dalam bentuk uang simpanan yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai dengan
kebutuhan pribadi bekas pemilik sejak 1 tahun setelah tanah itu dibagikan kepada rakyat, sedangkan yang 90% harus digunakan untuk usaha-usaha pembangunan industri.
Dengan menyediakan modal sebesar 90% dari ganti kerugian untuk industri itu, maka
Landreform dalam pelaksanaanya telah menempatkan diri pada kedudukan yang
sewajarnya, yaitu sebagai basis Pembangunan Semesta yang dalam hal ini berarti
memberikan basis dan dorongan bagi perkembangan industri. Dengan betul-betul
menyadari tentang pentingnya koperasi sebagai alat daripada Ekonomi Terpimpin, maka
dalam Peraturan Pemerintah ini pelaksanaan Landreform diarahkan juga kepada
perkembangan Koperasi-koperasi Pertanian yang beranggotakan buruh-buruh tani,
pemilik-pemilik alat pertanian dan pemilik-pemilik tanah pertanian, terutama yang
mempunyai tanah 2 Ha atau kurang. Di samping itu petani-petani yang mendapat
pembagian tanah juga diwajibkan menjadi anggota Koperasi Pertanian tersebut. Koperasi
Pertanian itu tidak hanya mengatur pengusahaan atau penggarapan tanah secara
bersama, melainkan juga mengatur tentang pengumpulan, pengolahan dan penjualan dan
hasil-hasil pertanian tersebut.


PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.

a. Tidak memerlukan penjelasan;

b. Yang dimaksudkan dengan “Daerah” adalah Daerah Kecamatan letak tanah yang
bersangkutan. Tanah-tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah
menyebabkan, disampingnya pengusahaan tanah yang tidak ekonomis, juga menimbulkan
sistem penghisapan, misalnya disewakan, digadaikan atau dibagi-hasilkan.
Oleh karena itu hak atas tanahnya perlu dialihkan kepada orang yang bertempat tinggal di
kecamatan tempat letak tanah itu atau pemiliknya harus pindah kekecamatan tempat letak
tanah tersebut. Juga pemilik tanah yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut
biasanya mengakibatkan ditelantarkannya tanah tersebut atau diusahakan dengan
menggunakan sistim yang mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pemilik-tanah
wajib memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain, yang bertempat tinggsl
dikecamatan tempat letak tanah itu. Berhubung dengan itu maka jika pemilik-pemilik tanah
tersebut tidak memenuhi kewajiban tadi, tanahnya akan diambil oleh Pemerintah untuk
kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat.

c. Yang dimaksud dengan “tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada
Negara sebagai yang dimaksud perlu dalam diktum Ke empat huruf A Undang-undang
Pokok Agraria” adalah selain domein Swapraja dan bekas Swapraja, yang dengan
berlakunya Undang-undang Pokok Agraria menjadi hapus dan beralih kepada Negara,
juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh Swapraja, yaitu baik yang diusahakan
dengan cara persewaan, bagi-hasil dan lain sebagainya ataupun diperuntukan jabatan dan
lain-lain.

d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut,
adalah misalnya bekas tanah-tanah partikelir, tanah-tanah dengan hak guna-usaha yang
telah berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang
diserankan kembali penguasaanya oleh Jawatan yang bersangkutan kepada Negara dan
lain-lain.
Tidak termasuk didalamnya tanah-tanah wakaf dan tanah-tanah untuk peribadatan.

Pasal 2.

Pemberian kesempatan kepada bekas pemilik tanah yang melebihi batas maksimum untuk
mengajukan usul tentang tanah-tanah yang akan tetap dimilikinya, bermaksud hendak
memperhatikan kepentingan-kepentingan bekas pemilik, agar dengan tanah yang dimiliki itu
penguasaannya dapat effisien. Dalam pada itu unsur tersebut tidak mesti akan selalu
dipenuhi, oleh karena dalam penetapan tanah untuk bekas pemilikpun ada hal-hal yang perlu
diperhatikan, misalnya tentang konsolidasi. Pemilikan tanah yang terpencar-pencar yang tidak
memungkinkan penggarapan secara yang ekonomis, sudah barang tentu tidak akan
diperbolehkan, oleh karena hal itu akan bertentangan dengan tujuan Landreform untuk
memperbesar produksi pertanian. Untuk melaksanakan penguasaan tanah-tanah yang
selebihnya dari batas maksimum, akan diadakan oleh Menteri Agraria suatu pernyataan yang
menetapkan bagian-bagian tanah yang tetap menjadi hak pemilik dan bagian-bagian tanah
yang langsung dikuasai oleh Pemerintah. Penguasaan tanah tersebut dinyatakan dimulai
sejak tanggal 24 September 1961.

Pasal 3.

Pasal ini mengatur tentang pemilikan tanah oleh orang yang bertempat tinggal di luar
kecamatan. Pemilikan yang demikian menimbulkan penggarapan tanah yang tidak effisien,
misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya. Juga dapat
menimbulkan sistim-sistim peningkatan, misalnya orang-orang yang tinggal di kota memiliki
tanah-tanah didesa-desa yang digarapkan kepada para petani-petani yang ada di desa-desa
itu dengan sistim sewa atu bagi hasil. Ini berarti bahwa para petani yang memeras keringat
dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil tanah yang dikerjakan,
sedang pemilik tanah yang tinggal di kota-kota, yang kebanyakan juga sudah mempunyai
mata pencaharian lain, dengan tidak perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil
tanahnya pula. Berhubungan dengan itu perlu pemilik tanah itu bertempat tinggal di
kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan sendiri, sesuai dengan prinsip
yang telah diletakkan dalam “JAREK”, bahwa “tanah adalah untuk tani yang menggarapnya”.
Batas daerah diambil kecamatan, oleh karena jarak dalam kecamatan masih memungkinkan
pengusahaan tanahnya secara efektif. Juga pemilik tanah yang berpindah tempat atau
meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun
berturut-turut, wajib memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat
tinggal di kecamatan itu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas
Negara misalnya: pergi dinas ke luar negeri, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya.
Juga pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer serta mereka yang dipersamakan,
yang sedang menjalankan tugas Negara boleh memiliki tanah di luar kecamatan, tetapi
pemilikan itu terbatas pada 2/5 luas maksimum yang ditentukan. Misalnya di daerah yang
sangat padat, maka hanya diperbolehkan memiliki sawah 2/5 x 5 ha = 2 ha.
Di dalam perkecualian yang dimaksudkan dalam pasal 3 dan 4 termasuk pula pemilikan oleh
isteri dan/atau anak-anak yang masih menjadi tanggungannya.

Pasal 4.

Yang dimaksudkan dengan “kepentingan Pemerintah”, ialah baik kepentingan Pemerintah
Pusat maupun kepentingan Pemerintah Daerah. sedang mereka yang langsung dirugikan
ialah mereka yang pada waktu hak dan wewenang atas tanah dari Swapraja atau bekas
Swapraja itu belum dihapuskan, memperoleh penghasilan, berhubung mereka diserahi untuk
mengurusnya atau mengusahakannya ataupun karena menjabat sesuatu jabatan.

Pasal 5.

Oleh karena tanah-tanah yang dimaksudkan itu dalam penyelesainnya memerlukan penelitian
yang khusus, maka pembagiannya akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Pasal 6.

Besarnya ganti-kerugian kepada bekas pemilik ditetapkan atas dasar perhitungan perkalian
hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir, yang ditetapkan tiap hektarnya menurut
golongan klasnya.

Cara menghitungnya adalah sebagai berikut :
Pertama dicari dulu hasil bersih dari tanah-tanah kelebihan di seluruh Daerah Tingkat II yang
bersangkutan selama 5 tahun berturut-turut. Misalnya tanah kelebihan ada 100 ha sawah,
hasil kotornya tahun 57 ada 2000 kw padi, tahun 58 ada 2200 kw padi, tahun 59 ada 2600 kw
padi, tahun 60 ada 2400 kw padi, tahun 61 ada 1800 kw padi, 11000 kw kotor. Hasil
bersih = 11000 kw : 2 = 5500 kw padi.
Hasil bersih rata-rata selama 5 tahun untuk = 5500/5 = 1100 kwintal.
Hasil bersih rata-rata selama 5 tahun untuk 1 ha = 1100 : 100 = 11 kwintal padi. Harga padi 1
kw = Rp. 300,- Nilai hasil bersih rata-rata 5 th tiap-tiap ha = 11 x Rp. 300,- = Rp. 3300,-
Setelah diketahui nilai hasil bersih tiap ha, kemudian disesuaikan dengan golongan klas - 4 -
PUSAT HKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

tanahnya, misalnya : Klas I = Rp. 3500,- Klas II = Rp. 3000,-klas III = Rp. 2500,- dan
seterusnya.
Ganti kerugian yang dibayarkan kepada bekas pemilik untuk tanah Klas II adalah :
a. untuk 5 ha yang pertama, tiap ha :
10 x Rp. 3000,- = Rp.30.000,-

b. untuk 5 ha yang kedua, ketiga dan keempat tiap ha :
9 x Rp. 3000,- = Rp. 27.000,-

c. untuk yang selebihnya, tiap ha :
7 x Rp. 3000,- = Rp. 21.000,-

Misalnya : A mempunyai tanah kelebihan sawah klas II seluas 22 ha, maka ia akan mendapat
ganti kerugian sebesar :
Untuk 5 ha yang pertama : 5 x Rp. 30.000,- Rp. 150.000,-Untuk 5 ha yang kedua, ketiga
dan keempat :
15 x Rp. 27.000,- Rp. 405.000,-
Untuk 2 ha yang selebihnya :2 x Rp. 21.000,- Rp. 42.000,-
Jumlah ganti kerugian tanah seluas 22 ha Rp. 597.000,-

Cara menghitung hasil-bersih :
a. untuk tanah yang ditanami padi saja : 1/2 x hasil kotor
b. untuk tanah yang ditanami palawija : 1/3 x hasil kotor
c. untuk tanah yang ditanami padi dan palawija : 1/2 x hasil kotor padi ditambah dengan 1/3
x hasil kotor palawija.

Pasal 7.

Ganti kerugian diberikan sejumlah 10% dalam bentuk uang simpanan di BKTN dan sisanya
dalam bentuk surat hutang landreform. Surat hutang landreform ini digunakan untuk keperluan
pembangunan industri. Penukarannya dengan barang-barang modal dinilai dengan harga
nominalnya, artinya harga yang tercantum dalam surat hutang landreform tersebut. Penukaran
surat hutang landreform dimulai 2 tahun setelah tahun surat hutang landreform itu dikeluarkan.
Tiap tahunnya dikeluarkan sebagian jumlah nilai surat hutang landreform, demikian rupa
hingga semuanya akan dilunasi dalam waktu 12 tahun.

Pasal 8.

Tanah-tanah yang dibagi-bagiakan itu akan diberikan dengan hak milik. Oleh karena luas
tanah yang akan dibagi-bagikan itu jika dibandingkan dengan rakyat yang membutuhkan,
adalah sangat sedikit, maka di dalam pembagian ini perlu diadakan prioritet yaitu urut-urutan
petani yang paling membutuhkan dan paling perlu untuk didahulukan. Didalam priorotet
tersebut maka para penggarap tanah yang bersangkutan, dipandang yang paling
membutuhkan dan paling perlu untuk didahulukan. Mereka adalah yang telah mempunyai
hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya, sehingga atas dasar prinsip
“tanah untuk tani yang menggarap”, hubungan tersebut tidak boleh dilepaskan, bahkan harus
dijamin kelangsungannya. Apabila setelah dibagikan kepada petani golongan proritet a masih
ada sisanya maka sisa itu dibagikan kepada petani golongan prioritet b, demikian seterusnya.
Dalam pada itu petani-petani yang mempunyai ikatan keluarga sampai dua derajat dengan
bekas pemilik, petani-petani yang terdaftar sebagai veteran, janda pejoang kemerdekaan yang
gugur serta para petani korban kekacauan diutamakan. Tetapi pengutamaan itu hanya
berlaku di dalam golongan prioritet yang sama. Misalnya petani yang terdaftar sebagai veteran
yang termasuk dalam prioritas c tidak dapat menggeser petani dalam golongan prioritt a.

Pasal 9.

Tidak semua petani yang digolongkan dalam prioritet tersebut pada pasal 8 akan mendapat
pembagian tanah, karena disamping mengingat tersedianya tanah yang akan dibagi, mereka
itu harus juga memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat umum berlaku bagi semua petani
dalam segala golongan prioritet. Apabila salah satu syarat umum tersebut tidak dipenuhi,
maka walaupun sudah dimasukkan dalam salah satu golongan prioritet, ia tidak akan
mendapat pembagian tanah.
Sedang syarat-syarat khusus berlaku bagi tiap-tiap golongan prioritas. Jadi walaupun syarat
umum sudah dipenuhi, tapi jika syarat khusus yang berlaku bagi golongannya tidak dipenuhi,
maka ia juga tidak mendapat pembagian tanah.

Pasal 10.

Pada umumnya di daerah yang padat luas pembagian tanah itu adalah sekitar 0,5 ha sampai
1 ha, yang sifatnya melengkapi agar pemilikan tanah mencapai luas 0,5 ha dan 1 ha. Jadi
tidak dua ha, yaitu karena luas tanah yang akan dibagi terbatas sekali. Pembagian tanah
seluas tersebut dimaksudkan untuk memperluas untuk memperluas adanya pemilikan tanah
bagi para petani, yang telah bertahun-tahun hanya bertindak sebagai penggarap atau
penyewa saja. Dengan diberikan hak milik atas tanah yang bersangkutan maka para petani
akan lebih giat bekerja dan lebih baik dalam mengusahakan tanahnya, sehingga produksi
dapat naik. Pembagian tanah di daerah-daerah yang tidak padat batas luasnya dapat
diperbesar oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II.

Pasal 11.

Pasal ini mengatur konsolidasi tanah, baik tanah untuk bekas pemilik maupun tanah yang
akan dibagi-bagikan kepada para petani. Dengan penyatuan tanah-tanah yang dimiliki dan
digarap, maka dapat diadakan penghematan tenaga, modal dan ongkos-ongkos produksi
lainnya serta dapat dihemat pula pengangkutan hasilnya, dengan demikian produksi dapat
diperbesar dengan ongkos yang lebih rendah.

Pasal 12.

Pembagian tanah-tanah yang ditanami dengan tanaman keras dan tanah untuk tambak tidak
perlu dilakukan dengan mengadakan pemecahan tanah yang bersangkutan. Melainkan
kesatuan-kesatuan tanah tersebut harus tetap dipelihara. Hanya petani-petani yang berhak
mendapat tanahlah yang ditetapkan, sedangkan pengusahaanya dapat diselenggarakan
secara koperasi. atau tanahnya dapat juga diberikan dengan hak guna-usaha dengan syarat-
syarat tertentu.Jika kesatuan-kesataun itu dipecah-pecah maka tanah-tanah tertentu tidak
dapat diusahakan secara effisien, padahal tujuan Landreform antara lain adalah menuju
kepada Landconsolidation untuk mencapai effesiency yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu
maka pemilik-pemilik baru yang mendapat pembagian tanah-tanah perkebunan maupun
tanah-tanah tambak diatur supaya masuk koperasi tambak atau koperasi pertanian tanaman
keras.

Pasal 13.

Inti penjelasan ayat 2 sama dengan penjelasan pasal 12.

Pasal 14.

Sebelum dilaksanakan pemberian hak milik yang definitif menurut prioritet yang tersebut pada
pasal 8 ayat 1, maka tanah-tanah yang selebihnya dari maksimum, tanah-tanah yang
pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah tersebut dan tanah-tanah
Swapraja dan bekas Swapraja diberikan kepada petani-petani yang mengerjakannya untuk
digarap selama paling lama 2 tahun. Ini tidak berarti, bahwa mereka semua yang sudah diberi
izin untuk mengerjakan itu akan mendapat hak milik. Hanya kepada mereka yang memenuhi
ketentuan-ketentuan pasal 8, 9 dan memenuhi pula kewajiban membayar sewa akan diberi
hak milik. Besarnya sewa per ha ditetapkan 1/3 dari hasil panen, yaitu hasil kotor setelah
dipotong bawon. Sewa itu dapat dibayar berupa hasil atau berupa uang yang senilai. Ini
berlaku bagi semua tanah baik ditanami dengan padi, palawija maupun padi dan palawija.
Hubungan ini bukan perjanjian bagi-hasil. Para petani yang memperoleh pembagian tanah
dengan hak milik diwajibkan membayar harga tanah yang bersangkutan, yang akan
dinyatakan dalam surat keputusan pemberian haknya. Kewajiban membayar harga tanah itu
diadakan, berhubung dengan adanya kewajiban Pemerintah untuk membayar ganti-kerugian
kepada bekas pemilik. Tanah-tanah yang telah dibagikan dengan hak milik itu harus
dikerjakan/diusahakan sendiri oleh pemiliknya. Harus diusahakan juga agar supaya paling
lambat 2 tahun sejak diberikan dengan hak milik, setiap tahunnya dapat mencapai kenaikan
produksi menurut ketentuan-ketentuan dari Dinas Pertanian Rakyat Daerah Tingkat I atau II
yang bersangkutan. Jangka waktu 2 tahun itu dipandang sebagai jangka waktu yang cukup
panjang untuk dapat mencapai kenaikan produksi.

Pasal 15.

Yang menetapkan harga bagi pemilik baru adalah Panitya Landreform Daerah Tingkat II yang
bersangkutan. Besarnya harga tanah adalah sama dengan rata-rata jumlah ganti-kerugian
sehektar yang diberikan kepada bekas pemilik di daerah Tingkat II yang bersangkutan,
menurut klasifikasi tanahnya, dengan ditambah 10% biaya administrasi.
Misalnya :
di Daerah Tingkat II A terdapat 100 ha tanah kelebihan dan jumlah ganti-kerugian seluruhnya
ada Rp. 3.000.000,-. Maka rata-rata ganti kerugian yang diberikan kepada bekas pemilik tiap
hektarnya ada : 3.000.000 -----------= Rp. 30.000, 100
Setelah diketahui rata-rata ganti-kerugian tiap hektarnya, kemudian baru disesuaikan dengan
klasifikasi tanahnya, sehingga perhitungannya menjadi sebagai berikut :
Tanah Klas I tiap ha = Rp. 35.000,- Tanah Klas II tiap ha = Rp. 30.000,- Tanah Klas III
tiap ha = Rp. 25.000,- dan seterusnya.
Kemudian baru ditambah dengan 10% biaya administrasi. Harga tanah tersebut dapat dibayar
dengan tunai atau dengan angsuran dalam waktu 15 tahun sejak hak milik itu diberikan. Jika
dibayar dengan angsuran, maka yang bersangkutan harus pula membayar bunga 3% setahun
dari sisa harga tanah yang belum diangsur.


Pasal 16.

Pada azasnya pembiayaan pelaksanaan Landreform haruslah ditanggung oleh masyarakat
sendiri, yaitu oleh para petani yang memperoleh pembagian tanah. Adapun peranan
Pemerintah dalam hal ini adalah memberikan modal pertama untuk keperluan pelaksanaan
Landreform, modal mana dalam waktu tertentu oleh para petani akan dikembalikan lagi
kepada Pemerintah, dalam bentuk hasil sewa dan penjualan-penjualan tanah kepada para
petani, pungutan 10% ongkos adminiatrasi dan lain-lain. Selain itu Pemerintah juga memberi
pimpinan atas pembiayaan Landreform, agar biaya yang dikeluarkan itu sesuai dengan
program Pemerintah. Oleh karena itu maka penggunaan Dana Landreform harus
mengindahkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Panitya Landreform Pusat dan oleh
Menteri Agraria.
Dalam pada itu oleh karena pembiayaan Landreform sifat-sifat khusus, maka akan
memperlambat pelaksanaannya apabila pembiayaan tersebut diatas diperlakukan sama
dengan pembiayaan yang diatur menurut anggaran belanja biasa. Oleh karena itu untuk
pembiayaan Landreform perlu dibentuk suatu badan hukum yang bersifat otonom, dengan
peraturan, administrasi, organisasi serta tata-kerja tersendiri. Badan hukum yang
dimaksudkan adalah, “Yayasan Dana Landreform”.

Pasal 17.

Pengusahaan tanah-tanah yang kecil-kecil oleh para pemiliknya masing-masing, dan
pengusahaan tanah-tanah yang terpencar, ekonomis tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Maka dari itu diusahakan supaya tanah-tanah para petani kecil dapat diatur pengusahaannya,
dengan jalan bekerja sama dalam bentuk koperasi. Dalam koperasi pertanian tersebut hak
milik atas tanah dari para petani tidak dihapuskan. Koperasi mengatur tentang pengusahaan
tanahnya, membantu penggarapannya, mengusahakan kredit yang dapat berupa bibit, pupuk
dan lain-lain, serta memberikan petunjuk-petunjuk tentang pengolahan tanahnya. Koperasi
berusaha agar supaya dapat menghilangkan “pengangguran tak kentara” (disguised
unemployment).

Pasal 18.

Oleh karena sebagian terbesar kaum tani pemilik tanah itu memiliki tanah yang sangat kecil,
maka hasilnya tidak cukup untuk hidup. Maka dari itu kaum tani selalu memerlukan pinjaman,
baik untuk konsumsi maupun untuk produksi. Hal ini menyebabkan suburnya sistim ijon jika
tidak disediakan kredit lainnya. Untuk memberantas ijon maka Pemerintah menyediakan kredit
yang disalurkan melalui Bank Koperasi, Tani dan Nelayan. Terutama pemberian kedit kepada
petani-petani yang baru mendapat pembagian tanah, untuk ongkos penggarapan yang
pertama dan untuk mencegah supaya tanah yang diperolehnya jangan jatuh lagi kepada tuan-
tuan tanah.
Karena cabang-cabang B.K.T.N. ini berkedudukan diibu Kota Kabupaten, maka untuk dapat
melayani kebutuhan kaum tani secara cepat perlu adanya bantuan dari badan lain, yang
langsung berhubungan dengan para petani. Di desa-desa atau daerah setingkat dengan itu
dimana sudah ada Koperasi Pertanian, maka pemberian kredit dari BKTN ini harus disalurkan
melalui koperasi pertanian itu.

Pasal 19.

Landreform mempunyai arti yang sangat penting sebagai dasar dari Pembangunan semesta,
maka dari itu barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi pelaksanaanya, perlu dijatuhi
hukuman pidana.

Pasal 20.

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 21

Tanggal 24 September 1961 adalah bertepatan dengan setahun berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria, sebagai peraturan yang pokok daripada penyelenggaraan landreform.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar