Selasa, 30 November 2010

Membongkar Sejarah Yang Terlewatkan


By Admin


Judul : Menguak Misteri Sejarah

Penulis : Asvi Warman Adam

Penerbit : Kompas, Jakarta

Tebal : xii+292 halaman

Cetakan : I, Oktober 2010

Peresensi : Ali Mahmudi *)

Sejarah merupakan sederetan kisah nyata yang tertulis berdasarkan bukti data-data konkrit. Baik berupa artefak peninggalan sejarah maupun dokumen penting. Ini dimaksudkan sebagai barang bukti untuk memperkuat perjalanan panjang sejarah itu. Dibalik itu, sejarah juga merupakan sebuah misteri. Mungkin hal ini terjadi karena telah dimanipulasi oleh penguasa. Atau memang data bukti sejarahnya yang belum lengkap. Sehingga butuh adanya titik terang.

Sejarah memang sebuah misteri yang tak pernah habis terkikis masa. Meskipun awalnya merupakan sebuah misteri, namun suatu saat akan terungkap dan muncul dipermukaan. Laksana sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium baunya. Begitu pula sejarah. Meskipun sejarah itu digelapkan ribuan tahun, lambat laun kemungkinan akan terungkap juga.

Begitulah salah satu deskripsi pembahasan dalam buku ini. Buku berjudul “Menguak Misteri Sejarah ” yang ditulis oleh Dr. Aswi Marwan Adam, seorang Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI akan membongkar paksa misteri-misteri sejarah pada masa penjajahan hingga Indonesia merdeka saat ini. Karena selama ini pemerintah dianggap kurang tanggap terhadap berbagai problem yang melanda pemerintahan Negara Indonesia.

Masih banyak hal yang memprihatinkan di negeri ini. Kayaknya, berbagai problem itu memang didominasi oleh problem politik pemerintahan. Lagi-lagi, kemarin dalam dunia intelektual muncul pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung. Padahal, sebelumnya kita tahu bahwasanya hak kekayaan intelektual merupakan hak setiap manusia untuk mempublikasikan karyanya.

Sejak era kolonial, Orde Lama, serta Orde Baru telah muncul pembredelan buku. Karena dikhawatirkan akan mengancam pemerintah. Baru pada saat memasuki era reformasi, awal tahun 1998 hingga tahun 2005, tidak ada pelarangan buku untuk beredar dipasaran publik. Apalagi pembredelan. Namun, sejak tahun 2006 akhir-akhir ini penyakit itu kambuh lagi. Kemarin, yang masih hangat dibenak kita, Jaksa Agung telah membredel buku yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas” yang ditulis oleh seorang pengamat, George Junus Aditjondro.

Selain itu, sebelumnya Kejaksaan Agung juga pernah melarang lima buah buku bulan Desember 2009. Salah satunya termasuk karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dengan judul “Lekra Tidak Membakar Buku”. Buku ini merupakan seleksi dari 15 ribu artikel Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, mantan ketua Muhammadiyah, disampul belakang memberikan komentar “Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini telah mencoba mengungkapkan kembali apa sebenarnya yang terjadi pada era yang sarat gesekan itu.”

Mengingat selama tiga dekade Orde Baru, tidak ada akses kepada surat kabar berhaluan kiri ini. Maka buku ini merupakan dokumen sejarah kebudayaan yang amat penting. Karena ia tidak hanya mengilustrasikan polemic sastra dengan pengusung Manifesto Kebudayaan, tetapi juga kerja turun ke bawah yang dihasilkan seniman pertunjukan. Larangan Kejaksaan Agung itu kembali menyumbat informasi sejarah masa lalu yang mulai terbuka sejak era informasi ini. Lalu apa makna larangan pemerintah tersebut?

Ini merupakan tindak kesewenang-wenangan pemerintah yang telah melanggar hak asasi manusia. Tentunya ini harus diberantas atau dilawan. Pemberantasannya pun tidak hanya lewat jalur seminar maupun petisi saja, tetapi juga harus melalui pengajuan judicial review ke lembaga Mahkamah Konstitusi. Dengan maksud agar UU/PNPS/ No. 4 Tahun 1963 yang menjadi dasar pembenaran tindakan pemerintah tersebut segera dirontokkan.

Masih banyak lagi sejarah-sejarah yang menceritakan kebobrokan pemerintah Indonesia akhir-akhir ini. Seperti kasus bailout asal-usul dana talangan Bank Century. Kasus ini sempat mengundang banyak sorotan masyarakat. Terutama pada kegagalan pansus Century di dalam melakukan penelitian terhadap kasus ini. Mereka menyoroti mengenai metodologi yang digunakan pansus Century cenderung lemah.

Kalau kita pahami secara lebih lanjut, ternyata setidaknya ada dua hal yang substansial dibalik kasus Century. Yang ditengarai berkaitan dengan adanya aliran dana kampanye Pemilu Presiden yang lalu. Pertama, dalam hubungan antara Presiden dengan DPR mengenai system demokrasi mana yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Diantaranya ada dua pilihan, yakni Presidensial atau Sistem Parlementer. Kedua, menyangkut etika dalam berdemokrasi.

Fenomena tersebut berangkat dari pengalaman buruk dalam catatan sejarah Indonesia. Yakni, sejak demokrasi liberal tahun 1950-an hingga sampai pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pasca jatuh bangunnya kabinet pemerintahan Gus Dur dalam waktu yang sangat singkat. Dalam satu sisi, sikap kritis DPR perlu didukung. Namun, kita juga merindukan hadirnya pemerintahan yang dapat bekerja dengan baik selama lima tahun penuh dan berakhir dengan damai tanpa adanya kerusuhan.

Salah satu faktor penyebab terjadinya kelemahan bangsa ini adalah tidak adanya kesinambungan dalam pengelolaan Negara. Sehingga, dalam hal ini Negara memimpin pemerintahan menjadi salah urus. Artinya, bagi mereka yang ahli atau pandai dalam bidang tertentu, maka dia hanya cukup dibebani untuk mengurus hal itu sesuai dengan kemampuan dalam bidangnya masing-masing. Salah urus yang terjadi di negeri ini terutama disebabkan adanya suatu urusan yang ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Serahkanlah semua pada ahlinya.

*Penulis: Pecinta buku khazanah ilmiah, Pengamat pada Pusat Study LKKY Yogyakarta.

CP: 087838424793

Tidak ada komentar:

Posting Komentar