Jumat, 08 April 2011

KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT WAKTU DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Hand out Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum.

KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA

MENURUT WAKTU DAN PERKEMBANGANNYA DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Asas Legalitas

Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan

jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan

mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal

ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh

karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang

absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit

des Lois) dan J.J. Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk

menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya.

Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme

et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya

Revolusi Perancis.

Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal

4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1

WvSNI 1918. Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai

berikut:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht

(1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena

praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-

undang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis

yang dicetuskannya.

Konsekuensi Asas Legalitas Formil

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan

perundang-undangan.

Konsekuensi:

a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang

sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.

b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak

pidana.

2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak

pidana.

Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar

pikirannya:

a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan

penguasa.


b. berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem


von


Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi

jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia

mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan

terhadapnya.


Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini

dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak

dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.

Asas Legalitas Materiel

Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal

ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah

perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan

kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP).

Oleh karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan

aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis.

Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundang-

undangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).

Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak

tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada:

a. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.

“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu

perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum

Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan

penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman

pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak

yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh

hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.

Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui

padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,

maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti

setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang

menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti

seperti tersebut di atas.

Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu

perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana

Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan

hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”

b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”

Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak

tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga

berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak

tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang

hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam

undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini

berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27

(1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.

Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP

Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai

dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada

persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk

2


mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu


dengan


kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1

(3) Konsep KUHP menyebutkan:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas

formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan

bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”

Asas Temporis Delicti

Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung

asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang

harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi

perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan

maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa.

Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana

tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP

Korea dan Thailand.

Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP berbunyi:

1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan

atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan

perundang-undangan yang paling menguntungkan.

2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap

perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan

tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka

narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

3. Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap,

perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan

pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang

baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas

pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

3


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar