Hand out Mata Kuliah Hukum Pidana
Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum.
KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA
MENURUT WAKTU DAN PERKEMBANGANNYA DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Asas Legalitas
Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan
jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan
mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal
ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh
karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang
absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit
des Lois) dan J.J. Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya.
Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme
et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya
Revolusi Perancis.
Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal
4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1
WvSNI 1918. Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai
berikut:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht
(1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena
praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-
undang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis
yang dicetuskannya.
Konsekuensi Asas Legalitas Formil
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Konsekuensi:
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang
sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak
pidana.
2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar
pikirannya:
a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan
penguasa.
b. berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem
von
Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi
jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia
mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya.
Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini
dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak
dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.
Asas Legalitas Materiel
Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal
ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah
perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan
kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP).
Oleh karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan
aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis.
Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundang-
undangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).
Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak
tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada:
a. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.
“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman
pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak
yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh
hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.
Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui
padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,
maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti
setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang
menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti
seperti tersebut di atas.
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu
perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan
hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”
b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak
tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga
berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak
tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam
undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini
berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27
(1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.
Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP
Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai
dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada
persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk
2
mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu
dengan
kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1
(3) Konsep KUHP menyebutkan:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas
formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan
bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”
Asas Temporis Delicti
Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung
asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang
harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi
perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan
maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa.
Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana
tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP
Korea dan Thailand.
Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP berbunyi:
1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan
atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan
perundang-undangan yang paling menguntungkan.
2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan
tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka
narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.
3. Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap,
perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan
pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang
baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas
pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
3
Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.
You can only convert 3 pages with the trial version.
To get all the pages converted, you need to purchase the software from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar