Abstrak
Tiap sistem hukum yang ada di dunia memandang berbeda terhadap
delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan nilai-nilai
yang
melatarbelakanginya. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai
sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang
lebih bercorak individualis. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan
yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang
tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.
Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengung-
dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru
mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak Konsep KUHP
dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami perubahan
signifikan.
Pendahuluan
Pada tulisan yang lalu, penulis telah memaparkan delik
perzinahan secara yuridis formil sebagaimana yang telah diatur dalam
Pasal 284 KUHP. Pembahasan secara positifistik tersebut ternyata
memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 284 KUHP memiliki banyak kelemahan secara
moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284 KUHP
berbeda sama sekali dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai
zina itu sendiri. Jelas sekali, perbedaan pandangan demikian berimbas
pada perbedaan pengaturan zina dalam hukum pidana.
*
Adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1
Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis kembali
memaparkan kembali mengenai tindak pidana perzinahan, akan tetapi
dalam sudut yang berbeda dengan tulisan yang lalu. Dalam tulisan ini,
penulis berusaha memaparkan perbandingan delik perzinahan yang ada
dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum lain mengenai
tindak pidana perzinahan. Selain itu, akan dipaparkan pula bagaimana
usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir kelemahan pengaturan
delik perzinahan menurut KUHP dalam kerangka pembaharuan
hukum pidana Indonesia.
Perbandingan Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Positif
Indonesia dengan Sistem Hukum Pidana Lain.
1. Hukum Pidana Islam
Dengan membandingkan hukum pidana Islam dengan hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-
perbedaan sebagai berikut:
a.
Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan
antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah
satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain.
Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan
paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP)
dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima
belas tahun (vide pasal 287 KUHP). Sedangkan menurut hukum
pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah
diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. Setiap
persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina. Adapun
persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan
dengan wanita dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan hanya
merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang menjadi
korban.1 Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap
dikategorikan sebagai pelaku zina.
1
2
Prof. Drs. Masyfuk Zuhdi, Op. cit., hal. 35.
b. Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHP, perzinahan hanya
dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah
terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah
dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan
(medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana
Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam
KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan
dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Apabila persetubuhan ini
dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut
pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang
yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.
c.
Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP
adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah
menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan
zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana Islam, ancaman pidana
disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu muhsân
atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to
death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum
menikah (gâiru muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk
atau didera sebanyak delapan puluh kali.
d. Ketentuan yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara
khusus dalam delik perzinahan menurut KUHP. Maka sistem
pembuktian delik perzinahan sama dengan sistem pembuktian
delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam
membuktian adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang
telah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185 ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang
saksi saja cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
3
Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.
You can only convert 3 pages with the trial version.
To get all the pages converted, you need to purchase the software from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar