Jumat, 08 April 2011

Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak

Tiap sistem hukum yang ada di dunia memandang berbeda terhadap

delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini


disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan nilai-nilai


yang


melatarbelakanginya. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih

menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai

sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang

lebih bercorak individualis. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan

yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang

tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.

Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengung-

dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru

mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan sebagaimana

diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak Konsep KUHP

dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami perubahan

signifikan.

Pendahuluan

Pada tulisan yang lalu, penulis telah memaparkan delik

perzinahan secara yuridis formil sebagaimana yang telah diatur dalam

Pasal 284 KUHP. Pembahasan secara positifistik tersebut ternyata

memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 284 KUHP memiliki banyak kelemahan secara

moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284 KUHP

berbeda sama sekali dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai

zina itu sendiri. Jelas sekali, perbedaan pandangan demikian berimbas

pada perbedaan pengaturan zina dalam hukum pidana.


*


Adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


1


Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis kembali

memaparkan kembali mengenai tindak pidana perzinahan, akan tetapi

dalam sudut yang berbeda dengan tulisan yang lalu. Dalam tulisan ini,

penulis berusaha memaparkan perbandingan delik perzinahan yang ada

dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum lain mengenai

tindak pidana perzinahan. Selain itu, akan dipaparkan pula bagaimana

usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir kelemahan pengaturan

delik perzinahan menurut KUHP dalam kerangka pembaharuan

hukum pidana Indonesia.

Perbandingan Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Positif

Indonesia dengan Sistem Hukum Pidana Lain.

1. Hukum Pidana Islam

Dengan membandingkan hukum pidana Islam dengan hukum

pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaan-

perbedaan sebagai berikut:


a.


Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan

antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah

satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain.

Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan

paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan

dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP)

dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima

belas tahun (vide pasal 287 KUHP). Sedangkan menurut hukum

pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah

diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. Setiap

persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina. Adapun

persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan

dengan wanita dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan hanya

merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang menjadi

korban.1 Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap

dikategorikan sebagai pelaku zina.


1

2


Prof. Drs. Masyfuk Zuhdi, Op. cit., hal. 35.


b. Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHP, perzinahan hanya

dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah

terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah

dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan

(medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana

Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam

KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan

dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Apabila persetubuhan ini

dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut

pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang

yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.


c.


Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP


adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah

menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan

zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana Islam, ancaman pidana

disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu muhsân

atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to

death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum

menikah (gâiru muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk

atau didera sebanyak delapan puluh kali.

d. Ketentuan yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara

khusus dalam delik perzinahan menurut KUHP. Maka sistem

pembuktian delik perzinahan sama dengan sistem pembuktian

delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam

membuktian adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang

telah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :

1. keterangan saksi;

2. keterangan ahli;

3. surat;

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Selanjutnya pasal 185 ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang

saksi saja cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya apabila disertai

dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

3


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar