Lampiran
Perbandingan Aturan Delik Perzinahan
dalam KUHP dan Rancangan KUHP 1999-2000
Menurut naskah Rancangan KUHP 1999-2000 delik perzinahan diatur dalam
Pasal 419. Pasal 419 ini dimasukkan ke dalam salah satu tindak pidana dalam
Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Buku II Konsep KUHP.
Adapun perkembangan delik perzinahan di dalam Konsep KUHP sudah
dimulai sejak Konsep BAS 1977. Dalam Konsep 1977 ini delik perzinahan diatur
sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP (WvS) dengan ada beberapa
perubahan. Akan tetapi dimasukkan pula delik-delik baru yang berhubungan
dengan delik perzinahan yaitu persetubuhan di luar nikah yang berakibat hamilnya
wanita dan pria menolak untuk mengawininya, penyalahgunaan alat-alat
pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah, dan tindak pidana
kumpul kebo.
Pada perkembangan selanjutnya delik mengenai penyalahgunaan alat
pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah dan kumpul kebo
dihapus di dalam Konsep KUHP tahun 1984/1985. Peniadaan kedua pasal ini
diikuti pula pada Konsep KUHP tahun 1986/1987, Konsep KUHP tahun 1989/1990
dan Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Februari 1992). Namun di
dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Desember 1992) kumpul
kebo yang diatur dalam Konsep BAS tahun 1977 dimasukkan kembali sebagai
salah satu tindak pidana kesusilaan.1
Delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 419 Konsep KUHP 1999-2000
dirumuskan sebagai berikut :
Pasal 419
(1)
(2)
(3)
(4)
Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan isterinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan
perkawinan.
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan
perkawinan.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan
kecuali atas pengaduan auami atau istri yang tercemar.
Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku ketentuan
Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan
belum dimulai.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan delik perzinahan dalam Pasal 284
KUHP maka akan diketahui beberapa perbedaan dan persamaan mengenai delik
perzinahan itu dalam catatan sebagai berikut:
1. Menurut Konsep KUHP istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
perbuatan zina adalah dengan istilah permukahan. Hal ini apabila istilah
tersebut tetap dipakai sampai disahkannya Rancangan Undang-undang
KUHP maka akan menjadi istilah yang dipakai secara yuridis. Berbeda
dengan KUHP sekarang yang aslinya berbahasa Belanda. Terdapat
1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 297-298.
13
perbedaan pada beberapa terjemahan KUHP dalam mengartikan kata
overspel pada Pasal 284 KUHP itu.2
2.
3.
4.
5.
6.
Berdasarkan Pasal 419 ayat (1) Konsep KUHP pelaku tindak pidana
permukahan mendapatkan ancaman pidana penjara paling lama lima
tahun. Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku zina lebih
rendah, yaitu pidana penjara sembilan bulan.
Perkembangan lain yang dapat dilihat dalam Pasal 419 ayat (1) Konsep
KUHP adalah bahwa Konsep tidak membedakan antara pelaku yang telah
kawin dengan pelaku yang belum kawin. Seperti yang dirumuskan dalam
KUHP bahwa perzinahan hanya dapat terjadi apabila seseorang telah kawin
melakukan persetubuhan. Sedangkan mereka yang belum kawin yang diatur
dalam Pasal 284 ayat (1) angka 2 disebut sebagai orang yang turut serta
(medepleger). Namun di dalam rumusan Konsep KUHP tidak digunakan kata
turut serta sebagaimana di dalam KUHP. Dengan demikian, menurut Konsep
KUHP seseorang yang belum kawin disebut pula sebagai pelaku (pleger)
perzinahan.
Antara KUHP dengan Konsep KUHP mempunyai pandangan yang sama
yaitu perzinahan atau permukahan hanya dapat terjadi apabila keduanya
atau salah satu dari mereka sudah kawin.
Di samping itu di dalam Konsep KUHP tidak mensyaratkan lagi bagi pria itu
tunduk pada Pasal 27 BW (KUHPerdata). Hal itu berbeda dengan KUHP
yang mensyaratkan adanya pemberlakukan Pasal 27 BW bagi pria yang
berzina.
Melihat rumusan Pasal 419 ayat (2), Konsep KUHP menganut prinsip yang
sama dengan KUHP yaitu bahwa penuntutan atas delik perzinahan harus
didasarkan pada adanya pengaduan dari suami/isteri yang tercemar. Berarti
Konsep masih berpandangan bahwa perzinahan bersifat delik aduan
absolut. Mengenai sifat delik perzinahan ini sebenarnya Konsep KUHP
tahun 1977 sampai dengan Konsep tahun 1991/1992 (sampai dengan
Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik perzinahan termasuk delik
biasa atau bukan delik aduan lagi.3 Akan tetapi Konsep KUHP (sampai
dengan 13 Maret 1993) mengubah kembali delik perzinahan menjadi delik
aduan.4
Terhadap masalah yang menimbullkan pro dan kontra mengenai sifat delik
perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
a. Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan
hakikat perzinahan.
Delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang erat
kaitannya dengan kesucian lembaga perkawinan. Sehingga masalah
sentralnya terletak pada pandangan masyarakat mengenai kesusilaan
dan kesucian lembaga perkawinan. Pandangan barat yang
melatarbelakangi WvS berbeda dengan pandangan masyarakat
Indonesia mengenai perzinahan dan perkawinan. Perkawinan dalam
pandangan masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan
2
Dalam terjemahan KUHP yang beredar, seperti terjemahan Moelyatno, Andi Hamzah, R.
Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen
Kehakiman, istilah overspel dimaknai perzinahan, mukah, atau gendak. Istilah perzinahan itu
sendiri sebenarnya kurang tepat, karena kata zina yang diambil diambil dari bahasa Arab berbeda
makna dengan kata zinah yang berarti perhiasan.
3
4
(sampai dengan 13 Maret 1993) disebutkan catatan di bawahnya bahwa ada pendapat delik
perzinahan ini sebaiknya bukan delik aduan, dan karena itu menyarankan agar ayat (2), (3) dan (4)
dihapuskan.
14 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 317. Karena belum adanya titik temu mengenai sifat delik perzinahan ini, dalam Konsep KUHP
masyarakat. Sehingga tidak bijaksana apabila delik perzinahan tetap
dijadikan delik aduan absolut.
b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai delik biasa
merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Salah satu
tujuannya adalah pencegahan (preventie). Dengan ditetapkannya delik
perzinahan sebagai delik aduan absolut, prevensinya lemah karena
memberi peluang dan dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa
bebas melakukan perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.
c. Aspek kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif
lainnya dari perzinahan.
Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah kesucian
lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain
mencegah tumbuh suburnya pelacuran dan mencegah perbuatan main
hakim sendiri.
d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan delik.
Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi pihak
yang terkena skandal perzinahan. Namun hal ini pun
perlu
dipertimbangkan dengan kepentingan umum yang turut dirugikan.
Sehingga perlu dipertimbangkan secara proporsional
antara
kepentingan individu dengan kepentingan umum. Apabila ada dua
kepentingan yang sama-sama kuat dan mendasar maka sepantasnya
kedua kepentingan itu diperhatikan. Jalan keluar dari permasalahan itu
adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan sebagai delik aduan
relatif.5
Yang menarik lain untuk diperhatikan dalam Konsep KUHP adalah
ditambahnya tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
perzinahan (Pasal 420, 421, dan 422) yaitu:
1. Tindak pidana persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat perkawinan, dan mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat
dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori
II (Rp. 750.000).
2. Laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan karena janji dikawini dan
mengingkarinya/ada halangan untuk kawin dipidana paling banyak 4
tahun dan 5 tahun (jika mengakibatkan perempuan itu hamil) atau
denda paling banyak kategori IV ( Rp. 7.500.000)
3. Kumpul kebo yang mangganggu perasaan kesusilaan masyarakat
dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak kategori
II (Rp. 750.000)
Catatan:
Persetubuhan di luar kawin (Pasal 420) dan kumpul kebo (Pasal 422) juga
merupakan delik aduan, namun bersifat relatif, karena yang diizinkan untuk
mengadu adalah diperluas, yaitu keluarga salah satu pembuat sampai derajat
ketiga, kepala adat, atau kepala desa/lurah setempat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa delik perzinahan dalam
Konsep/Rancangan KUHP 1999-2000 tidak banyak berbeda dengan yang ada
dalam KUHP, hanya berbeda masalah lamanya pidana penjara dan kedudukan
pelaku.6 Penambahan ketiga pasal yang berhubungan dengan perzinahan
(khususnya Pasal 420 dan 422) merupakan titik temu pendapat pro dan kontra
delik perzinahan sebagai tindak pidana.
5
6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 279-285.
Perbedaan kedudukan pelaku/pembuat sebenarnya tidak signifikan, karena menurut
aturan hukum pidana, antara pelaku (pleger) dan orang yang turut serta (medepleger) tetap
dianggap sama yaitu sebagai pembuat (dader) tanpa dikurangi hukumannya.
15
Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.
You can only convert 3 pages with the trial version.
To get all the pages converted, you need to purchase the software from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar