Jumat, 08 April 2011

Perbandingan Aturan Delik Perzinahan dalam KUHP dan Rancangan KUHP 1999-2000

Lampiran

Perbandingan Aturan Delik Perzinahan

dalam KUHP dan Rancangan KUHP 1999-2000

Menurut naskah Rancangan KUHP 1999-2000 delik perzinahan diatur dalam

Pasal 419. Pasal 419 ini dimasukkan ke dalam salah satu tindak pidana dalam

Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Buku II Konsep KUHP.

Adapun perkembangan delik perzinahan di dalam Konsep KUHP sudah

dimulai sejak Konsep BAS 1977. Dalam Konsep 1977 ini delik perzinahan diatur

sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP (WvS) dengan ada beberapa

perubahan. Akan tetapi dimasukkan pula delik-delik baru yang berhubungan

dengan delik perzinahan yaitu persetubuhan di luar nikah yang berakibat hamilnya

wanita dan pria menolak untuk mengawininya, penyalahgunaan alat-alat

pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah, dan tindak pidana

kumpul kebo.

Pada perkembangan selanjutnya delik mengenai penyalahgunaan alat

pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah dan kumpul kebo

dihapus di dalam Konsep KUHP tahun 1984/1985. Peniadaan kedua pasal ini

diikuti pula pada Konsep KUHP tahun 1986/1987, Konsep KUHP tahun 1989/1990

dan Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Februari 1992). Namun di

dalam Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Desember 1992) kumpul

kebo yang diatur dalam Konsep BAS tahun 1977 dimasukkan kembali sebagai

salah satu tindak pidana kesusilaan.1

Delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 419 Konsep KUHP 1999-2000

dirumuskan sebagai berikut :

Pasal 419


(1)

(2)

(3)

(4)


Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan perempuan yang bukan isterinya;

b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan laki-laki yang bukan suaminya;

c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan

perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan

perkawinan.

d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan

perkawinan.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan

kecuali atas pengaduan auami atau istri yang tercemar.

Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku ketentuan

Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28

Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan


belum dimulai.

Apabila dibandingkan dengan ketentuan delik perzinahan dalam Pasal 284

KUHP maka akan diketahui beberapa perbedaan dan persamaan mengenai delik

perzinahan itu dalam catatan sebagai berikut:

1. Menurut Konsep KUHP istilah yang digunakan untuk menunjuk pada

perbuatan zina adalah dengan istilah permukahan. Hal ini apabila istilah

tersebut tetap dipakai sampai disahkannya Rancangan Undang-undang

KUHP maka akan menjadi istilah yang dipakai secara yuridis. Berbeda

dengan KUHP sekarang yang aslinya berbahasa Belanda. Terdapat


1


Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 297-298.


13


perbedaan pada beberapa terjemahan KUHP dalam mengartikan kata

overspel pada Pasal 284 KUHP itu.2


2.

3.

4.

5.

6.


Berdasarkan Pasal 419 ayat (1) Konsep KUHP pelaku tindak pidana

permukahan mendapatkan ancaman pidana penjara paling lama lima

tahun. Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku zina lebih

rendah, yaitu pidana penjara sembilan bulan.

Perkembangan lain yang dapat dilihat dalam Pasal 419 ayat (1) Konsep

KUHP adalah bahwa Konsep tidak membedakan antara pelaku yang telah

kawin dengan pelaku yang belum kawin. Seperti yang dirumuskan dalam

KUHP bahwa perzinahan hanya dapat terjadi apabila seseorang telah kawin

melakukan persetubuhan. Sedangkan mereka yang belum kawin yang diatur

dalam Pasal 284 ayat (1) angka 2 disebut sebagai orang yang turut serta

(medepleger). Namun di dalam rumusan Konsep KUHP tidak digunakan kata

turut serta sebagaimana di dalam KUHP. Dengan demikian, menurut Konsep

KUHP seseorang yang belum kawin disebut pula sebagai pelaku (pleger)

perzinahan.

Antara KUHP dengan Konsep KUHP mempunyai pandangan yang sama

yaitu perzinahan atau permukahan hanya dapat terjadi apabila keduanya

atau salah satu dari mereka sudah kawin.

Di samping itu di dalam Konsep KUHP tidak mensyaratkan lagi bagi pria itu

tunduk pada Pasal 27 BW (KUHPerdata). Hal itu berbeda dengan KUHP

yang mensyaratkan adanya pemberlakukan Pasal 27 BW bagi pria yang

berzina.

Melihat rumusan Pasal 419 ayat (2), Konsep KUHP menganut prinsip yang

sama dengan KUHP yaitu bahwa penuntutan atas delik perzinahan harus

didasarkan pada adanya pengaduan dari suami/isteri yang tercemar. Berarti

Konsep masih berpandangan bahwa perzinahan bersifat delik aduan

absolut. Mengenai sifat delik perzinahan ini sebenarnya Konsep KUHP

tahun 1977 sampai dengan Konsep tahun 1991/1992 (sampai dengan

Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik perzinahan termasuk delik

biasa atau bukan delik aduan lagi.3 Akan tetapi Konsep KUHP (sampai

dengan 13 Maret 1993) mengubah kembali delik perzinahan menjadi delik

aduan.4

Terhadap masalah yang menimbullkan pro dan kontra mengenai sifat delik

perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan sebagai

berikut:

a. Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan

hakikat perzinahan.

Delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang erat

kaitannya dengan kesucian lembaga perkawinan. Sehingga masalah

sentralnya terletak pada pandangan masyarakat mengenai kesusilaan

dan kesucian lembaga perkawinan. Pandangan barat yang

melatarbelakangi WvS berbeda dengan pandangan masyarakat

Indonesia mengenai perzinahan dan perkawinan. Perkawinan dalam

pandangan masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan


2


Dalam terjemahan KUHP yang beredar, seperti terjemahan Moelyatno, Andi Hamzah, R.


Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen

Kehakiman, istilah overspel dimaknai perzinahan, mukah, atau gendak. Istilah perzinahan itu

sendiri sebenarnya kurang tepat, karena kata zina yang diambil diambil dari bahasa Arab berbeda

makna dengan kata zinah yang berarti perhiasan.

3

4

(sampai dengan 13 Maret 1993) disebutkan catatan di bawahnya bahwa ada pendapat delik

perzinahan ini sebaiknya bukan delik aduan, dan karena itu menyarankan agar ayat (2), (3) dan (4)

dihapuskan.

14

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 317.

Karena belum adanya titik temu mengenai sifat delik perzinahan ini, dalam Konsep KUHP


masyarakat. Sehingga tidak bijaksana apabila delik perzinahan tetap

dijadikan delik aduan absolut.

b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).

Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai delik biasa

merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Salah satu

tujuannya adalah pencegahan (preventie). Dengan ditetapkannya delik

perzinahan sebagai delik aduan absolut, prevensinya lemah karena

memberi peluang dan dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa

bebas melakukan perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.

c. Aspek kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif

lainnya dari perzinahan.

Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah kesucian

lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain

mencegah tumbuh suburnya pelacuran dan mencegah perbuatan main

hakim sendiri.

d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan delik.

Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi pihak


yang terkena skandal perzinahan. Namun hal ini pun


perlu


dipertimbangkan dengan kepentingan umum yang turut dirugikan.


Sehingga perlu dipertimbangkan secara proporsional


antara


kepentingan individu dengan kepentingan umum. Apabila ada dua

kepentingan yang sama-sama kuat dan mendasar maka sepantasnya

kedua kepentingan itu diperhatikan. Jalan keluar dari permasalahan itu

adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan sebagai delik aduan

relatif.5

Yang menarik lain untuk diperhatikan dalam Konsep KUHP adalah

ditambahnya tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan masalah

perzinahan (Pasal 420, 421, dan 422) yaitu:

1. Tindak pidana persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak

terikat perkawinan, dan mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat

dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori

II (Rp. 750.000).

2. Laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan karena janji dikawini dan

mengingkarinya/ada halangan untuk kawin dipidana paling banyak 4

tahun dan 5 tahun (jika mengakibatkan perempuan itu hamil) atau

denda paling banyak kategori IV ( Rp. 7.500.000)

3. Kumpul kebo yang mangganggu perasaan kesusilaan masyarakat

dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak kategori

II (Rp. 750.000)

Catatan:

Persetubuhan di luar kawin (Pasal 420) dan kumpul kebo (Pasal 422) juga

merupakan delik aduan, namun bersifat relatif, karena yang diizinkan untuk

mengadu adalah diperluas, yaitu keluarga salah satu pembuat sampai derajat

ketiga, kepala adat, atau kepala desa/lurah setempat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa delik perzinahan dalam

Konsep/Rancangan KUHP 1999-2000 tidak banyak berbeda dengan yang ada

dalam KUHP, hanya berbeda masalah lamanya pidana penjara dan kedudukan

pelaku.6 Penambahan ketiga pasal yang berhubungan dengan perzinahan

(khususnya Pasal 420 dan 422) merupakan titik temu pendapat pro dan kontra

delik perzinahan sebagai tindak pidana.


5

6


Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…, hlm. 279-285.

Perbedaan kedudukan pelaku/pembuat sebenarnya tidak signifikan, karena menurut


aturan hukum pidana, antara pelaku (pleger) dan orang yang turut serta (medepleger) tetap

dianggap sama yaitu sebagai pembuat (dader) tanpa dikurangi hukumannya.

15


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar