Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia
Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan
di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum
warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia
sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya
bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum
adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah
menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun
pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana
materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang
diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel
saat ini.
Kata kunci:
KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana
A. Pendahuluan
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti
pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam
hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa
pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.1
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa
hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum
pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.
Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali
digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana
bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi
manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 4 No. 4, Agustus 2005
2
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di
mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat
baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik
jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang
dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan
hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan
historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul
selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan
menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia.
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan
memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas
tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah
adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Pemisahan yang tegas
antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat
publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara
turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan
agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh
masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan
Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
3 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam
hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
3
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-
ajaran Hindu.4
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah
bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah
peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di
beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat
Bali.6
2.
a.
Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-
1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan
diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang
diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa
VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam
usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-
aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah
4 Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa
hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas
masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana,
Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh
Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
6 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),
p. 14.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.
You can only convert 3 pages with the trial version.
To get all the pages converted, you need to purchase the software from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar