Jumat, 08 April 2011

Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia Oleh: Ahmad Bahiej*

Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia

Oleh: Ahmad Bahiej*

Abstrak

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan

di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum

warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia

sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya

bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum

adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah

menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun

pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana

materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang

diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel

saat ini.


Kata kunci:


KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana


A. Pendahuluan

Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti

pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam

hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-

perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa

pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.1

Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa

hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum

pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.

Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan

nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali

digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana

bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain

penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi

manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan

mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu

dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu


*


Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)


Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 4 No. 4, Agustus 2005


2


Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...


diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang

beradab.

Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di

mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat

baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik

jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki

masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang

dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.

Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel

Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan

hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan

historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul

selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan

menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel

Indonesia.

B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da

Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan

memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas

tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah

adat tertentu.

Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara

hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Pemisahan yang tegas

antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat

publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di

Indonesia.3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara

turun-temurun dan bercampur menjadi satu.

Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan

agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh

masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan

Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.

2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.

3 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam

hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006


Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...


3


Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-

ajaran Hindu.4

Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan

agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah

bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah

peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga

secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang

pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di

beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah

diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak

umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi

hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat

Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat

Bali.6


2.

a.


Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda

Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-


1799

Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa

Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan

diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost

Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang

diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.

Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi

monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,

mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan

mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa

VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam

usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-

aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk

plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah

4 Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum

Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa

hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas

masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana,

Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh

Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).

6 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),

p. 14.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar