Jumat, 08 April 2011

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu: Ahmmad Bahiej, S.H., M.Hum.

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA

DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA INDONESIA

Pidana dalam KUHP

Pidana merupakan salah satu dari tiga masalah pokok dalam hukum

pidana, selain masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah tindak

pidana. Pidana menjadi ciri khusus dalam hukum pidana dan membedakan dari

jenis hukum yang lain. Pidana berarti nestapa, sengsara atau penderitaan yang

dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.

Dalam KUHP, pidana diatur dalam Bab II Pasal 10-43. Berdasarkan Pasal

10 KUHP jenis-jenis pidana adalah sebagai berikut:

a. Pidana pokok, yang terdiri dari:

1. pidana mati

2. pidana penjara

3. pidana kurungan

4. pidana denda

5. pidana tutupan (merupakan jenis pidana yang “baru”, karena ada

dengan UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan).

b. Pidana tambahan, yang terdiri dari:

1. pencabutan hak-hak tertentu

2. perampasan barang-barang tertentu

3. pengumuman putusan hakim

Mengenai aturan pemidanaan dalam KUHP, dapat dilihat dalam lampiran hand

out ini.

Pidana dan Pemidanaan dalam Rancangan KUHP

Dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana

merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Oleh sebab itu,

dalam Rancangan KUHP 1999-2000, jenis pidana dan aturan pemidanaan

mengalami perombakan total yang signifikan serta mengedepankan aspek-

aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Beberapa perkembangan mengenai pidana dan pemidanaan dalam

Rancangan KUHP itu di antaranya sebagai berikut:

1. Tujuan Pemidanaan

Rancangan KUHP menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu

untuk:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oelh tindak pidana;

c. memulihkan keseimbangan;

d. mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

e. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan

f. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pedoman Pemidanaan

Rancangan KUHP menyebutkan pedoman pemidanaan dalam Pasal 51

yang dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pidana.

Pedoman pemidanaan itu adalah hakim harus memperhatikan

1


a. kesalahan pelaku tindak pidana;

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. cara melakukan tindak pidana;

d. sikap batin pelaku tindak pidana;

e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;

g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;

h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan

j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Tujuan dan pedoman pemidanaan ini merupakan implementasi ide

individualisasi pidana yang belum dikenal (belum dicantumkan) dalam

KUHP. Dirumuskannya pedoman pemidanaan dalam Rancangan KUHP

menurut Barda Nawawi Arief bertolak dari pokok pemikiran bahwa (1)

pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang

bertujuan (purposive system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan

dalam undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk

mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman

pemidanaan. (2) Dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan

merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan yang

konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap “formulasi” oleh

pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang

dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan

dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem

pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

Dan (3) sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak

berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat

lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan

pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol”

dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi

pemidanaan yang jelas dan terarah.


3.

4.

5.


Pengampunan Hakim

Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, Rancangan KUHP

juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim

(rechtelijk pardon) dalam Pasal 51 ayat (2). Pedoman pengampunan

hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana. Dengan

dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang

yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan

pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan

hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.

Modifikasi Pidana

Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam Rancangan

KUHP adalah adanya ketentuan mengenai modifikasi putusan

pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada

adanya perkembangan pada diri pelaku sendiri (Pasal 53) dan karena

adanya perubahan peraturan perundang-undangan (Pasal 2).

Elastisitas Pemidanaan

Sistem pemidanaan yang dianut Rancangan KUHP adalah elastis (tidak

kaku), yang intinya memberi keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan

menentukan sanksi (pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk

individu atau pelaku tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim

tersebut tetap dalam dalam batas-batas kebebasan menurut undang-

undang.

Aturan mengenai elastisitas pemidanaan dalam Rancangan KUHP adalah

sebagai berikut:

2


a.


walaupun pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan hanya


pidana pokok yang diancamkan dalam perumusan delik yang

bersangkutan (dalam Buku II Rancangan KUHP), namun hakim

dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana

tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan

menurut Buku I aturan umum Rancangan KUHP.

Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana penjara,

namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak

pidana yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati,

maka hakim dapat menjatuhkan pidana tutupan (Lihat Pasal 71).

Hakim dapat juga menjatuhkan pidana pengawasan, mengingat

keadaan pribadi dan perbuatannya (Lihat Pasal 72) dengan catatan

bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama

7 tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah

memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman

penjatuhan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana

denda (Lihat Pasal 54). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana kerja

sosial jika ancaman pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih

dari 6 bulan atau denda tidak lebih dari kategori I (Pasal 79).

b. Hakim diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi

pidana diancamkan secara tunggal (Pasal 54 untuk pidana penjara

tunggal, dan Pasal 55 untuk pidana denda tunggal).

c. Hakim dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi

pidana diancamkan secara alternatif (Pasal 56 ayat (2)) dengan

ketentuan tidak melebihi separuh batas maksimum kedua jenis

pidana pokok tersebut. Dalam KUHP tidak dikenal adanya pola

perumusan pemidanaan yang mengedepankan aspek elastisitas

dalam pemidanaan ini. KUHP hanya mengenal sistem perumusan

tunggal dan alternatif.


6.

7.


Perubahan Posisi Pidana Mati dan Penambahan Jenis Pidana Baru

Dengan mendasarkan diri pada perlindungan masyarakat, Rancangan

tetap mempertahankan jenis pidana mati dan penjara seumur hidup.

Namun untuk jenis pidana mati, dalam Rancangan KUHP telah

dikeluarkan dari jenis pidana pokok menjadi jenis pidana yang bersifat

khusus (Pasal 60 dan 61). “Pidana pengawasan” dan “kerja sosial”

merupakan jenis pidana pokok baru yang tidak ada dalam KUHP. Selain

itu, jenis pidana tambahan juga ditambah dengan “pembayaran ganti

kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”.

Dikenal Adanya Tindakan

Di samping pidana, Rancangan KUHP juga dilengkapi dengan tindakan

bagi pelaku yang tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan

karena gangguan jiwa yaitu:

a. perawatan di rumah sakit jiwa;

b. penyerahan kepada pemerintah; dan

c. penyerahan kepada seseorang.

Sedangkan tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana

pokok adalah:

a. pencabutan surat izin mengemudi;

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. latihan kerja;

e. rehabilitasi; dan

f. perawatan di lembaga.

3


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar