Jumat, 08 April 2011

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (Telaah atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia)*

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

(Telaah atas Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia)*

Oleh : Ahmad Bahiej


A.


Pendahuluan


Pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan salah satu tema

menarik dan masih saja aktual akhir-akhir ini, walaupun usaha ini telah lama

didengungkan dan dicanangkan oleh para pakar hukum pidana Indonesia. Lagi

pula, pembaharuan hukum pidana Indonesia dalam bentuk Konsep Kitab Undang-

undang Hukum Pidana itu telah beberapa kali mengalami perubahan sejak

pertama kali dibuat.1


Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik


dengan


pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari


pada sekedar mengganti KUHP. Pembaharuan hukum pidana


meliputi


2


Sedangkan


pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana.

Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP dapat

dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni

dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana.3 Dan

kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu

pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.


*


Makalah ini disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)


Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.

1

hasil Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum

pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep

KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep

BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep

1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali

Konsep KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada tahun

1999/2000.

2

diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum

pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula

dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).

Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform)

dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform). Lihat Barda Nawawi

Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1998), hlm. 133. Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang

menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan

hukum pelaksanaan pidana. Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, salah satu

makalah dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Bina Cipta,1986), hlm.


27.


3


Pembaharuan KUHP secara parsial yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan UU


Nomor 1 Tahun 1946 (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan

krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong), UU Nomor 20 Tahun 1946 (menambah

jenis pidana pokok berupa pidana tutupan), UU Nomor 8 Tahun 1951 (menambah kejahatan

praktek dokter), UU Nomor 73 Tahun 1958 (menambah kejahatan terhadap bendera RI), UU

Nomor 1 Tahun 1960 (perubahan Pasal 359, 360, dan 188), UU Nomor 16 Prp Tahun 1960

(merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah), UU

Nomor 18 Prp Tahun 1960 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima

belas kali), UU Nomor 1 Tahun 1965 (penodaan agama), UU Nomor 7 Tahun 1974 (memperberat

ancaman pidana bagi perjudian dan memasukkannya menjadi jenis kejahatan), UU Nomor 4 Tahun

1976 (memperluas ketentuan hukum pidana dan penambahan kejahatan penerbangan), serta UU

Nomor 27 Tahun 1999 (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).

1

pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum.

Usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)


Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif

jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras.4 Oleh karena

itu, dalam makalah ini hanya akan disinggung mengenai hal-hal baru yang ada

dalam Rancangan KUHP sejauh yang diketahui penulis.


B.


Pembahasan


Ditinjau dari sistematikanya, Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 memiliki

banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan KUHP.

Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu Buku

Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 192 pasal (Pasal 1-

192) dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri dari 33 bab dan 455

pasal (Pasal 193-647).5 Dengan demikian, Rancangan KUHP tidak membedakan

antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan

menggantikannya dengan istilah yang lebih umum yaitu tindak pidana.6

Menelaah substansi Rancangan KUHP (selanjutnya hanya disebut

Konsep) setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam


hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah


kesalahan atau


pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu,

Konsep akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas. Perlu

diketahui, makalah yang disajikan ini didasarkan pada Konsep 1999/2000.


1.

a.


Tindak Pidana

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan,


pada pokoknya Konsep berdasarkan pada sumber hukum


tertulis


sebagaimana yang dianut dalam KUHP (WvS). Hal ini dikenal dengan asas

legalitas formal (Konsep Pasal 1 ayat (1)). Namun demikian, Konsep

memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1)

tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat

yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana

walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan (Pasal 1 (3) Konsep). Hal ini dikenal dengan asas legalitas

materiel. Dengan aturan itu jelaslah bahwa Konsep memberikan tempat bagi

hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata

ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak

diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai

perbuatan yang patut dipidana.7 Di samping itu, dapat jelaslah bahwa


4


Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat


Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d.

2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal.

Sedangkan KUHP sekarang (WvS) yang selesai dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di

negara Belanda pada tahun 1886 dan diberlakukan di Indonesia tahun 1918 (selisih waktu 32

tahun) “hanya” berjumlah 569 pasal.

5

terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab

385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81

pasal (Pasal 489-569).

6

menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana Indonesia tidak bersepakat

dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan Roeslan Saleh dan murid-muridnya

menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo menggunakan kata “peristiwa pidana”,

sedangkan Sudarto dan murid-muridnya menggunakan istilah “tindak pidana”. Khusus mengenai

pembelaan Moelyatno, baca Kata Pengantar dalam Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, (tkp: tp., 1978), hlm. 5-7.

7

hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor

1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas

2

KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang

Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum Indonesia untuk

Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan


keadilan yang ingin diwujudkan Konsep adalah keadilan masyarakat, bukan

sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice).


Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 16 Konsep bahwa


“dalam


mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.


b.


Beberapa penyempurnaan juga dilakukan Konsep terhadap rumusan asas

legalitas, yaitu (1) Konsep menggunakan redaksi “tiada seorang pun…kecuali

perbuatan yang dilakukan…”. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa


Konsep bersikap pada pendekatan mono-dualistik dalam


arti tetap


memperhatikan segi obyektif dari aspek perbuatan seseorang dan segi

sobyektif dari aspek orang/pelaku. Pendekatan ini dikenal dengan aliran

hukum pidana yang Daad-dader Strafrecht.8 (2) Konsep menggunakan

redaksi “…yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan” untuk memperjelas

karena redaksi dalam KUHP yang berbunyi “…yang telah ada sebelum

perbuatan dilakukan…” dipandang belum menunjukkan bahwa perundang-

undangan itu telah berlaku. (3) Konsep mencantumkan juga redaksi

“…perbuatan yang tidak dilakukan…” dengan dasar bahwa tindak pidana ada

yang dilakukan dengan cara tidak melakukan (delik commisionis per

ommisionen commisa). (4) Konsep secara tegas menyatakan larangan

analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana.


c.

d.

e.


Sebagaimana telah disebutkan di atas, Konsep tidak lagi membedakan

kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, namun

menyatukannya dengan istilah tindak pidana. Kebijakan untuk menghilangkan

pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan, yaitu (1) pembedaan tindak pidana secara kualitatif berupa

kejahatan (rechtdelict) dan pelanggaran (wetdelict) tidak dapat dipertahankan

lagi, (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia

Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu itu, yaitu

pelanggaran diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), dan

kejahatan diperiksa oleh Landraad dan Raad van Justitie, dan (2) pandangan

mutakhir mengenai afkoop (sukarela membayar maksimum pidana denda;

Pasal 82 KUHP) sebagai alasan penuntutan tidak hanya berlaku bagi

pelanggaran, namun juga termasuk kejahatan walaupun dengan pembatasan

ancaman maksimum pidananya.9

Di samping mengganti judul bab, Konsep juga mengurangi beberapa bab

tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) dalam KUHP seperti perkelahian

tanding (Bab VI), dan pengulangan (recidive) dalam Bab XXXI, serta

menambah bab baru yaitu Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap

Penyelenggaraan Pengadilan, dan Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap

Agama dan Kehidupan Beragama.

Tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam Konsep bersumber dari: (1)


penyeleksian Buku II dan Buku III KUHP, (2) hasil pengintegrasian delik-deli

di luar KUHP, (3) hasil kajian penelitian, seminar, dan lokakarya, baik

legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu

perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang

dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku

terhadapnya.” Kata “hukum” di sini jelas mempunyai makna yang luas dari pada sekedar peraturan

perundang-undangan.

8

pandangan Daad Strafrect yaitu aliran hukum pidana yang menekankan pada aspek perbuatan

seseorang.

9

Bakti, 1996), hlm. 93.

3

Semula dalam KUHP memakai redaksi “tiada suatu perbuatan…” yang lebih condong ke

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya


Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.

You can only convert 3 pages with the trial version.

To get all the pages converted, you need to purchase the software from:

http://www.anypdftools.com/buy/buy-pdf-to-word.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar