Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
(Telaah atas Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia)*
Oleh : Ahmad Bahiej
A.
Pendahuluan
Pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan salah satu tema
menarik dan masih saja aktual akhir-akhir ini, walaupun usaha ini telah lama
didengungkan dan dicanangkan oleh para pakar hukum pidana Indonesia. Lagi
pula, pembaharuan hukum pidana Indonesia dalam bentuk Konsep Kitab Undang-
undang Hukum Pidana itu telah beberapa kali mengalami perubahan sejak
pertama kali dibuat.1
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik
dengan
pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari
pada sekedar mengganti KUHP. Pembaharuan hukum pidana
meliputi
2
Sedangkan
pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana.
Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni
dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana.3 Dan
kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu
pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
*
Makalah ini disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.
1
hasil Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum
pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep
KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep
BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep
1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali
Konsep KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada tahun
1999/2000.
2
diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum
pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula
dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform)
dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform). Lihat Barda Nawawi
Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1998), hlm. 133. Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang
menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan
hukum pelaksanaan pidana. Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, salah satu
makalah dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Bina Cipta,1986), hlm.
27.
3
Pembaharuan KUHP secara parsial yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan UU
Nomor 1 Tahun 1946 (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan
krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong), UU Nomor 20 Tahun 1946 (menambah
jenis pidana pokok berupa pidana tutupan), UU Nomor 8 Tahun 1951 (menambah kejahatan
praktek dokter), UU Nomor 73 Tahun 1958 (menambah kejahatan terhadap bendera RI), UU
Nomor 1 Tahun 1960 (perubahan Pasal 359, 360, dan 188), UU Nomor 16 Prp Tahun 1960
(merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah), UU
Nomor 18 Prp Tahun 1960 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima
belas kali), UU Nomor 1 Tahun 1965 (penodaan agama), UU Nomor 7 Tahun 1974 (memperberat
ancaman pidana bagi perjudian dan memasukkannya menjadi jenis kejahatan), UU Nomor 4 Tahun
1976 (memperluas ketentuan hukum pidana dan penambahan kejahatan penerbangan), serta UU
Nomor 27 Tahun 1999 (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
1 pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif
jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras.4 Oleh karena
itu, dalam makalah ini hanya akan disinggung mengenai hal-hal baru yang ada
dalam Rancangan KUHP sejauh yang diketahui penulis.
B.
Pembahasan
Ditinjau dari sistematikanya, Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 memiliki
banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan KUHP.
Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu Buku
Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 192 pasal (Pasal 1-
192) dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri dari 33 bab dan 455
pasal (Pasal 193-647).5 Dengan demikian, Rancangan KUHP tidak membedakan
antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan
menggantikannya dengan istilah yang lebih umum yaitu tindak pidana.6
Menelaah substansi Rancangan KUHP (selanjutnya hanya disebut
Konsep) setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam
hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah
kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu,
Konsep akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas. Perlu
diketahui, makalah yang disajikan ini didasarkan pada Konsep 1999/2000.
1.
a.
Tindak Pidana
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan,
pada pokoknya Konsep berdasarkan pada sumber hukum
tertulis
sebagaimana yang dianut dalam KUHP (WvS). Hal ini dikenal dengan asas
legalitas formal (Konsep Pasal 1 ayat (1)). Namun demikian, Konsep
memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1)
tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat
yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan (Pasal 1 (3) Konsep). Hal ini dikenal dengan asas legalitas
materiel. Dengan aturan itu jelaslah bahwa Konsep memberikan tempat bagi
hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata
ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak
diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai
perbuatan yang patut dipidana.7 Di samping itu, dapat jelaslah bahwa
4
Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat
Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d.
2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal.
Sedangkan KUHP sekarang (WvS) yang selesai dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di
negara Belanda pada tahun 1886 dan diberlakukan di Indonesia tahun 1918 (selisih waktu 32
tahun) “hanya” berjumlah 569 pasal.
5
terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab
385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81
pasal (Pasal 489-569).
6
menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana Indonesia tidak bersepakat
dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan Roeslan Saleh dan murid-muridnya
menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo menggunakan kata “peristiwa pidana”,
sedangkan Sudarto dan murid-muridnya menggunakan istilah “tindak pidana”. Khusus mengenai
pembelaan Moelyatno, baca Kata Pengantar dalam Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, (tkp: tp., 1978), hlm. 5-7.
7
hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor
1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas
2 KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum Indonesia untuk Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan
keadilan yang ingin diwujudkan Konsep adalah keadilan masyarakat, bukan
sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice).
Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 16 Konsep bahwa
“dalam
mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin
mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
b.
Beberapa penyempurnaan juga dilakukan Konsep terhadap rumusan asas
legalitas, yaitu (1) Konsep menggunakan redaksi “tiada seorang pun…kecuali
perbuatan yang dilakukan…”. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
Konsep bersikap pada pendekatan mono-dualistik dalam
arti tetap
memperhatikan segi obyektif dari aspek perbuatan seseorang dan segi
sobyektif dari aspek orang/pelaku. Pendekatan ini dikenal dengan aliran
hukum pidana yang Daad-dader Strafrecht.8 (2) Konsep menggunakan
redaksi “…yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan” untuk memperjelas
karena redaksi dalam KUHP yang berbunyi “…yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan…” dipandang belum menunjukkan bahwa perundang-
undangan itu telah berlaku. (3) Konsep mencantumkan juga redaksi
“…perbuatan yang tidak dilakukan…” dengan dasar bahwa tindak pidana ada
yang dilakukan dengan cara tidak melakukan (delik commisionis per
ommisionen commisa). (4) Konsep secara tegas menyatakan larangan
analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana.
c.
d.
e.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Konsep tidak lagi membedakan
kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, namun
menyatukannya dengan istilah tindak pidana. Kebijakan untuk menghilangkan
pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan, yaitu (1) pembedaan tindak pidana secara kualitatif berupa
kejahatan (rechtdelict) dan pelanggaran (wetdelict) tidak dapat dipertahankan
lagi, (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia
Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu itu, yaitu
pelanggaran diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), dan
kejahatan diperiksa oleh Landraad dan Raad van Justitie, dan (2) pandangan
mutakhir mengenai afkoop (sukarela membayar maksimum pidana denda;
Pasal 82 KUHP) sebagai alasan penuntutan tidak hanya berlaku bagi
pelanggaran, namun juga termasuk kejahatan walaupun dengan pembatasan
ancaman maksimum pidananya.9
Di samping mengganti judul bab, Konsep juga mengurangi beberapa bab
tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) dalam KUHP seperti perkelahian
tanding (Bab VI), dan pengulangan (recidive) dalam Bab XXXI, serta
menambah bab baru yaitu Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap
Penyelenggaraan Pengadilan, dan Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap
Agama dan Kehidupan Beragama.
Tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam Konsep bersumber dari: (1)
penyeleksian Buku II dan Buku III KUHP, (2) hasil pengintegrasian delik-deli
di luar KUHP, (3) hasil kajian penelitian, seminar, dan lokakarya, baik
legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu
perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang
dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya.” Kata “hukum” di sini jelas mempunyai makna yang luas dari pada sekedar peraturan
perundang-undangan.
8
pandangan Daad Strafrect yaitu aliran hukum pidana yang menekankan pada aspek perbuatan
seseorang.
9
Bakti, 1996), hlm. 93.
3 Semula dalam KUHP memakai redaksi “tiada suatu perbuatan…” yang lebih condong ke Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Thank you for evaluating AnyBizSoft PDF to Word.
You can only convert 3 pages with the trial version.
To get all the pages converted, you need to purchase the software from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar